Sunday 15 January 2017

Menulis (5.5) Mengoperasikan Otak, Ilmu Menalar

HUBUNGKAIT. Menulis tanpa logika, tanpa penalaran dipastikan menghasilkan tulisan lucu-lucuan. Pernah membaca tulisan yang membuat kepala pusing? Semakin dibaca semakin tidak dimengerti? Ada dua kemungkinan penyebabnya.
Pertama, tidak sesuai pendidikan, tidak sesuai keahlian. Misalnya begini. Buku Menulis Di Otak ini ‘bersandar’ pada otak melaju logika. Saya tidak mempelajari otak secara formal, hanya membaca buku-buku tentang otak. Pemahamannya tidak tuntas, pengetahuannya tidak radiks. Wajarlah kalau ada kesalahan (semoga tidak) karena belajar secara otodidak.
Atau, misalnya membaca dan menulis perihal fisika. Tidak cukup pengetahuan untuk memahaminya. Menulis tentang fisika, dipastikan akan ngawur. Sama saja orang berpendidikan teknologi mengangkangi pendidikan. Tidak sesuai kapasitas. Dianjurkan jangan menulis hal yang bukan bidangnya atau hal yang tidak dipahami.
Kedua, bisa jadi, pengetahuan atau ilmu OK, tetapi penyajiannya tidak karu-karuan. Apa sebab? Menulis tanpa logika. Hubungkait anyaman kata tidak tepat, tidak nyambung. Menulis bukan sekadar menjejar kata-kata. Sebab, setiap kata mengandung makna, berupa konsep. Lebih ruwet, dan karena itu membuat pusing, manakala seseorang menulis, konsepnya tidak jelas, logikanya jongkok. Kalau untuk hiburan, bagus membaca tulisan sedemikian. Tidak semua hal, apalagi tulisan, disajikan dengan baik dan benar bukan?
Sebelum lebih dalam, apa sih logika? Secara sederhana, logika adalah ilmu menalar atau ilmu berpikir. Kehendaknya, agar berpikir dengan tepat. Tepat dalam artian, pikiran dioperasikan sesuai patokan-patokan sehingga logis. Apa dan bagaimana patokan-patokan berpikir? Pelajari logika.
Menulis pada dasarnya menuliskan diri, menuliskan pengetahuan sebagai gambaran berpikir. Tidak heran, para filosof menggambarkan sebagai aktivitas ‘berbicara dengan diri, berbicara batiniah’. Operasionalnya terpindai ketika mempertimbangkan sesuatu, merenungkan, menganalisis, mengajukan alasan-alasan pembenar, berargumen, menarik kesimpulan, hubungkait, dan seterusnya.
Mempertimbangkan misalnya, memerlukan pengetahuan atau ilmu tertentu. Menganalisis, memerlukan ‘pisau teori’, bukan sekadar memikir-mikir sesuai apa yang dipahami. Untuk itulah pembelajaran. Itulah manfaat kuliah, apakah S1, S2, atau S3. Kita belajar ilmu (pengetahuan) agar memahami dan dengan pengetahuan kita menulis. Tanpa pengetahuan menulis? Lucu saja begitu. Tanpa logika menulis? Lebih lucu.
Pesan tulisan ini manakala menulis tidak dapat tidak,  dituntut pengetahuan yang cukup dan pemakaian logika yang tepat. Ogah ah belajar atau mempelajari logika? Terserah saja. Untuk menulis sekadar menuangkan pikiran, membiasakan menulis, OK saja. Tetapi, kalau untuk meningkatkan kualitas tulisan, wajib hukumnya mempelajari logika. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.4) Mempelajari Otak Memahami Pikiran

MINDSET. Ketika buku Mindset karya John Naisbitt digandrungi banyak orang, seseorang mendiskusikan karya futuris tersebut. Buku Change Your Mindset karya Carol S. Dweck dan buku sejenis belakangan digandrungi banyak orang. Tentunya agak kaget ketika nyerempet-nyerempet Lateral Thinking Edwar de Bono. Karena itu, tidak ada salahnya membaca buku terbitan KOMPAS, Memahami Otak, yang dieditori Jadma Taugada (2003).
Saya pikir, kalau belum membaca seksama tentang otak, bagusnya membaca buku popular seperti Membangunkan Raksasa Tidur karya Taufiq Pasiak. Kalau penasaran, silakan ’kubak’ otak dan pikiran melalui karya Tony Burzan seperti Use Your Head, The Speed Reading Book, Master Your Memory, Use Your Memory, The Mind Map Book. Percayalah, otak teramat penting, pikiran sangat mendasar dalam menjalani kehidupan. Menghapal kata-kata Rene Descartes, cogito ergo sum itu bagus, lebih bagus memahami milik kita paling berharga, otak (pikiran).
Mempelajari dan memahami otak, apalagi memelihara, menjaga kesehatan otak, sungguh sangat penting. Tidak heran, Kenneth Giuffre dan Therea Foy Digerenimo melejitkan buku, The Care and Feeding Your Brain. Wuih, tidak dapat tidak, sekalipun baru memiliki dan membaca beberapa buku, semakin sadar: Allahu Akbar. Betapa tidak puluhan kali Allah SWT, di ujung-ujung ayat Al-Qur’an ‘memperingatkan’: Afala taqqilun, afala tatafarrakun.
Membaca perihal otak dan mendiskusikan dengan seorang teman yang bergelar doktor, saya memprotes, betapa lebay-nya bangun sistem pendidikan Indonesia, mempelajari pengetahuan, tetapi tidak ada pembelajaran tentang otak (dan pikiran) secara ekplisit. Saya marah besar, ketika di program studi, mata kuliah Logika bukannya dikembangkan, tetapi dihapus. Entah apa pertimbangannya. 
Otak yang begitu penting sebagai ‘sarang’ pikiran luput dari pendidikan formal. Kenapa pendidikan begitu berpengaruh terhadap ‘jalan hidup’ seseorang? Pendidikan memberdayakan pikiran dan dengan pikiranlah kita belajar dan mempelajari segala hal. Dalam perspektif agama tentunya berlandaskan iman, keimanan. Masih ingat kata-kata Einstein: Agama tanpa ilmu buta. Ilmu tanpa agama lumpuh?
Apa kaitannya dengan menulis? Masih ingat kata-kata saya: jangan memikirkan apa yang akan ditulis, tulislah apa yang ada di pikiran. Yaps, kita berkutat di wilayah otak pada ranah pemikiran. Menggunakan, memanfaatkan, menuliskan apa yang ada di pikiran.
Ada yang dengan hebatnya, berpikir dan mempertontonkan pikirannya dengan berbicara menggebu-gebu atau menulis bak ‘jago pena’, eit isian apa yang dibicarakan atau ditulis, gimana gitu. Merasa telah menulis serius, menggunakan waktu berlama-lama, fokus sampai tidak tidur, tulisannya hambar?
Dengan kata lain, dalam rangka menulis, apalagi dalam upaya meningkatkan kualitas tulisan pelajari otak dan pikiran. Memang, secara implisit ketika membaca, saat belajar, kita mencerna dalam artian mempelajarinya, sebab muatannya adalah hasil ‘pekerjaan’ otak dan pikiran. Tetapi, mempelajari secara khusus tentulah lebih memberikan dasar kuat tersebab kita memahami alpha-bethanya.
Menurut analisis saya ...  tulisan mereka yang mempelajari secara mendalam apa itu otak, apa itu pikiran, bagaimana mengoperasikannya secara benar, misalnya dengan menerapkan logika yang benar, berbeda dengan yang sekadar menulis. Bisakah, atau mungkinkah  kualitas tulisan baik tanpa mempelajari otak dan pikiran?
Bisa. Kenapa tidak. Ibaratnya, diperlukan waktu yang lama, durasi pembelajaran menjadi sangat panjang. Seorang penjual goreng pisang tanpa mempelajari apa itu pisang secara formal, bagaimana cara menggoreng yang baik, dan bla-bla ternyata pisang gorengannya uenak tenan. Apa sebab? Melakukan. Belajar dari pengalaman.
Mempelajari otak dan sistem pikiran dalam arti melejitkan kemampuan menulis berarti merambah wilayah peningkatan kualitas tulisan. Untuk sekadar menulis? Tidak usahlah itu. Tetapi, kalau tidak mau mempelajari otak memahami pikiran, tulisan akan begitu-begitu saja alias kualitasnya susah dilejitkan. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.3) Mempelajari Otak, Ogah Ah

MENULIS. Bagaimana kalau Sampeyan menghadapi persoalan seperti ini. Seorang sarjana menyulang, menulis bukan dengan otak, tetapi dengan hati. Maksudnya kira-kira, kehendak menulis didasari, dilandasi hati. Pertanyaannya apa itu hati? Apa yang dimaksud liver sebagai benda, atau dalam pengertian kalbu, atau apa? Ketika diminta pengertian dia tidak mampu menerangkan. Paham sebagaimana dia memahami, bukan dalam arti konsepsual.
Manakala tidak paham konsep absen, Sampeyan menyuruh murid atau bawahan menandatangani absensi (daftar ketidakkehadiran). Orang hadir diminta menandatangani ketidakhadiran. Lucu. Ada pula yang mengumandangkan pulang-pergi walaupun paham, aktivitas dimulai dari awalnya, pergi dulu kemudian pulang. Atau, bertanya: “Air (ledeng) di rumah Sampeyan apa jalan?” Bagaimana mungkin air berjalan, emang air berkaki? Konsep berpindahnya air mengalir. Wualah, apalagi kalau ledeng berbaris lalu berjalan ke seantero kota. Bisa membuat geger dunia Bro.
Penalaran adalah wilayah pikiran, terlepas dalam pengertian umum tertumpang tindih dengan otak. Pikiran, atau turunannya, pemikiran, penalaran, ide, gagasan, dan seterusnya adalah ketika seseorang mengoperasikan otak sebagai hardware dan pikiran sebagai software yang dalam kaitan tulisan ini, manusia yang menulis. 
Apalagi kalau tingkatannya dinaikkan, misalnya, menulis tergantung mood, in the mood, tentu lebih rumit. Benar saja, dalam kehidupan, suasana hati, suasana kebatinan, mood (pahami secara radiks dalam konteksnya), mempengaruhi apa yang kita lakukan. Saya tidak membahas relasi konsepsional antara pikiran dengan hati, apalagi perasaan. Dalam konteks menulis lebih menjurus, menciptakan mood. Jangan sampai menulis menunggu mood. Kalau tidak hampir, tidak menulis dong.
Dus, diskusi ditukikkan kepada otak (baca: pikiran) sebagai landasan. Otak yang menginput, memproses, dan mengeluarkan apa yang (akan) ditulis sehingga menjadi tulisan. Pertanyaan pokoknya, apakah (sebelum) menulis telah mempelajari otak? Apa itu otak? Bagaimana sistem kerjanya, merawat, sampai melejitkannya? Kalau memahami otak saja tidak mau, ogah mempelajari otak, tidak syak lagi, sungguh berkesusahan Bro.
Pernah membaca buku Menulis dengan Gembira? Ada bahasan menghentak yang rada-rada lucu, tentang BH. Ada cewek yang kemana-mana memakai BH, tetapi kepanjangan BH saja tidak tahu, apalagi artinya, filosofisnya. Pokoknya pakai. Saya menganjurkan memahami maknanya dengan istilah kutang. Klir. Jelas. 
Bisakah kita menulis tanpa mempelajari otak? Atau begini, mana yang lebih baik mempelajari otak dibanding tidak? Boleh-boleh saja bersikukuh, ogah mempelajari otak, toh sudah bisa menulis atau merasa diri penulis hebat dengan menggunakan otak tanpa mempelajari. OK, OK. Tetapi, apa salahnya mempelajari otak? Dengan memahami apa itu otak dengan segala kehebatannya, Insya Allah akan lebih memudahkan menulis. 
Percaya atau tidak, buktikan. Ogah itu bagus pada konteks yang tepat. Anjuran saya, kalau berkehendak menulis, pelajari otak. Tidak ada ruginya. So pasti.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.2) Membunuh Potensi Otak?

MARAH-MARAH. Suatu kali, istri seorang teman terkaget-kaget. Anak seorang teman yang berkunjung berpenampilan amat lincah, kreatif. Tidak mau diam, selalu bergerak. Barang-barang dalam rumah teman tersebut diudak-aduknya. Kira-kira dia terkagum-kagum sekaligus sebel; baru anak kecil kelakuannya sudah aduhai, apalagi kalau besar.
Suatu ketika, istri seorang teman terkagum-kagum. Ketika berkunjung ke rumah seorang teman, anak Si Teman berjuang meminta uang. Sekalipun ibunya mendelik, tetap saja diminta. Es krimlah, chikilah, permenlah. Dimintanya sampai ibunya memberi uang dengan mimik dipaksakan bermanis-manis sekalipun dengan menggeretakkan gigi.
Saya pernah ‘menggoda’ seorang teman: “Mbak. Kok marah-marah melulu”. Dia berargumen: “Dasar mahasiswa malas. Tidak memperhatikan kuliah”. Saya katakan: Mbak. Memberi kuliah itu berarti juga memenej kelas. Kalau kelasnya riuh,yang tidak beres bukan mahasiswa, tetapi pengajarnya.”
Mukanya masam. Aneh. Bagi siapa saja yang pernah menimba ilmu pendidikan pastilah paham, sebelum menjadi dosen dididik mengelola kelas. Berani-beraninya menjadi dosen, tetapi tidak belajar ilmu pendidikan. Akibatnya, suka marah-marah. “Hargai yang berbicara di depan”, Weleh weleh, bagaimana menghargai, celoteh yang tidak pantas dihargai. Tidak logis.
  Setiap anak yang lahir membawa potensi. Dalam pendidikan tradisional dikenal istilah cerek dan cangkir, pengetahuan orang dewasa dicurahkan. Dalam pendidikan modern sebaliknya, pendidikan mengembangkan potensi anak. 
Anak-anak belajar dari pengalamannya. Ketika berekspresi di rumah tetangga ibunya tidak marah, dan disimpulkan, kebebasan didapat bukan di rumah. Begitu juga ketika meminta uang untuk jajan. Manakala ada tamu ibunya memberi, kalau tidak ada tamu, ibu marah-marah melulu. 
Tidak ada satu pun teori yang membenarkan marah dan amarah dikembangkan. Marah boleh dalam katup mendidik. Tetapi, marah-marah bukanlah perilaku yang patut dikembangkan. Gara-gara tidak menguasai materi perkuliahan mahasiswa menjadi sasaran. Tidak mengembangkan kompetensi profesional pihak lain yang menjadi korban.
Saya pernah terlibat diskusi dengan seorang teman. Si Teman mengkritisi EWT dengan segala kekurangannya. Saya katakan, EWT sedang dikembangkan. Terima kasih kritisasinya. Diskusi ‘meninggi’ ketika diutarakan, EWT untuk mengembangkan potensi menulis. “OK, saya menghargai Sampeyan sebagai kritikus. Tapi, mbok mahasiswa jangan diarahkan mengkritisi saja. Berilah contoh tulisan yang bagus itu seperti apa?”
Saya berpendapat setiap orang berpotensi menulis. Potensi tersebut yang dikembangkan. Ada orang yang mengembangkan potensi mengkritisi, silakan saja. Banyak contoh sederhana atau serius, bukan potensi otak yang dikembangkan, tetapi sebaliknya. Bagaimana mau mengembangkan potensi menulis kalau yang diutamakan mencela tulisan orang, bukan memperbaiki. Mereka yang menulis dimusuhi, yang tidak menulis yang baik. Aya aya wae.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.1) Pendidikan Tanpa Otak

TENGKORAK. Membaca buku-buku tentang otak, sungguh saya merasa rugi, kenapa tidak dari dulu. Bukankah pembelajaran lebih menggunakan otak dari bagian tubuh lainnya? Menggunakan otak tanpa diketahui A-Znya. Otak adalah: benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf (KBBI, 1988: 631).
Otak berarti pula alat berpikir, atau pikiran itu sendiri. Orang gila, berpikirnya gimana gitu, dikatakan tidak berotak. Dalam makian, kalau rada-rada bego, dikatakan berotak udang. Udang binatang yang otaknya tahi. Kalau pemangsa, eh ... maaf, pemakan terasi (acan), kalau dibuat dari kepala udang, hati-hatilah. 
Otak alat berpikir berian Allah SWT berkapasitas tidak terbatas. Albert Einstein, si jenius itu, ditulis baru memakai 3% kapasitas otaknya.  Bagaimana dengan saya yang tidak menghasilkan apa-apa? Jangan-jangan termasuk yang otaknya perlu diawetkan demi pengembangan peradaban kelak.
Saya marah dengan lelucon tentang orang Indonesia dan otak. Kalau orang Indonesia jatuh dari sepeda motor, kepalanya terhempas di aspal, bakalan tidak apa-apa. Kalau dengkulnya kejetok kaki meja, baru perkara serius. 
  Seseorang pernah tersinggung berat ketika seorang membuat joke tentang orang Amerika, Jerman, Israel, dan Indonesia. Di ruas jalan bebas hambatan terjadi kecelakaan beruntun. Sebuah rumah sakit membutuhkan otak untuk ditransplantasi. Begitu diperiksa, otak orang Amerika, Jerman, dan Israel, ditolak. Barulah pada orang keempat, dokter OK punya. Alasannya, otak ketiga orang tersebut sudah aus, kalau yang terakhir masih gress, belum dipakai. Brengsek.
Ya, banyak diantara kita ‘menidurkan’ otak, tidak maksimal memanfaatkannya. Bagi yang merasa memanfaatkan maksimal, tidak usah membaca tulisan ini. Sebagai orang yang belajar sampai ke PT, dalam ingatan, sedikit guru yang menyenggol-nyenggol soal otak. Guru kurang memberi informasi tentang otak, apa itu otak, sistem kerjanya, bagaimana merawat, merangsang atau memberi nutrisi sampai memaksimalkan fungsinya. Pendidikan berjalan dengan iramanya, alat yang dipakai untuk belajar, tidak diketahui sama sekali.
Pokoknya, pakai, belajarkan, paksa, isi penuh. Apalagi, menjelang ujian, jejar sebanyak-banyaknya dengan materi tanpa mempedulikan otak itu perlu asupan gizi, perangsang, atau refreshing. Ngak ngerti sih cara kerja otak. Kasihan anak didik. 
Ada orang tua yang tega memaksa anaknya belajar siang-malam, kursus ini-itu. Tidak paham bahwa otak itu juga manusia, eh maksudnya otak perlu istirahat, santai, rehat, dan disenang-senangkan. Pendidikan ‘tanpa otak’ adalah pendidikan menghapal, bukan memahami. 
Coba ingat-ingat. Belajar menulis kepada yang konon pakarnya dijejar ini-itu. Harus begini, harus begitu, harus begana. Wajib begini, wajib begitu. Anak SMP dipaksa menulis sehebat profesor ya hang otaknya. Karena itu prinsip EWT adalah menulis apa yang ada di otak, apa yang ada di pikiran. Kalau pengetahuan di otak memadai, apalagi tingkat tinggi, keluarannya pastilah bagus. 
Menulis itu mendidik diri, membelajarkan. Menulis secara otomatis menawar, menimbang atau melihat posisi pengetahuan, sudah benar apa belum, masih kurang apa cukup atau pantaskah ditulis. Menulis pembelajaran diri. Jangan sampai ‘tanpa otak’.
Bagaimana menurut Sampeyan? 

Saturday 14 January 2017

Menulis (4.9) Hantu Menulis

LANCAR. “Mas”, tanya saya kepada seorang mahasiswa, “Kemana Sampeyan melakukan perjalanan paling jauh?” Ke Tanah Grogot, Kalimantan Timur, jawabnya serius. Bercanda saya katakan: “Haregene baru sampai ke Tanah Grogot?” Kelas riuh pertanda keakraban. OK, pejamkan mata. Rekonstruksi sejak awal perjalanan sampai pulang. Pamungkasnya: “Ceritakan.” Si Mahasiswa menceritakan. Lancar.

Menulis apa yang dialami, disimpan atau diformulasikan dalam pikiran adalah perkara mudah. “Sekali lagi, pejamkan mata Sampeyan. Berapa waktu dibutuhkan ke Tanah Grogot? Begitu matanya dipejam langsung dijawab, sudah sampai Pak. Bisa ditulis pengalaman tersebut? Bisa Pak. Tapi, tidak sekarang. Selesai kuliah akan saya tulis.

Yup. Kalau lagi ada waktu luang, dalam pikiran, saya sering mengulang perjalanan ke luar negeri. Terkadang, kalau malam menjelang, disela-sela menulis, salat malam, lalu ke Masjidil Haram. 

Mengulangi duduk di tangga menurun Masjidil Haram sembari menikmati pesona Ka’bah. Mengulang-ngulang pengalaman. Lengkap dengan tawaf dan sa’i.

Perjalanan pikiran menghilangkan batas-batas spasial dan temporal. Apabila berkehendak jadilah. Sungguh nikmat. Soal diistilahkan imajinasi atau khayalan, terserah. Dilabeli power of mind pun boleh-boleh saja. Dari pemahaman tersebut membagi pada dua pilahan.

Pertama, menjelajahi kembali pengalaman untuk ditulis. Kedua, menambah-kurangi atau mengembangkan tanpa harus berdasarkan pengalaman nyata. Yang terakhir sedang dipelajari terutama dalam menulis fiksi. Tidak susah. Hanya perlu ‘melipat’ waktu, memendekkan jarak, dan meringkas menulis. Mudah.

Hal sedemikian dapat dilakukan siapa saja. Begitu mudah dan nikmat, dapat dikatakan memabukkan. Tidak mengapa menjadi demikian; pemabuk membaca dan pemabuk menulis. Saya mendapat tambahan, mabuk menyebarkan virus membaca, membiakkan virus menulis. Sekaligus menghindari jebakan mabuk karena alkohol he he.

Pikiran kita bisa melipat apa saja, katakanlah me-ZIP, yang ketika disimpan bak quark, dan ketika ditulis dikembangkan. Hanya saja, ada peringatan, kalau pada proses penyimpanan, dan atau, pengembangan ide di pikiran tidak mantap, maka menulis akan sangat susah. Seorang teman mengistilahkan menjadi ‘hantu’. Ih, ngeriiii.

Dengan kata lain, apabila melakukan sesuatu pahami secara pasti. Membaca pahami apa yang dibaca. Menuntun khayalan lakukan dengan fokus seolah-olah ada. Setelah itu, tulis. Manakala susah menuliskan pikiran, pertanda simpanan otak tidak berdasarkan pemahaman. Bak ikan mati, mata melotot.

Sebagai ilustrasi, coba ingat-ingat, ketika berpapasan dan bertegur sapa dengan seseorang. Ketika bersua lagi, dikonfirmasi, dijawab, merasa tidak bertegur sapa. Dalam hidup kita sering dijebak melakukan aktivitas, tetapi tidak paham yang dilakukan. Melihat, tetapi tidak merekam di memori. Kalau hal demikian menjadi ‘paten diri’ sungguh susah menulis. Menulis akan menjadi ‘hantu’ menakutkan. Betapa tidak, memori tidak merekam aktivitas. Kalau tidak terekam, atau rekaman cacat, bagaimana mungkin menjadi hal bagus ketika ditulis.

Akibatnya, takut ini-itu. Menulis menjadi hantu menakutkan. Menulis menuangkan pikiran. Menuangkan pikiran yang disimpan. Simpanan diproses dan dituangkan. Kalau susah menuliskan apa yang disimpan, bisa jadi simpanannya tidak karu-karuan. Pasti ada something wrong. Dus, kalau berkesusahan menulis, pindai-pindai sistem memori. Mana tahu ... ? 

Hantu menulis, bukan karena soal pintar-bodoh, punya gelar berderet-deret atau cap-cap sosial membanggakan. Menulis lebih kepada tertibnya sistem kerja otak yang dibuktikan dengan tulisan. Pakar mengatakan, dari tulisan seseorang tergambar pola pikirnya. Tulisan cermin diri. Dapat dipahami mengapa ada orang yang takut menulis?

Hantu menulis adalah ketakutan diri karena ketidakberesan sistem kerja otak. Hantu menulis kok dipelihara. 

Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.8) Maniak Menulis

KONTRIBUTIF. Pernah dikata-katai seseorang dengan nada cemeeh, maniak menulis? Maniak berarti orang yang tergila-gila sesuatu; orang yang amat sangat menyukai sesuatu. Kalau belum merasakan dicemooh, kalau menulis secara teratur, bukan tidak mungkin pada suatu ketika dimaki sebagai maniak menulis. 
Kalau saya cuek saja. Mau dicap maniak atau bukan terserah. Jangan-jangan mereka yang mencap berkeinginan menulis dengan nafsu di ubun-ubun, tapi “ejakulasi dini menulis”, iri dengan mereka yang produktif menulis. Maniak menulis lebih bagus dari mematikan kreativitas orang sebagai dendam karena diri tidak mampu. Perilakunya, mencari-cari kelemahan atau kekurangan. Kalau ‘orang sehat’ berkontribusi, memperbaiki. Maniak menulis konotasinya negatif, istiqamah menulis positif, namun menulisnya tetaplah menulis. 
Maniak atau istiqamah adalah penilaian yang berbeda dengan (melakukan) menulis. Penulis biasanya tidak terjerat dengan penilaian, apalagi penilaian mereka yang tidak piawai menulis. Bagi penulis menulis adalah pembelajaran dimana dengan menulis terus-menerus belajar. 
Jadi, dipahami sebagai hal positif dan dirasakan hasilnya positif. Tidak mungkin diganggu oleh sekadar cap-cap yang tidak kontributif. Gangguan-gangguan eksternal bukan dijadikan pemati, melainkan sebagai pupuk atau dorongan agar lebih giat menulis. Penulis lebih memperhatikan ‘cacian’ konstruktif-kontributif dibanding cemeeh.
Dari pada terjebak diskusi maniak menulis, pahami saja maniak menulis jauh lebih positif dari tidak menulis. Tidak ada salahnya produktif menulis. Persoalannya bagaimana agar produktif? Apa yang harus dilakukan?
Menulis jangan sampai membeban. Ada waktu luang, menulis. Menulis apa yang hendak ditulis. Saya jarang memikirkan akan menulis apa, tetapi menulis apa yang ada di pikiran. Jadi, tidak susah. Prinsip pancangannya sangat jelas: menulis tidak mengganggu pekerjaan pokok. Kecuali, bagi mereka yang berprofesi utama menulis. Lain lagi soalnya.
Dalam pada itu, tidak mau dibodohi teori atau dongeng-dongeng yang tidak jelas ujung pangkalnya. Misalnya menunggu mood, sesuai calling, harus di tempat yang sejuk, harus sesuai dengan kriteria anu, anu, dan anu. Menulis kok disusah-susahkan. Menulis dimudahkan saja. Titik.
Lagi pula, tidak usah membaca ini-itu, wong membaca sudah menjadi kebutuhan. Tidak harus belajar anu dulu, baru menulis. Atau, dipaksa-paksa. Apalagi, dibelenggu ingin populer, mendapat duit, mendapatkan pengakuan dan seterusnya. Menulis saja. Dapat honor, bonus namanya. Dikatakan hebat menulis, atau dikenal orang, syukur. 
Saya berketetapan, menulisnya aja lagi. Adakalanya, sepuluh atau lima belas menit menjadi satu tulisan. Daripada menegakkan kehebatan berpendapat atau teori-teori orang, lebih baik menulis. Biar saja maniak menulis, biar saja maniak memotivasi menulis. 
Bagaimana menurut Sampeyan?