Sunday 15 January 2017

Menulis (5.5) Mengoperasikan Otak, Ilmu Menalar

HUBUNGKAIT. Menulis tanpa logika, tanpa penalaran dipastikan menghasilkan tulisan lucu-lucuan. Pernah membaca tulisan yang membuat kepala pusing? Semakin dibaca semakin tidak dimengerti? Ada dua kemungkinan penyebabnya.
Pertama, tidak sesuai pendidikan, tidak sesuai keahlian. Misalnya begini. Buku Menulis Di Otak ini ‘bersandar’ pada otak melaju logika. Saya tidak mempelajari otak secara formal, hanya membaca buku-buku tentang otak. Pemahamannya tidak tuntas, pengetahuannya tidak radiks. Wajarlah kalau ada kesalahan (semoga tidak) karena belajar secara otodidak.
Atau, misalnya membaca dan menulis perihal fisika. Tidak cukup pengetahuan untuk memahaminya. Menulis tentang fisika, dipastikan akan ngawur. Sama saja orang berpendidikan teknologi mengangkangi pendidikan. Tidak sesuai kapasitas. Dianjurkan jangan menulis hal yang bukan bidangnya atau hal yang tidak dipahami.
Kedua, bisa jadi, pengetahuan atau ilmu OK, tetapi penyajiannya tidak karu-karuan. Apa sebab? Menulis tanpa logika. Hubungkait anyaman kata tidak tepat, tidak nyambung. Menulis bukan sekadar menjejar kata-kata. Sebab, setiap kata mengandung makna, berupa konsep. Lebih ruwet, dan karena itu membuat pusing, manakala seseorang menulis, konsepnya tidak jelas, logikanya jongkok. Kalau untuk hiburan, bagus membaca tulisan sedemikian. Tidak semua hal, apalagi tulisan, disajikan dengan baik dan benar bukan?
Sebelum lebih dalam, apa sih logika? Secara sederhana, logika adalah ilmu menalar atau ilmu berpikir. Kehendaknya, agar berpikir dengan tepat. Tepat dalam artian, pikiran dioperasikan sesuai patokan-patokan sehingga logis. Apa dan bagaimana patokan-patokan berpikir? Pelajari logika.
Menulis pada dasarnya menuliskan diri, menuliskan pengetahuan sebagai gambaran berpikir. Tidak heran, para filosof menggambarkan sebagai aktivitas ‘berbicara dengan diri, berbicara batiniah’. Operasionalnya terpindai ketika mempertimbangkan sesuatu, merenungkan, menganalisis, mengajukan alasan-alasan pembenar, berargumen, menarik kesimpulan, hubungkait, dan seterusnya.
Mempertimbangkan misalnya, memerlukan pengetahuan atau ilmu tertentu. Menganalisis, memerlukan ‘pisau teori’, bukan sekadar memikir-mikir sesuai apa yang dipahami. Untuk itulah pembelajaran. Itulah manfaat kuliah, apakah S1, S2, atau S3. Kita belajar ilmu (pengetahuan) agar memahami dan dengan pengetahuan kita menulis. Tanpa pengetahuan menulis? Lucu saja begitu. Tanpa logika menulis? Lebih lucu.
Pesan tulisan ini manakala menulis tidak dapat tidak,  dituntut pengetahuan yang cukup dan pemakaian logika yang tepat. Ogah ah belajar atau mempelajari logika? Terserah saja. Untuk menulis sekadar menuangkan pikiran, membiasakan menulis, OK saja. Tetapi, kalau untuk meningkatkan kualitas tulisan, wajib hukumnya mempelajari logika. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.4) Mempelajari Otak Memahami Pikiran

MINDSET. Ketika buku Mindset karya John Naisbitt digandrungi banyak orang, seseorang mendiskusikan karya futuris tersebut. Buku Change Your Mindset karya Carol S. Dweck dan buku sejenis belakangan digandrungi banyak orang. Tentunya agak kaget ketika nyerempet-nyerempet Lateral Thinking Edwar de Bono. Karena itu, tidak ada salahnya membaca buku terbitan KOMPAS, Memahami Otak, yang dieditori Jadma Taugada (2003).
Saya pikir, kalau belum membaca seksama tentang otak, bagusnya membaca buku popular seperti Membangunkan Raksasa Tidur karya Taufiq Pasiak. Kalau penasaran, silakan ’kubak’ otak dan pikiran melalui karya Tony Burzan seperti Use Your Head, The Speed Reading Book, Master Your Memory, Use Your Memory, The Mind Map Book. Percayalah, otak teramat penting, pikiran sangat mendasar dalam menjalani kehidupan. Menghapal kata-kata Rene Descartes, cogito ergo sum itu bagus, lebih bagus memahami milik kita paling berharga, otak (pikiran).
Mempelajari dan memahami otak, apalagi memelihara, menjaga kesehatan otak, sungguh sangat penting. Tidak heran, Kenneth Giuffre dan Therea Foy Digerenimo melejitkan buku, The Care and Feeding Your Brain. Wuih, tidak dapat tidak, sekalipun baru memiliki dan membaca beberapa buku, semakin sadar: Allahu Akbar. Betapa tidak puluhan kali Allah SWT, di ujung-ujung ayat Al-Qur’an ‘memperingatkan’: Afala taqqilun, afala tatafarrakun.
Membaca perihal otak dan mendiskusikan dengan seorang teman yang bergelar doktor, saya memprotes, betapa lebay-nya bangun sistem pendidikan Indonesia, mempelajari pengetahuan, tetapi tidak ada pembelajaran tentang otak (dan pikiran) secara ekplisit. Saya marah besar, ketika di program studi, mata kuliah Logika bukannya dikembangkan, tetapi dihapus. Entah apa pertimbangannya. 
Otak yang begitu penting sebagai ‘sarang’ pikiran luput dari pendidikan formal. Kenapa pendidikan begitu berpengaruh terhadap ‘jalan hidup’ seseorang? Pendidikan memberdayakan pikiran dan dengan pikiranlah kita belajar dan mempelajari segala hal. Dalam perspektif agama tentunya berlandaskan iman, keimanan. Masih ingat kata-kata Einstein: Agama tanpa ilmu buta. Ilmu tanpa agama lumpuh?
Apa kaitannya dengan menulis? Masih ingat kata-kata saya: jangan memikirkan apa yang akan ditulis, tulislah apa yang ada di pikiran. Yaps, kita berkutat di wilayah otak pada ranah pemikiran. Menggunakan, memanfaatkan, menuliskan apa yang ada di pikiran.
Ada yang dengan hebatnya, berpikir dan mempertontonkan pikirannya dengan berbicara menggebu-gebu atau menulis bak ‘jago pena’, eit isian apa yang dibicarakan atau ditulis, gimana gitu. Merasa telah menulis serius, menggunakan waktu berlama-lama, fokus sampai tidak tidur, tulisannya hambar?
Dengan kata lain, dalam rangka menulis, apalagi dalam upaya meningkatkan kualitas tulisan pelajari otak dan pikiran. Memang, secara implisit ketika membaca, saat belajar, kita mencerna dalam artian mempelajarinya, sebab muatannya adalah hasil ‘pekerjaan’ otak dan pikiran. Tetapi, mempelajari secara khusus tentulah lebih memberikan dasar kuat tersebab kita memahami alpha-bethanya.
Menurut analisis saya ...  tulisan mereka yang mempelajari secara mendalam apa itu otak, apa itu pikiran, bagaimana mengoperasikannya secara benar, misalnya dengan menerapkan logika yang benar, berbeda dengan yang sekadar menulis. Bisakah, atau mungkinkah  kualitas tulisan baik tanpa mempelajari otak dan pikiran?
Bisa. Kenapa tidak. Ibaratnya, diperlukan waktu yang lama, durasi pembelajaran menjadi sangat panjang. Seorang penjual goreng pisang tanpa mempelajari apa itu pisang secara formal, bagaimana cara menggoreng yang baik, dan bla-bla ternyata pisang gorengannya uenak tenan. Apa sebab? Melakukan. Belajar dari pengalaman.
Mempelajari otak dan sistem pikiran dalam arti melejitkan kemampuan menulis berarti merambah wilayah peningkatan kualitas tulisan. Untuk sekadar menulis? Tidak usahlah itu. Tetapi, kalau tidak mau mempelajari otak memahami pikiran, tulisan akan begitu-begitu saja alias kualitasnya susah dilejitkan. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.3) Mempelajari Otak, Ogah Ah

MENULIS. Bagaimana kalau Sampeyan menghadapi persoalan seperti ini. Seorang sarjana menyulang, menulis bukan dengan otak, tetapi dengan hati. Maksudnya kira-kira, kehendak menulis didasari, dilandasi hati. Pertanyaannya apa itu hati? Apa yang dimaksud liver sebagai benda, atau dalam pengertian kalbu, atau apa? Ketika diminta pengertian dia tidak mampu menerangkan. Paham sebagaimana dia memahami, bukan dalam arti konsepsual.
Manakala tidak paham konsep absen, Sampeyan menyuruh murid atau bawahan menandatangani absensi (daftar ketidakkehadiran). Orang hadir diminta menandatangani ketidakhadiran. Lucu. Ada pula yang mengumandangkan pulang-pergi walaupun paham, aktivitas dimulai dari awalnya, pergi dulu kemudian pulang. Atau, bertanya: “Air (ledeng) di rumah Sampeyan apa jalan?” Bagaimana mungkin air berjalan, emang air berkaki? Konsep berpindahnya air mengalir. Wualah, apalagi kalau ledeng berbaris lalu berjalan ke seantero kota. Bisa membuat geger dunia Bro.
Penalaran adalah wilayah pikiran, terlepas dalam pengertian umum tertumpang tindih dengan otak. Pikiran, atau turunannya, pemikiran, penalaran, ide, gagasan, dan seterusnya adalah ketika seseorang mengoperasikan otak sebagai hardware dan pikiran sebagai software yang dalam kaitan tulisan ini, manusia yang menulis. 
Apalagi kalau tingkatannya dinaikkan, misalnya, menulis tergantung mood, in the mood, tentu lebih rumit. Benar saja, dalam kehidupan, suasana hati, suasana kebatinan, mood (pahami secara radiks dalam konteksnya), mempengaruhi apa yang kita lakukan. Saya tidak membahas relasi konsepsional antara pikiran dengan hati, apalagi perasaan. Dalam konteks menulis lebih menjurus, menciptakan mood. Jangan sampai menulis menunggu mood. Kalau tidak hampir, tidak menulis dong.
Dus, diskusi ditukikkan kepada otak (baca: pikiran) sebagai landasan. Otak yang menginput, memproses, dan mengeluarkan apa yang (akan) ditulis sehingga menjadi tulisan. Pertanyaan pokoknya, apakah (sebelum) menulis telah mempelajari otak? Apa itu otak? Bagaimana sistem kerjanya, merawat, sampai melejitkannya? Kalau memahami otak saja tidak mau, ogah mempelajari otak, tidak syak lagi, sungguh berkesusahan Bro.
Pernah membaca buku Menulis dengan Gembira? Ada bahasan menghentak yang rada-rada lucu, tentang BH. Ada cewek yang kemana-mana memakai BH, tetapi kepanjangan BH saja tidak tahu, apalagi artinya, filosofisnya. Pokoknya pakai. Saya menganjurkan memahami maknanya dengan istilah kutang. Klir. Jelas. 
Bisakah kita menulis tanpa mempelajari otak? Atau begini, mana yang lebih baik mempelajari otak dibanding tidak? Boleh-boleh saja bersikukuh, ogah mempelajari otak, toh sudah bisa menulis atau merasa diri penulis hebat dengan menggunakan otak tanpa mempelajari. OK, OK. Tetapi, apa salahnya mempelajari otak? Dengan memahami apa itu otak dengan segala kehebatannya, Insya Allah akan lebih memudahkan menulis. 
Percaya atau tidak, buktikan. Ogah itu bagus pada konteks yang tepat. Anjuran saya, kalau berkehendak menulis, pelajari otak. Tidak ada ruginya. So pasti.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.2) Membunuh Potensi Otak?

MARAH-MARAH. Suatu kali, istri seorang teman terkaget-kaget. Anak seorang teman yang berkunjung berpenampilan amat lincah, kreatif. Tidak mau diam, selalu bergerak. Barang-barang dalam rumah teman tersebut diudak-aduknya. Kira-kira dia terkagum-kagum sekaligus sebel; baru anak kecil kelakuannya sudah aduhai, apalagi kalau besar.
Suatu ketika, istri seorang teman terkagum-kagum. Ketika berkunjung ke rumah seorang teman, anak Si Teman berjuang meminta uang. Sekalipun ibunya mendelik, tetap saja diminta. Es krimlah, chikilah, permenlah. Dimintanya sampai ibunya memberi uang dengan mimik dipaksakan bermanis-manis sekalipun dengan menggeretakkan gigi.
Saya pernah ‘menggoda’ seorang teman: “Mbak. Kok marah-marah melulu”. Dia berargumen: “Dasar mahasiswa malas. Tidak memperhatikan kuliah”. Saya katakan: Mbak. Memberi kuliah itu berarti juga memenej kelas. Kalau kelasnya riuh,yang tidak beres bukan mahasiswa, tetapi pengajarnya.”
Mukanya masam. Aneh. Bagi siapa saja yang pernah menimba ilmu pendidikan pastilah paham, sebelum menjadi dosen dididik mengelola kelas. Berani-beraninya menjadi dosen, tetapi tidak belajar ilmu pendidikan. Akibatnya, suka marah-marah. “Hargai yang berbicara di depan”, Weleh weleh, bagaimana menghargai, celoteh yang tidak pantas dihargai. Tidak logis.
  Setiap anak yang lahir membawa potensi. Dalam pendidikan tradisional dikenal istilah cerek dan cangkir, pengetahuan orang dewasa dicurahkan. Dalam pendidikan modern sebaliknya, pendidikan mengembangkan potensi anak. 
Anak-anak belajar dari pengalamannya. Ketika berekspresi di rumah tetangga ibunya tidak marah, dan disimpulkan, kebebasan didapat bukan di rumah. Begitu juga ketika meminta uang untuk jajan. Manakala ada tamu ibunya memberi, kalau tidak ada tamu, ibu marah-marah melulu. 
Tidak ada satu pun teori yang membenarkan marah dan amarah dikembangkan. Marah boleh dalam katup mendidik. Tetapi, marah-marah bukanlah perilaku yang patut dikembangkan. Gara-gara tidak menguasai materi perkuliahan mahasiswa menjadi sasaran. Tidak mengembangkan kompetensi profesional pihak lain yang menjadi korban.
Saya pernah terlibat diskusi dengan seorang teman. Si Teman mengkritisi EWT dengan segala kekurangannya. Saya katakan, EWT sedang dikembangkan. Terima kasih kritisasinya. Diskusi ‘meninggi’ ketika diutarakan, EWT untuk mengembangkan potensi menulis. “OK, saya menghargai Sampeyan sebagai kritikus. Tapi, mbok mahasiswa jangan diarahkan mengkritisi saja. Berilah contoh tulisan yang bagus itu seperti apa?”
Saya berpendapat setiap orang berpotensi menulis. Potensi tersebut yang dikembangkan. Ada orang yang mengembangkan potensi mengkritisi, silakan saja. Banyak contoh sederhana atau serius, bukan potensi otak yang dikembangkan, tetapi sebaliknya. Bagaimana mau mengembangkan potensi menulis kalau yang diutamakan mencela tulisan orang, bukan memperbaiki. Mereka yang menulis dimusuhi, yang tidak menulis yang baik. Aya aya wae.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (5.1) Pendidikan Tanpa Otak

TENGKORAK. Membaca buku-buku tentang otak, sungguh saya merasa rugi, kenapa tidak dari dulu. Bukankah pembelajaran lebih menggunakan otak dari bagian tubuh lainnya? Menggunakan otak tanpa diketahui A-Znya. Otak adalah: benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf (KBBI, 1988: 631).
Otak berarti pula alat berpikir, atau pikiran itu sendiri. Orang gila, berpikirnya gimana gitu, dikatakan tidak berotak. Dalam makian, kalau rada-rada bego, dikatakan berotak udang. Udang binatang yang otaknya tahi. Kalau pemangsa, eh ... maaf, pemakan terasi (acan), kalau dibuat dari kepala udang, hati-hatilah. 
Otak alat berpikir berian Allah SWT berkapasitas tidak terbatas. Albert Einstein, si jenius itu, ditulis baru memakai 3% kapasitas otaknya.  Bagaimana dengan saya yang tidak menghasilkan apa-apa? Jangan-jangan termasuk yang otaknya perlu diawetkan demi pengembangan peradaban kelak.
Saya marah dengan lelucon tentang orang Indonesia dan otak. Kalau orang Indonesia jatuh dari sepeda motor, kepalanya terhempas di aspal, bakalan tidak apa-apa. Kalau dengkulnya kejetok kaki meja, baru perkara serius. 
  Seseorang pernah tersinggung berat ketika seorang membuat joke tentang orang Amerika, Jerman, Israel, dan Indonesia. Di ruas jalan bebas hambatan terjadi kecelakaan beruntun. Sebuah rumah sakit membutuhkan otak untuk ditransplantasi. Begitu diperiksa, otak orang Amerika, Jerman, dan Israel, ditolak. Barulah pada orang keempat, dokter OK punya. Alasannya, otak ketiga orang tersebut sudah aus, kalau yang terakhir masih gress, belum dipakai. Brengsek.
Ya, banyak diantara kita ‘menidurkan’ otak, tidak maksimal memanfaatkannya. Bagi yang merasa memanfaatkan maksimal, tidak usah membaca tulisan ini. Sebagai orang yang belajar sampai ke PT, dalam ingatan, sedikit guru yang menyenggol-nyenggol soal otak. Guru kurang memberi informasi tentang otak, apa itu otak, sistem kerjanya, bagaimana merawat, merangsang atau memberi nutrisi sampai memaksimalkan fungsinya. Pendidikan berjalan dengan iramanya, alat yang dipakai untuk belajar, tidak diketahui sama sekali.
Pokoknya, pakai, belajarkan, paksa, isi penuh. Apalagi, menjelang ujian, jejar sebanyak-banyaknya dengan materi tanpa mempedulikan otak itu perlu asupan gizi, perangsang, atau refreshing. Ngak ngerti sih cara kerja otak. Kasihan anak didik. 
Ada orang tua yang tega memaksa anaknya belajar siang-malam, kursus ini-itu. Tidak paham bahwa otak itu juga manusia, eh maksudnya otak perlu istirahat, santai, rehat, dan disenang-senangkan. Pendidikan ‘tanpa otak’ adalah pendidikan menghapal, bukan memahami. 
Coba ingat-ingat. Belajar menulis kepada yang konon pakarnya dijejar ini-itu. Harus begini, harus begitu, harus begana. Wajib begini, wajib begitu. Anak SMP dipaksa menulis sehebat profesor ya hang otaknya. Karena itu prinsip EWT adalah menulis apa yang ada di otak, apa yang ada di pikiran. Kalau pengetahuan di otak memadai, apalagi tingkat tinggi, keluarannya pastilah bagus. 
Menulis itu mendidik diri, membelajarkan. Menulis secara otomatis menawar, menimbang atau melihat posisi pengetahuan, sudah benar apa belum, masih kurang apa cukup atau pantaskah ditulis. Menulis pembelajaran diri. Jangan sampai ‘tanpa otak’.
Bagaimana menurut Sampeyan? 

Saturday 14 January 2017

Menulis (4.9) Hantu Menulis

LANCAR. “Mas”, tanya saya kepada seorang mahasiswa, “Kemana Sampeyan melakukan perjalanan paling jauh?” Ke Tanah Grogot, Kalimantan Timur, jawabnya serius. Bercanda saya katakan: “Haregene baru sampai ke Tanah Grogot?” Kelas riuh pertanda keakraban. OK, pejamkan mata. Rekonstruksi sejak awal perjalanan sampai pulang. Pamungkasnya: “Ceritakan.” Si Mahasiswa menceritakan. Lancar.

Menulis apa yang dialami, disimpan atau diformulasikan dalam pikiran adalah perkara mudah. “Sekali lagi, pejamkan mata Sampeyan. Berapa waktu dibutuhkan ke Tanah Grogot? Begitu matanya dipejam langsung dijawab, sudah sampai Pak. Bisa ditulis pengalaman tersebut? Bisa Pak. Tapi, tidak sekarang. Selesai kuliah akan saya tulis.

Yup. Kalau lagi ada waktu luang, dalam pikiran, saya sering mengulang perjalanan ke luar negeri. Terkadang, kalau malam menjelang, disela-sela menulis, salat malam, lalu ke Masjidil Haram. 

Mengulangi duduk di tangga menurun Masjidil Haram sembari menikmati pesona Ka’bah. Mengulang-ngulang pengalaman. Lengkap dengan tawaf dan sa’i.

Perjalanan pikiran menghilangkan batas-batas spasial dan temporal. Apabila berkehendak jadilah. Sungguh nikmat. Soal diistilahkan imajinasi atau khayalan, terserah. Dilabeli power of mind pun boleh-boleh saja. Dari pemahaman tersebut membagi pada dua pilahan.

Pertama, menjelajahi kembali pengalaman untuk ditulis. Kedua, menambah-kurangi atau mengembangkan tanpa harus berdasarkan pengalaman nyata. Yang terakhir sedang dipelajari terutama dalam menulis fiksi. Tidak susah. Hanya perlu ‘melipat’ waktu, memendekkan jarak, dan meringkas menulis. Mudah.

Hal sedemikian dapat dilakukan siapa saja. Begitu mudah dan nikmat, dapat dikatakan memabukkan. Tidak mengapa menjadi demikian; pemabuk membaca dan pemabuk menulis. Saya mendapat tambahan, mabuk menyebarkan virus membaca, membiakkan virus menulis. Sekaligus menghindari jebakan mabuk karena alkohol he he.

Pikiran kita bisa melipat apa saja, katakanlah me-ZIP, yang ketika disimpan bak quark, dan ketika ditulis dikembangkan. Hanya saja, ada peringatan, kalau pada proses penyimpanan, dan atau, pengembangan ide di pikiran tidak mantap, maka menulis akan sangat susah. Seorang teman mengistilahkan menjadi ‘hantu’. Ih, ngeriiii.

Dengan kata lain, apabila melakukan sesuatu pahami secara pasti. Membaca pahami apa yang dibaca. Menuntun khayalan lakukan dengan fokus seolah-olah ada. Setelah itu, tulis. Manakala susah menuliskan pikiran, pertanda simpanan otak tidak berdasarkan pemahaman. Bak ikan mati, mata melotot.

Sebagai ilustrasi, coba ingat-ingat, ketika berpapasan dan bertegur sapa dengan seseorang. Ketika bersua lagi, dikonfirmasi, dijawab, merasa tidak bertegur sapa. Dalam hidup kita sering dijebak melakukan aktivitas, tetapi tidak paham yang dilakukan. Melihat, tetapi tidak merekam di memori. Kalau hal demikian menjadi ‘paten diri’ sungguh susah menulis. Menulis akan menjadi ‘hantu’ menakutkan. Betapa tidak, memori tidak merekam aktivitas. Kalau tidak terekam, atau rekaman cacat, bagaimana mungkin menjadi hal bagus ketika ditulis.

Akibatnya, takut ini-itu. Menulis menjadi hantu menakutkan. Menulis menuangkan pikiran. Menuangkan pikiran yang disimpan. Simpanan diproses dan dituangkan. Kalau susah menuliskan apa yang disimpan, bisa jadi simpanannya tidak karu-karuan. Pasti ada something wrong. Dus, kalau berkesusahan menulis, pindai-pindai sistem memori. Mana tahu ... ? 

Hantu menulis, bukan karena soal pintar-bodoh, punya gelar berderet-deret atau cap-cap sosial membanggakan. Menulis lebih kepada tertibnya sistem kerja otak yang dibuktikan dengan tulisan. Pakar mengatakan, dari tulisan seseorang tergambar pola pikirnya. Tulisan cermin diri. Dapat dipahami mengapa ada orang yang takut menulis?

Hantu menulis adalah ketakutan diri karena ketidakberesan sistem kerja otak. Hantu menulis kok dipelihara. 

Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.8) Maniak Menulis

KONTRIBUTIF. Pernah dikata-katai seseorang dengan nada cemeeh, maniak menulis? Maniak berarti orang yang tergila-gila sesuatu; orang yang amat sangat menyukai sesuatu. Kalau belum merasakan dicemooh, kalau menulis secara teratur, bukan tidak mungkin pada suatu ketika dimaki sebagai maniak menulis. 
Kalau saya cuek saja. Mau dicap maniak atau bukan terserah. Jangan-jangan mereka yang mencap berkeinginan menulis dengan nafsu di ubun-ubun, tapi “ejakulasi dini menulis”, iri dengan mereka yang produktif menulis. Maniak menulis lebih bagus dari mematikan kreativitas orang sebagai dendam karena diri tidak mampu. Perilakunya, mencari-cari kelemahan atau kekurangan. Kalau ‘orang sehat’ berkontribusi, memperbaiki. Maniak menulis konotasinya negatif, istiqamah menulis positif, namun menulisnya tetaplah menulis. 
Maniak atau istiqamah adalah penilaian yang berbeda dengan (melakukan) menulis. Penulis biasanya tidak terjerat dengan penilaian, apalagi penilaian mereka yang tidak piawai menulis. Bagi penulis menulis adalah pembelajaran dimana dengan menulis terus-menerus belajar. 
Jadi, dipahami sebagai hal positif dan dirasakan hasilnya positif. Tidak mungkin diganggu oleh sekadar cap-cap yang tidak kontributif. Gangguan-gangguan eksternal bukan dijadikan pemati, melainkan sebagai pupuk atau dorongan agar lebih giat menulis. Penulis lebih memperhatikan ‘cacian’ konstruktif-kontributif dibanding cemeeh.
Dari pada terjebak diskusi maniak menulis, pahami saja maniak menulis jauh lebih positif dari tidak menulis. Tidak ada salahnya produktif menulis. Persoalannya bagaimana agar produktif? Apa yang harus dilakukan?
Menulis jangan sampai membeban. Ada waktu luang, menulis. Menulis apa yang hendak ditulis. Saya jarang memikirkan akan menulis apa, tetapi menulis apa yang ada di pikiran. Jadi, tidak susah. Prinsip pancangannya sangat jelas: menulis tidak mengganggu pekerjaan pokok. Kecuali, bagi mereka yang berprofesi utama menulis. Lain lagi soalnya.
Dalam pada itu, tidak mau dibodohi teori atau dongeng-dongeng yang tidak jelas ujung pangkalnya. Misalnya menunggu mood, sesuai calling, harus di tempat yang sejuk, harus sesuai dengan kriteria anu, anu, dan anu. Menulis kok disusah-susahkan. Menulis dimudahkan saja. Titik.
Lagi pula, tidak usah membaca ini-itu, wong membaca sudah menjadi kebutuhan. Tidak harus belajar anu dulu, baru menulis. Atau, dipaksa-paksa. Apalagi, dibelenggu ingin populer, mendapat duit, mendapatkan pengakuan dan seterusnya. Menulis saja. Dapat honor, bonus namanya. Dikatakan hebat menulis, atau dikenal orang, syukur. 
Saya berketetapan, menulisnya aja lagi. Adakalanya, sepuluh atau lima belas menit menjadi satu tulisan. Daripada menegakkan kehebatan berpendapat atau teori-teori orang, lebih baik menulis. Biar saja maniak menulis, biar saja maniak memotivasi menulis. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.7) Bumerang Menulis

SEBAL. Aborigin adalah penduduk asli Australia mempunyai senjata khas bumerang. Senjata berbentuk lengkung dari kayu tersebut, apabila dilemparkan dan tidak mengenai sasaran, dapat kembali kepada si pelempar. Perkataan atau perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri disebut bumerang. Dalam menulis, bumerang dapat diartikan apabila ‘melontarkan’ sesuatu, kritikan atau hujatan, kembali kepada diri sendiri.
Mengkritik, tanpa dasar dan argumen, apalagi asbun, dipastikan kembali ke diri. Suatu kali, seorang petinggi kampus, entah atas dasar apa, mengistilahkan dosen yang rajin menulis di media cetak sebagai Dosen Koran. Seorang teman, karena sebalnya ke ubun-ubun, menulis artikel: Dosen Koran bermuatan kepositifan dosen menulis di media cetak.
Saya tertawa saja. Ada yang menyesalkan hal tersebut. Ada yang tidak memahami, kenapa petinggi mengucapkan hal tersebut. 
Seorang redaktur media cetak, marahnya luar biasa. Menulis di media cetak kok dikonotasikan negatif oleh petinggi kampus. Tidak semua petinggi kampus arif memang, apalagi dalam kaitan menulis. Dunia ini semakin aneh saja.
Saya mendamaikan hati teman-teman. Kasihan si petinggi. Mungkin saja dia tidak paham atau emosi. Ketika diminta mengomentari tidak bersedia. Merasa hebat dengan pikiran sendiri, menjadi bumerang. Simpati banyak orang kepadanya melorot. 
Sebagai ‘penulis kacangan’ saya pernah mengalami dimana tulisan menjadi bumerang. Hal tersebut mengirim isyarat dan peringatan agar berhati-hati menulis. Memilih tema, diksi, dan seterusnya. Cara bagusnya hindari gayutan emosi dan jangan menembak individu atau instansi tertentu. Kalau mengkritik sifatnya umum. Kecuali, faktanya sangat jelas dan demi pencerahan.
Ya, dalam menulis memang perlu menimbang-nimbang, soal pantas atau bukan, patut atau tidak. Tetapi, sejauh tidak mengganggu kelancaran menulis dan tidak melawan prinsip umum. Gara-gara terlalu berhati-hati menulisnya tidak menjadi tentunya tidak konstruktif.
Bumerang menulis adalah risiko apabila segala sesuatu sudah diperhitungkan. Jangan pula gara-gara takut risiko menulisnya dikhatamkan. Tidak elok itu. Hidup ini adalah risiko. Pandai memperhitungkan risiko disitulah kelebihan manusia dari manusia lainnya.
Pesan yang hendak disampaikan, hati-hatilah menulis sesuatu, apalagi kalau sampai melibatkan emosi. Kalau menjadi bumerang, yang terkena diri sendiri. Tetapi, jangan takut risiko menulis. Tidur pun ada risikonya. Kalau menulis salah misalnya, penulis mempunyai kesempatan untuk memperbaiki. Kalau tidak menulis apa yang mau diperbaiki? Artinya, menulisnya yang diutamakan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.6) Magnet Menulis

POTENSI. Pengertian magnet dalam tulisan ini bukanlah secara kamusis, benda yang menghasilkan medan magnet di ruang sekitarnya, atau, besi yang berisi daya tarik. Inspirasi dijumput dari seorang pesharing menulis. Tulisnya, kalau bergaul, berkomunikasi dengan orang-orang yang suka menulis, kita akan terpengaruh. Dan, potensi menulis akan berkembang.
Pada tataran tertentu ada benarnya. Pada bagian lain, tidak signifikans. Kenapa? Saya contoh hal terbaliknya. Saya banyak bergaul dengan mereka yang tidak piawai menulis. Karena mereka belum mampu menulis, saya belajar dari mereka. Apa yang menyebabkan kesulitan dalam menulis?
Memang, kalau bergaul dengan pegunjing, akan menjadi pegunjing. Contoh sederhananya, manakala berdua atau bertiga, membicarakan Si Anu, maka apabila ‘kita’ yang tidak ada, ‘kita’ yang akan menjadi bahan gunjingan. 
Sebaliknya, jika berkomunikasi dengan mereka yang suka menulis, potensi menulis yang sudah dititipkan Allah SWT sejak roh ditiupkan, akan berkembang. Kita akan suka berbicara, berdiskusi, atau membincang hal-ikhwal menulis. Apalagi asupan paling utamanya, membaca. Pergaulan secara psikologis dan sosiologis mampu menjadi magnet dan mempengaruhi.
Dalam menulis pemakaian istiah magnet dapat dipilah pada dua hal. Pertama, apabila bergaul dengan mereka yang suka menulis, membaca hal-ikhwal menulis, atau mengagumi mereka yang piawai menulis, banyak sedikitnya, diakui atau tidak, ditolak atau dijauhi, pengaruh tersebut tidak bisa dihindari. 
Kedua, magnet tulisan pada kebermaknaan tulisan. Tulisan-tulisan bagus yang cocok dengan suasana kebatinan banyak orang akan dibaca. Manusia mempunyai sifat dasar ingin tahu. Misalnya tulisan-tulisan yang ke luar dari mainstream dilarang sekalipun dicari pembaca dengan berbagai cara.
Serial Harry Potter J.K Rowling, Laskar Pelangi Andrea Hirata atau ASAP Ersis Warmansyah Abbas ‘diburu’ banyak orang untuk memuaskan dahaga baca. Tentu, ASAP tidak sehebat karya Rowling dan Hirata. Bisa-bisanya penulis memberi contoh he he.
Pelajarannya adalah, kalau berkeinginan menulis, tidak salah memperbanyak membaca tentang perihal tulis-menulis dan tulisan penulis popular. Tetapi, tetap saja menulisnya yang paling penting. Kalau membaca tentang teknik maling dan bergaul dengan maling tidak cocok untuk pengembangan keterampilan menulis. Medan magnetnya berbeda.
Harap dicatat, magnet tulisan menjadi manakala ada kesamaan frekuensi, baik dalam relasi hubungan kemanusiaan maupun antara tulisan dan pembaca. Kalau tulisan tidak disenangi pertanda tidak bermagnet. Kalau magnet penulisnya? Abaikan. Bisa merusak rumah tangga he he he. 
  Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.5) Ahimsa Menulis

TABU. Mahatma Gandhi pejuang cerdas dan tangguh Tanah Hindi nampaknya melihat, perjuangan kehidupan adalah perjuangan kemanusiaan, dan bahkan perikebinatangan. Sesama makhluk Sang Mahapencipta jangan menyakiti, apalagi membunuh. Menggunakan kekerasan tabu. 
Gandhi anti penjajahan. Namun, dalam melawan penjajah bukan dengan kekerasan, non-violence. Tidak bekerjasama dengan penjajah. Inggris merancah ekonomi anak Benua India dengan landas pikir kolonialisme. Kata Gandhi, jangan beli produk Inggris, tenun sendiri baju yang hendak dipakai. 
Menulis menuangkan pikiran, menumpahkan perasaan, menyampaikan pesan, kejengkelan maupun kegembiraan.  Setidaknya, bermuatan dua hal. 
Pertama, bisa jadi penulis adalah orang-orang egois dalam arti menyambungsampaikan apa yang dipikirkannya. Bahkan, terkadang tanpa mempertimbangkan yang di luar pikirannya.
Kedua, ketika mengeluarkan ‘isi perut’, penulis cenderung menggurui; benar menurut pikirannya. Itulah sebabnya, sebelum menulis seyogyanya penulis mencapai tingkat kematangan tertentu hingga tulisannya arif. Pada kasus tertentu, menulis bisa jadi, kekerasan itu sendiri.
Perhatikan, tulisan-tulisan atau karya tulis yang menghukum, selain pendapat tidak diberi tempat. Seronok (menyenangkan hati) adakalanya hanya untuk memuaskan diri. Pada tingkat jahiliyah, tulisan dimaksudkan untuk menyakiti orang lain.
Tentu, saya tidak terlepas dari hal-hal sedemikian. Itulah yang dimaksud berguru pada diri sendiri, introspeksi. Membaca tulisan sendiri akan melihat diri sendiri, tulisan adalah kaca diri. Tulisan yang menyerang, terutama menusuk pribadi dihindarkan. Sebab merugikan diri dan orang lain. 
Kalau ada yang menyulang: Tulisan Ersis sering menohok. Bisa jadi. Tetapi, harap diingat, sifatnya umum. Misalnya menyerang kemalasan menulis. Kalau ada yang malas menulis dan dia terkena, bukan dia yang disasar, namun karena masuk gejala umum tersebut kelakuannya terikut. Itu soal lain. Tentu bagus kalau karena itu adrenalin menulis terjaga.
Menulis mengeluarkan pikiran adalah kemampuan menulis dasar. Menulis bukan sekadar menulis kata, tetapi menulis lebih bermakna. Menulis bermakna merupakan aplikasi dari tingkat menulis yang bukan sekadar mengetik. Karena saya dalam dalam status belajar, berbasis ahimsa mengajak memasihkan menulis menuju menulis bermakna.
Menulis kita jadikan bukan ajang menyakiti sesama. Sekali lagi, untuk membangun jiwa-jiwa; manusia yang manusiawi. Napoleon pernah mengatakan: “Aku lebih takut kepada sebatang pulpen (tulisan) dari 1.000 tentara”.  Tulisan memang bisa begitu ganas. Konon, lebih tajam dari pedang. Tetapi, sebaiknya menulis bukan untuk kekerasan.
Apa yang kita tulis landaskan kepada Risalah Rasulullah, Firman Allah SWT dalam balutan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Menulis membangun kepribadian, membangun diri, membangun kepribadian tanpa kekerasan. Ahimsa menulis, tidak salah bukan?
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.4) Agitasi Menulis

CANDU. Pemantik menulis, sebagaimana rezeki, terkadang datang tanpa diduga. Kalau Allah SWT mendatangkan rezeki, tanpa mengharapkan akan didapat. Rasulullah tidak pernah mengajarkan doa untuk menolak rezeki. Rezeki datang dari Allah SWT. Selama manusia berusaha jangan takut tidak dihampiri rezeki. Bahwa, dalam mendapatkannya beragam pengalaman itu soal lain.
Menulis tentu bukan rezeki dalam artian harfiah. Hanya saja, kalau mampu dimaknai bisa jadi ‘ibu’ rezeki. Menguntungkan secara psikologis, menjadi amal manakala untuk kebaikan, bermanfaat bagi pembaca, dan bisa menjadi sumber pendapatan. 
Maaf, bukan bermaksud bergaya. Bagi saya menulis dipatok dalam kancah positif. Sekalipun belum penulis handal di lubuk jiwa ada keinginan berbagi. Korban awal tentu lingkungan terdekat. Perasaan berasa melayang ke langit ketujuh apabila yang dimotivasi menulis.
Pada posisi demikian mungkin punya kelainan. Pada tingkat tertentu, motivasi yang diumbar adakalanya tergolong agitasi; menghasut dengan aneka cara agar orang terpantik menulis. Padahal, kalau dipikir-pikir, terkadang malu juga. Siapa sih sebenarnya awak ini? Sudah demikian, tidak terlalu mempersoalkan tujuan memotivasi atau ragam agitasi menulis yang dilakukan. Agar tidak berpanjang-panjang diringkas saja, senang apabila semakin banyak orang kecanduan menulis.
Di ‘dunia darat’, terutama mahasiswa-mahasiswa, peserta seminar, atau penataran biasanya paham gaya memotivasi, atau agitasi saya. Menulis tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang malas membaca. Menulis tidak mungkin dilakukan oleh yang suka beralasan, Raja Alasan. Ada beberapa hal yang diagitasii.
Pertama, banyak membaca. Kalau berkemampuan membaca dengan baik, isi bacaan akan dipahami untuk disimpan di memori. Kalau susah, bisa jadi, karena membacanya tidak benar, atau penyimpanan tidak sempurna. Kalau demikian, sangat sukar dikeluarkan, ditulis. Banyak orang berilmu, ahli segala rupa, menulis apa yang diomongkannya, bisa pingsan dia. 
Kedua, tidak malu ‘kebodohan diri’ diketahui khalayak. Menulis berbeda dengan berbicara (ngomong). Kalau berbicara, begitu selesai, ditelan ruang. Kalau disoal bisa berkilah: Ah saya tidak berbicara begitu. Sampeyan salah dengar, salah tangkap (emang tikus). Menulis tentu tidak bisa berkilah. Tertulis. Dari tulisan akan kelihatan ‘bodoh’ atau ‘pintar’ seseorang. Kalau tidak mau ketahuan bodoh, jangan menulis.
Entahlah. Yang pasti niat saya baik. Terakhir semakin menaik, bukan sekadar menulis, tetapi menulis buku. Agitasinya diperlebar terus-menerus. Contohnya, Syamsuwal Qomar dan Suciati, diwajibkan menulis buku sebelum sarjana. Kalau berhasil diterima jadi karyawan. Ada yang bilang, wartawan senior itu kalau sudah menulis buku, Qomar dan Suci sebelum resmi jadi wartawan setelah menulis buku.
Mantan mahasiswa saya yang kini dosen, Syaharuddin, mungkin paling empuk dijadikan sansak. Simpai Kempo pemenang medali emas Porda VI Kalsel tersebut, ditengah kesibukannya mengerjakan tesis S2 di UGM, kalau ke rumah disambut muka cemberut. Alhamdulillah dia tahan banting. Apa sebab?
Sebelum berangkat ditancapkan: “Sebagai murid saya, apa tidak malu berpendidikan S2 tidak menulis buku.” Agitasi mujarab. Dua bukunya diterbitkan: Aktualisasi Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, dan Pendidikan Antara Konsep dan Realitas. Yang terakhir karya bersama dengan istrinya. Diterbitkan penerbit Eja Publisher Yogya. Kini dia tengah menyelesaikan studi S3. Great.
Syaharuddin, anak tabah dan baik hati tersebut membawa hadiah buku Kado Perkawinan; Road to Holy Wedding karya Muhammad Yusuf. Yusuf, mahasiswa pascasarjana UGM tersebut terpantik menulis setelah membaca buku Menulis Sangat Mudah. Saya agak malu testimoninya betapa buku kacangan tersebut sangat dahsyat memotivasi. 
Tulisan ini saya hadiahkan sebagai apresiasi buat mereka. Maaf kalau cara saya terlalu keras. Yakini satu hal, menulis itu baik. Lakukan sebagai medan dakwah, ladang amal. Biarlah saya tertunduk sebagai motivator kacangan atau agitator tidak berbudi, yang penting kalian bukan sekadar menulis saja, tetapi menjadi penulis buku.
Salam maaf. Menulis, menulis, mari menulis. 
  Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.3) Busur Menulis

BELAJAR. Otak kita setiap hari ditimbuni berbagai informasi. Dari apa yang dilihat, dibaca, didengar, dirasa, diraba atau dipikirkan. Saking aktifnya kerja otak, bahkan ketika tidak sadar seperti ketika tidur, hampir tidak penah berhenti. Mimpi. Atau, mengigau. Memori otak unlimited. Kalau otak berhenti beraktivitas pertanda seseorang wassalam.
Dapat dibayangkan, betapa banyaknya tumpukan sari pati atau ampas kerja otak. Kemana disalurkan? Satu caranya dengan menulis. Tidak berlebihan manakala menulis dipandang sebagai katarsis, membersihkan kerak-kerak otak. Kalau katarsis tidak pernah dilakukan, betapa menumpuk beban otak, otak bisa hang. Bisa gawat am. 
Tidak elok menumpukkan semua hal di otak. Pekerjaan merdeka menyalurkan ‘isi otak’ dengan menulis. Bahkan, dapat dikatakan sebagai busur bagi melejitnya pikiran. Kalau ‘isi otak’ dijadikan tulisan, sangat baik bagi otak itu sendiri, bagi yang mempunyai otak, bagi yang berotak.
Karena itu, berseloroh dalam berbagai sharing dengan menggoda peserta: ”Satu-satunya musuh menulis adalah mereka yang tidak berotak”. Seorang peserta menambahkan: ”Mempunyai otak, tetapi membeku”. Ya, saya pastikan, kalau tidak mempunyai otak jangan pernah bermimpi menjadi penulis he he. 
Apabila ‘isi otak’ dituliskan, terutama hal-hal yang bermanfaat bagi sesama, menulis menjadi busur sangat bagus mengantarkan ‘buah pikiran’. Tulisan dijadikan penyampai ilmu, pengetahuan, dan hal-hal baik. Bayangkan betapa repotnya kalau Al-Qur’an tidak ditulis, betapa susahnya kita membaca dan belajar dari firman Allah SWT.  
Pernah membaca karya Dante Alighieri Davina Commedia? Konon curian dari Isra’ Mikraj Rasulullah. Dante menempatkan Rasulullah di neraka paling bawah, neraka jahannam. Khas gaya Barat. Pernah membaca tentang Ibnu Rusyd? Kalaulah Rusyd, filosuf multitalenta tersebut tidak menuliskan ulang pikiran Socrates dan teman-temannya dengan komentar-komentar kritisnya sehingga terkenal sebagai The Comentator, bisa-bisa alam pikiran Yunani hilang dari ‘pikiran dunia’. Karya Rusyd menjadi busur bagi penulisan ragam pikiran hebat-hebat. 
Yang bodoh, kalau ada Muslim berbusung dada membanggakan filsafat Barat, menghujat filsafat Islam. Tidak memahami mana loyang mana emas.
Otak adalah busur bagi pengembangan pengetahuan, menulis busur bagi rekaman dan picuan perkembangan ilmu dan teknologi. Kenapa sastra Arab tidak berkembang pesat, hanya milik komunitas Baduy praIslam? Syair-syair beken diucapkan, didendangkan, tetapi tidak ditulis. Begitu Islam menjadi pegangan dasar dengan budaya membaca dan tulis, sastra dan budaya Arab terangkat pamornya. Islam busur budaya menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.2) Akselerasi Menulis

QUANTUM. Menulis sangat mudah. Kalau ingin menulis, tulis saja. Kalau belum lancar, terus menulis, lama-lama terbiasa. Kalau sudah terbiasa, pasti lancar he he. Intinya, lakukan. Jangan akan. Akan, menulis anu, dan anu. Tulis. Tulis apa yang hendak ditulis. Pasti menjadi tulisan.
Masih ingat karya Bobbi DePorter, Quantum Learning, Quantum Teaching, Quantum Business atau karya Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated learning for The 21st Century. Atau buku Adi. W. Gunawan, Genius Learning Strategy. Buku-buku tersebut sangat bagus untuk memahami akselerasi pembelajaran. Saya ‘memodifikasi’ dalam pemanfaatan menulis. Pikiran dan ide mereka lebih kepada metode bagaimana pembelajaran dengan mengembangkan potensi. Saya sampai pada penemuan cara sederhana menulis, dengan banyak membaca dan melakukan menulis. Apa hubungkaitnya? Apakah menulis seserius itu?
Apabila kita membaca, konon begitu kata para neurolog, sambungan saraf-saraf otak bersangkutkait. Jalan berkoneksinya menjadi pendek, dan sel-sel baru muncul, mengembang, terbarui. Kalau tidak digunakan, sel-sel saraf akan mati. Apabila kita membaca buku standar tentang seks begitu membaca buku sejenisnya akan mudah karena tidak perlu membaca yang telah dipahami. Semakin banyak membaca buku, semakin sedikit yang kita baca. Sebab, informasi terbaru saja yang perlu direkam.
Konon, jaringan saraf bak jalan hutan belantara. Kalau kita berangkat dari satu titik ke titik lain, pada awalnya bisa menyasar ke sana ke mari. Manakala sering melakukannya, semua permukaan adalah jalan itu sendiri. Tidak usah merintis lagi. Berangkat dari satu titik ke titik tujuan tanpa perlu mencari jalan. Saya teringat buku Jerome S. Brumer, Process of Education. Disitu disulut reflective thinking.
Kalau penasaran silakan dicek misalnya pada karya Isaac Asimov, Human Brain: Its Capacities and Functions. Saya terperangah dengan dunia otak. Lebih seru serial karya pakar pikiran Tony dan Barry Buzan penulis buku terkenal, The Mind Map Book. Kalau mau yang menggoda, baca karya Bertrand Russell, Mind Power. Ada puluhan buku perihal mind.
Seperti juga membaca, menulis pun demikian. Pertama kali memulai, menulis mungkin agak sulit. Apabila terus dilakukan, sel-sel saraf seputarnya akan berkembang, atau setidaknya berkoneksi lebih lancar. Kalau sampai tingkat reflektif, bisa jadi tidak memerlukan ‘berpikir’ lagi. Otomatis begitu. Meminjam judul lagu Titi Kamal menjadi, mendadak menulis. Kenapa?
Saraf-saraf mengembang. Saya pernah dipandangi ibu-ibu ketika mencontohkan. Ibu-ibu yang suka marah pada anaknya lama-lama kadarnya membubung. Sampai dia tidak tahu lagi bahwa dia marah. Menjadi kesatuan dengan dirinya. Kalau tidak marah, bisa sakit tu. Banyak ibu-ibu, sadar atau tidak, mengembangsuburkan sifat marah. Jahiliyahnya pula anaknya dijadikan sasaran. Ibu yang tidak memahami hakikat pendidikan. Marah membunuh potensi anak.
Begitulah menulis. Kita menyimpan kosakata, dan jutaan konsep. Tiap hari membaca, melihat, mendengar, meraba, dan memahami banyak hal. Dari yang tidak diinginkan sampai yang dimaui, terekam di memori. Mengeluarkan, memformulasikan ‘punya’ kita dalam kesatuan tulisan kenapa dipersulit? Yang diperlukan hanya latihan dengan menulis, menulis, dan terus menulis.
Bagi saya, memotivasi dan memacu akselerasi menulis ya dengan menulis, menulis dan terus menulis. Kalau waktu dihabiskan belajar teori, teori, dan teori, ntar jadi ahli teori doang. Lalu, kapan menulisnya? Teori bagus, namun kita memerlukan tulisan. Teori untuk membantu menulis, bukan? Jadi, harus pandai membedakan mana hulu mana hilir.
Mengakhiri tulisan ini saya teringat buku The Divine of The DNA, karya Kazuo Murakami dan karya John C. Advise, The Genetic Gods. Saya suka mengutip karya dua pakar DNA tersebut. Intinya, tubuh kita dibangun atas triliunan DNA. Tinggal maunya kita saja mau me-on-kan (DNA) menulis atau me-off-kan. Terserah masing-masing memang.
Begitu juga untuk kasih, sayang, benci, dengki, atau bersemangat atau berloyo-loyo. Pilih tombol on atau off. Tepatnya, mari tekan tombol akselerasi menulis. Akselerasi menulis dimungkinkan manakala neuron diaktifkan, DNA dijagakan, dan tangan dilincahkan mengetiktuangkan pikiran. Akselerasi dengan membiasakan menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (4.1) Adrenalin Menulis

KEHENDAK. Permainan atau olah raga yang dapat memicu adrenalin, kini mewabah di banyak tempat. Di Taman Impian Jaya Ancol banyak pilihannya, dari Kora-Kora, Arung Jeram, Halilintar, Tornado sampai Histeria. Di Bali ada yang melambungkan badan ke udara. Kalau pengecut, jangan coba-coba. Ih, ngeri.     
Adrenalin dalam artian memicu kehendak menulis tentu tidak soal. Misalnya membaca,  berdiskusi, mengamati dan menikmati keindahan alam akan menggetarkan dawai-dawai menulis. Bahkan, hal-hal ringan, hal-hal yang membeban pikiran sampai ke hal paling serius kalau dimenej dapat memacu adrenalin menulis.    
Misalkan reaksi kaum Muslim. Begitu sekelompok penganut Nasrani pencari sensasi dengan berkehendak membakar Al-Qur’an dari segala penjuru dunia berhamburan tulisan memprotesnya. Adrenalin banyak orang terpicu dan terpacu untuk menulis. Beragam tulisan ditulis sebagai reaksinya.  
Pada awalnya tidak ada kehendak menulis, tetapi begitu ada pantikan semangat tidak terbendung. Jantung seolah dipacu, darah serasa menggelegak naik ke ubun-ubun, jari-jari tangan resah untuk segera menari-nari di keyboard komputer.  Terpacu untuk menulis, adrenalin menulis.
Dalam kehidupan tidak dipungkiri adrenalin terpicu ketika merespon hal-hal dari luar diri. Selain faktor eksternal, faktor internal picuannya lebih dahsyat. Memicu dan memacu adrenalin menulis dari dalam diri jauh lebih mudah. Kita tidak perlu menunggu momen, desakan deadline, atau harap-harap yang dikibarkan dari luar diri. Apabila ada kehendak langsung ditulis.    
Pernah ke kota Banjarmasin? Duh, indahnya. Kota Banjarmasin dibelah sungai Martapura dan ‘dijaga’ sungai Barito yang lebarnya sekilometeran dengan anak-anak sungainya sehingga disebut ‘Kota Seribu Sungai’. Memicu adrenalin menulis.    
Begitu pula bila ingin mempublikasikan penemuan, menceritakan kampung yang asri, kampus yang tidak mencerahkan sebagai candradimuka intelektualitas, pengalaman berumah tangga, atau sekadar kelucuan pelantikan Kepala Daerah, monggo ditulis. Banyak ragam hal yang bisa ditulis.    
Jangan hanya tergantung picuan eksternal. Jangan sekadar merespon. Menulis pada dasarnya menjual ide. Ide datang dari pikiran. Pikiran disambungsampaikan. Apabila menginginkan adrenalin menulis terpacu, perbanyak ide, kembang dan matangkan ide. Lebih ke hulu, picu ide, dapatkan ide, ciptakan ide. Jangan menunggu ide. Perbanyak membaca.   
Adrenalin menulis adalah aplikasi mindset, kehendak kuat menuangkan pikiran, gagasan atau ide. Apa-apa yang bersemayam di ranah pikiran dikomunikasikan. Mari picu dan pacu adrenalin menulis. Dengan menulis tentunya.     
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.9) Menulis Sebagai Pembelajaran

FOKUS. Sampailah diskusi sharing pada bagian akhir Bab III: Menulis Mengembangkan Potensi. Menulis dipahami sebagai aktivitas yang tidak sulit, malahan cenderung mudah. Mindset menulis mudah dilandasi pemahaman siapa saja dapat  ‘membangunkan’ dan ‘membangun’ potensi diri. Dengan menulis belenggu-belenggu menulis, yang sebenarnya bayangan saja, enyah dengan sendirinya. 
Karena itu, Ersis Writing Theory (EWT) berpijak pada prinsip, lakukan menulisnya. Melakukan (menulis) menjadi hal utama. Bila seseorang menulis hasilnya pasti tulisan. Bila akan menulis tulisan tidak akan pernah menjadi.
Mempelajari teori, muatan atau kiat-kiat perlu, tetapi bukan segalanya. Penghimpunan bahan berlaku sepanjang kehidupan, mempelajari atau memperdalam teori, sebelum atau sesudah menulis. Menulis bukan memikirkan apa yang akan ditulis tetapi menuliskan pikiran.
Implikasinya, periksa tulisan, betulkan ejaan atau benahi ‘badan tulisan’ setelah tulisan menjadi. Pada proses demikian, memposisikan diri sebagai pembelajar; membelajarkan diri dengan menulis. Pelajar sejati adalah pelajar yang terus-menerus belajar, belajar sepanjang hayat.
Pelajar tidak sombong, gua jago menulis. Sebagus apa pun tulisannya tergayut prinsip selalu berusaha lebih baik, go to the best. Pembelajar sejati tidak pernah puas dengan prestasi, dan selalu berkehendak belajar. Menjadi manusia pembelajar.
Kendala atau belenggu mampu dipatahkan, menulis menjadi nyaman, nyaman menulis, menulis menyamankan. Belajar itu mengasyikkan karena dalam belajar kita menjawab tantangan, menguji kemampuan, sekaligus menikmatinya.
Membelajarkan diri, tidak menanggung beban dalam arti dimana kesalahan dijadikan perbaikan untuk tidak salah. Yaps, mari menulis, membelajarkan diri.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.8) Mengenyahkan Alasan

BERKILAH. Sejak beberapa tahun belakangan saya mendedikasikan diri untuk sharing menulis. Tanpa meminta bayaran. Kalau ada yang mengirimi uang adalah rezeki tidak terduga, terima kasih. Semakin banyak yang ‘sukses’ semakin nyaman di rasa.
Alhamdulillah, puluhan pesharing yang berhasil menulis bukan sekadar untuk diposting di media online, di media cetak, tetapi menjadi buku. Kenapa berhasil? Yaps, karena melakukan menulis. Menundukkan diri, mengenyahkan malas membuang alasan. Melakukan menulis dengan serius.
Angkatan pertama, Syamsuwal Qomar, Rahayu Suciati, Hanna Fransiska, Rahmadona Fitria dan belasan lainnya. Awalnya diwajibkan menulis minimal satu tulisan sehari dan dalam sebulan menjadi buku. Angkatan berikutnya diperlonggar. Saya terkaget-kaget juga mereka mampu melalui masa-masa sulit menulis, melawan diri. Alhamdulillah buku-buku mereka sudah beredar. Bangga.
Lalu bagaimana dengan mereka yang gagal? Kesimpulan tentatif, tidak mampu me-manage diri, tidak berani istiqamah, tidak kuat belajar. Fasih beralasan. Raja Alasan, Ratu Berkilah. Beralasan sibuk, repot, atau apalah begitu. Padahal intinya tidak mampu me-menage diri. 
Tugas saya sebagai mahasiswa S3 tentu tidaklah kalah dengan mahasiswa S1 atau S2. Prinsipnya, mengerjakan tugas tidak dibumbui alasan. Dosen pemberi tugas mana peduli dengan alasan. Kalau tugas tidak diserahkan tidak lulus. Simpel. 
Pokoknya tugas selesai kalau tidak ya tidak lulus. Pasti. Karena dijadikan sesuatu yang pasti proses mengerjakan tugas bukan lagi menjadi beban, tetapi kesenangan. Visinya jelas, agar persyaratan terpenuhi dan lulus mata kuliah. Nyaman.
Jelas sudah, banyak orang apabila dipaksa kemampuan menulisnya sangat bagus. Contohnya mengerjakan tugas, dan mendapat penghargaan, lulus mata kuliah tertentu. Pertanyaan menggelitiknya: Setelah menjadi sarjana, magister atau doktor kenapa mandul menulis? Kesalahan pasti bukan pada pengetahuan, tetapi karena tidak mampu me-manage diri. Implikasinya kalau berkeinginan produktif menulis, paksa diri, lakukan menulisnya. 
Orang-orang beralasan karena tidak mampu me-manage diri, me-manage pikiran dan me-manage perasaan. Ketidakmampuan ditabalkan menjadi alasan. Biasanya ditandem dengan berkilah. Kilahan menguatkan alasan sehingga sasaran menulis menjadi kabur. Berkilah sebagai pembenaran alasan.
Saatnya alasan dan kilahan ditukar dengan menulis. Begitu alasan menggoda enyahkan. Ganti dengan memainkan jari-jari di tuts komputer. Berkilahnya dengan menulis. Istri berkilah karena melayani suami. Memangnya bersanggama sepanjang hari? Suami-istri haruslah saling melayani. Tetapi, tidak dijadikan alasan, bukan untuk berkilah. Setelah tugas selesai menulislah. Setelah mengantar anak menulislah. 
Kalau alasan yang dijadikan pegangan, waktu 15 menit untuk menulis akan susah didapatkan.  Apabila terbiasa, dalam 15 menit menulis, Insya Allah menjadi tulisan. Begitu mudahnya melakukan dibanding beralasan. Jadi, mari menulis, melakukan menulis. Tetapi, kalau memilih menjadi Raja Alasan, Ratu Berkilah silakan saja. Posisi nyaman bagi pemalas.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Friday 13 January 2017

Menulis (3.7) Mematenkan Akan

NOVEL. Kalau ada waktu luang sempatkan melihat-lihat seantero kota tempat bermukim. Sangat mungkin ditemukan aneka baliho atau pelang: Disini akan dibangun gedung anu. Disini akan dibangun anu, anu, dan anu. Bukan tidak mungkin pula sampai pelang tersebut hancur ‘bangunan yang akan’ tersebut tidak menjadi. Sebaliknya, beberapa bulan tidak ke bagian kota menjulang gedung gagah. Langsung dibangun.
Banyak orang mengikuti pelatihan atau sharing menulis lalu bertekat akan menulis anu, anu, dan anu. Membaca buku motivasi serasa menulis begitu mudah. Muncul desakan pikiran akan menulis anu-anu, dan anu. Empat tahun kemudian, masih berposisi akan, akan, dan akan menulis.
Seseorang dengan semangat menggebu-gebu memaparkan idenya untuk menulis novel lengkap dengan uraiannya sampai prediksi akan menjadi best seller. Paparannya luar biasa. So sangat menyakinkan.
Tetapi, sudah dapat dipastikan, kalau seseorang omongannya setinggi langit dia akan kesusahan membuktikannya. Sebaliknya, seseorang yang meresapi EWT, mempraktikkan dengan memulai menulis, melakukan menulis, menjadi lain ceritanya. Rata-rata pelibat EWT diwajibkan menulis minimal satu tulisan dalam sehari dan dalam sebulan menghasilkan naskah buku. ‘Filsafat akan’ dibuang. Tidak ada tempat bagi ‘akan’. EWT bersandar pada melakukan menulis. Menulisnya yang utama.
Menulis berbeda dengan ‘akan menulis’. Menulis dalam arti melakukan, mulai sekarang juga, now, adalah milik mereka yang betul-betul menulis. Akan menulis anu dan anu adalah milik para pelamun. Celakanya, banyak orang terbelenggu filsafat akan. Sesuatu yang tidak kondusif bagi pembelajaran menulis. Akan dan akan adalah sesuatu yang tidak ada.
Menulis sekarang juga, melakukan menulis, bisa jadi menjadi sesuatu yang menakutkan terutama bagi mereka yang tidak mampu melawan diri. Betapa tidak. Alasan untuk tidak menulis tersedia berderet-deret dan dapat dikembangkan seberapa pun, tergantung yang beralasan.
Menulis sekarang juga, menulis apa yang ada di pikiran, bukan memikirkan apa yang akan ditulis, hasilnya dapat dinikmati begitu menulisnya selesai. Melakukan menulis adalah latihan menulis itu sendiri. Bisa jadi, tulisan pertama tidak memuaskan, tetapi dengan ‘mempelajari’ tulisan tersebut kita dapat menilai kekurangannya, apa-apa yang perlu diperbaiki. Muatan positifnya, membicang tulisan yang telah menjadi.
Penganut ‘filsafat akan’ adalah mereka yang berumah di bayangan. Tidak berani menghadapi realitas. Menulis prosesnya panjang. Mulai dari masukan bahan mentah, menyimpan di memori, memproses di pikiran, dan mengeluarkan. Pada proses demikian diperlukan ketelitian dan kiat-kiat atau ketabahan mengolahnya. Mereka yang tidak mampu memenej diri, memenej pikiran dan perasaan, mustahil mampu menuliskan pikirannya. Masukan yang salah, akan melalui pintu proses salah, dan keluarannya bisa janggal. Menulis menata diri.
Perlu dicamkan, belajar menulis dalam arti mempelajari ‘teori menulis’ tentu bagus. Setidaknya dalam katup ranah pengetahuan. Lagi pula, teori menulis adalah alat bagi mudahnya menulis, bukan menulis itu sendiri, atau hasilnya berupa tulisan.
Artinya, bagaimanapun hebatnya pengetahuan teoritis seseorang tentang menulis tidak menjamin melahirkan tulisan. Menulis yang menghasilkan tulisan dari melakukan menulis. Karena itu, menulis masuk ranah keterampilan, bukan pengetahuan saja. Dus, manakala berkehendak meraih keterampilan menulis, kefasihan menulis, tidak ada jalan lain selain melakukan menulis. 
Lagi pula, tidak ada yang dihasilkan akan, akan, dan akan selain akan itu sendiri. Akan bila dipatenkan pada diri seseorang akan menjadi akan. Orangnya pantas digelari Raja Akan. Idenya banyak, kalau menjadi pejabat atau pemuka masyarakat, kata-katanya membuai, akan, akan, dan akan.
Jadi, jika betul-betul berkehendak menulis, buang filsafat akan. Lakukan menulisnya. Dijamin pasti menghasilkan tulisan. Kalau sudah demikian tinggal meningkatkan kualitas tulisan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.6) Berposisi Bodoh

PRAKTIK. Belenggu diri paling ketat bisa jadi sombong, tidak mau belajar. Seseorang yang mendeskripsikan dirinya hebat akan susah merubah mindset. Padahal kemajuan kehidupan dibangun berdasarkan perubahan ke arah lebih baik. 
Dulu, menulis menggunakan bulu angsa dan kemudian mesin ketik. Kini, alat mengetik paling populer komputer. Kalau menggunakan mesin ketik, ya ketinggalan zaman. Tetapi, kalau hanya menggunakan mesin ketik tidak bisa produktif? Siapa bilang. Rosehan Anwar, Jakop Soemadjo, dan banyak penulis beken lainnya produktif menulis memakai mesin ketik. Mesin ketik atau komputer adalah alat.
Kemampuan menggunakan komputer dan varian aplikasinya dimulai dengan mengakui diri bodoh. Bagaimana agar paham program PageMaker, InDesign, CorelDraw sampai Photoshop? Akui diri bodoh, tidak paham. Beli bukunya, bertanya, utak-atik. Kemauan belajar kuncinya.
Begitu pula menulis. Posisikan diri bodoh, tetapi bukan orang bodoh. Bodoh dalam artian mau belajar. Belajar dengan melakukan. Dari hasil melakukan didapat, oh ini kurang itu kelebihan. Siapa yang mau dan mampu mengakui bodoh, berkemauan berbuat, berprestasi, pastilah mau belajar. Siapa yang menajak diri hebat, belajar baginya kesia-siaan. Mari mengakui kebodohan untuk menjadi pembelajar.
Tidak satu orang pun berkemauan bodoh. Guna menghindari bodoh dan kebodohan orang belajar, baik formal maupun informal. Totalitas pendidikan untuk membunuh kebodohan, mencabut kebodohan dari akar-akarnya. Tetapi, masih banyak orang bodoh. Kenapa?
Bodoh dalam artian tidak tahu, tidak paham, belum mahir atau tidak terampil, tidak dijadikan pijakan untuk menghapus bodoh. Padahal, kalau mengakui diri tidak tahu dan belajar untuk tahu prosesnya menuju ketahuan. Dengan demikan bodoh dan kebodohan mudah dicampakkan.
Yang parah, tidak paham berlagak tahu. Pendidikan, misalnya pertanian, tidak berkarya, apalagi memajukan pertanian, berlagak paling pintar teori pendidikan. Akibatnya, ketika berkiprah di pendidikan, awut-awutan. Merasa hebat sih.
Menulis sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Setiap orang pastilah mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan mampu mengolahnya di pikiran. Apa yang ada di pikiran tersebut yang dituangkan. Ibarat melangkah yang diperlukan satu langkah saja lagi, yaitu: menuangkan apa yang ada di pikiran.
Menuangkan pikiran memerlukan latihan. Apabila dimulai dengan kesadaran belum terlatih, masih bodoh, belajarlah dengan melakukan. Berlatih menulis dengan menulis. Lakukan, dan Insya Allah menjadi sesuatu yang mudah. Jangan berbusung dada: Saya ini orang hebat. Hanya saja, kalau ditanya: “Mana bukti kehebatan dalam bentuk tulisan”. Jawabannya: “Eng ing eng.”
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.5) Membangun Kebanggaan

BANGGA. “Apakah Ersis bangga telah menulis belasan buku tentang menulis?” Siapa pun yang bertanya demikian pastilah dijawab: “Ya, iyalah Bro”. Tetapi, jujur saja, tidak bangga-bangga amat, apalagi pongah. Lebih tepatnya senang. Senang?
Bandingannya dengan pemakaian gelar. Secara akademik saya penyandang gelar Sarjana Muda, Sarjana, Magister, dan Doktor. Secara sadar, tidak suka memakai gelar tersebut untuk keperluan apa saja. Apabila diminta menulis nama ya ditulis Ersis Warmansyah Abbas. Gelar ditulis pihak lain atau memang sebagai keharusan.
Saya menulis puluhan buku, ratusan artikel dan aneka tulisan lainnya, masyak dikerdilkan. Lucu jadinya kalau tidak menulis malah yang dibanggakan dan menjadi kebanggaan. Lagi pula, kalau diri saja tidak bangga dengan apa yang dilakukan, dengan karya sendiri bagaimana dengan orang lain? Bangga, asal jangan pongah OK-OK saja. 
Pernah, seorang tamatan SMA mencela seorang sarjana. Saya tidak habis pikir, kalau si sarjana kesusahan mencari pekerjaan —bisa karena ilmunya tidak jelas dengan keterampilan payah— kesalahan terletak pada orangnya bukan gelarnya. Gelar adalah penanda. Berhasil meraih gelar sarjana tidak ada korelasi langsung dengan finansial.
Saya pernah membuat merah dadu muka seorang sarjana (bahasa). Dia lupa, saya memiliki aneka kamus sampai peribahasa dan membaca buku-buku kebahasaan; linguistik, semantik sampai semiotika, plus belakangan simulacrum. Lumayanlah. Kalau karya tulis dijamin lebih semlohay, eit bisa-bisanya dicela ini-itu. Si Pencela kemampuan menulisnya letoy. Dasar pecundang. 
Bangga membangun diri sah-sah saja. Kalau ada yang berhasil secara finansial, sekalipun SD saja tidak tamat, wajarlah bangga. Bangga bukan pongah, tidak pula beriya-riya atau dalam imajinasi. Bangga yang dibangun atas kenyataan adalah kenyataan yang membanggakan. Banggalah dengan prestasi. Banggalah sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia. Tetapi, akan menjadi malapetaka kalau berhenti pada tingkat bangga imajinatif dan lupa berkarya. Kebudayaan dibangun atas akumulasi karya.
Ketika mendirikan ‘Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK) merekrut sebelas tenaga peneliti. Saya sarjana pendidikan, pegawai saya dari ‘ilmu keras’; pertanian, peternakan, kehutanan, teknik, politik dan sebagainya. Wulah ada yang bangganya luar biasa.
Pada contoh lain, bagaimana calon sarjana perikanan bisa-bisanya menceramahi soal ikan, hal perkolaman. Sebelum membangun kolam ikan, saya membaca banyak buku tentang perikanan, melakukan survey dan eksprimen. Dan, jadilah kolam sebagai sumber finansial. Sekalipun bukan sarjana perikanan, boleh-boleh dong bangga dengan ‘ilmu alamiah’, membangun kebanggaan membangun kolam sekitar sehektar. Bangga sebagai pekolam. 
Saya bangga ‘belajar’ bertani dari mertua yang pensiunan sehingga beras, sayur dan keperluan dasar rumah tangga tidak perlu dibeli. Minimal menjaga makanan anak-anak dari aneka bahan pengawet. Bangga sebagai petani. Membangun kebanggaan dan dengan itu giat bekerja. Kita harus membangun kebanggaan diri, kelompok, bangsa dan negara. Bangga berprestasi. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.4) Membunuh Potensi

DOKTOR. Malam itu saya dikagetkan dengan kedatangan teman, dosen PTN berpredikat akademis Doktor. Saya mempersilakannya duduk sembari menyelesaikan tulisan. Istri menyuguhkan kopi dan kami ngopi bareng. Dia tidak sabar. Nyerocos betapa tulisannya ditanggapi gegap gempita rekan-rekannya di kampus. Sampai disidang segala dan emosinya ikut ”bicara”. Kursi ditendang, meja digebrak. Gubrak. Asyiiiik.
Dia menulis tentang kekurangsuksesan penelitian yang dilakukan rekan-rekannya. Meradanglah yang dikritik. Saya sempat berpikir, tulisan dibalas dengan tulisan dong. Seharusnya begitu logika kaum intelektual.
Ketika dia mengatakan akan mengajukan ke polisi, tanpa menyadari haknya, langsung dilarang: “Buat apa? Kekuatan akademik justru pada perbedaan dalam mencari solusi paling pas. Kalian harusnya memberi contoh.” Dia terpana.
Akhirnya dia setuju tidak mempersoalkan.  Pesan yang ditancapkan: “Sampeyan jangan bunuh diri gara-gara ‘dihajar’. Terus menulis. Mari jadikan pembelajaran. Saya pernah mengalami hal lebih sadis. Mari belajar dari kejadian.”
Bagi penulis pemula yang mentalnya kurang kuat, tendangan pihak lain bisa mendebarkan kalaulah tidak dapat dikatakan membunuh kehendak menulis. Bayangkan, susah payah membaca literatur, membolak-balik kamus, merangkai kata, memilih diksi, e dihajar. Mana tahan.
Yang ingin saya sampaikan, pada dasarnya bukan orang lain yang membunuh, tetapi diri sendiri. Kog iso? Lha, yang menulis siapa? Yang menghentikan atau tidak menulis siapa? Yang bermental buih siapa? Diri sendiri bukan?
Sebaliknya, ada pepatah: Semakin tinggi pohon, semakin digoyang angin, akarnya semakin kuat. Memperkuat diri dengan kritik dan hajaran orang. Menulis, tepatnya membiasakan menulis, ibarat belajar bersepeda. Pertama kali menaiki sepeda bisa jatuh. Memulai mengendarai, bisa-bisa berakibat tumit luka karena belum paham keseimbangan. Karena kemauan keras, tetap saja belajar. Dan, bisa dengan gagah bersepedaria. 
Begitu juga menulis. Ingat hanya sedikit orang yang tulisan pertamanya langsung dimuat media. Banyak yang puluhan, bahkan ada yang ratusan tulisan dikirim baru dimuat.  Artinya, dalam (belajar) menulis ada tahap—tahapannya. Tidak bisa langsung OK. Bukan sim salabim. 
Pada proses demikian pada pembelajaran diri bukan menulisnya saja yang difasihkan, tetapi penguatan mental tidak kalah penting. Terampil dengan mental kerupuk, ya tetap saja pengecut, dan kemudian beralasan.
Sekali lagi perlu ditabalkan, menulis bukan andai-andaian atau lamunan yang berkutat teori. Menulis melakukan, menulis kenyataan, guru itu sendiri. Manakala tulisan menjadi, langsung bisa mendeteksi, tulisan itu bagus apa tidak? Kalau berteori, berangan-angan, akan menulis ini-itu, dijamin susah menjadi penulis. 
Menghadapi kenyataan balikan menulis banyak orang yang kurang tangguh. Digoyang angin lembut saja tumbang. Kalau angin puting beliung menerpa, bisa-bisa hancur-lebur. Patah semangat. Lalu, menganggap diri bodoh, tidak berbakat, suasana tidak kondusif, dan bla-bla. Padahal, kesemua itu alasan. Pembenaran karena jiwa rapuh.
Akibat lanjutnya, alasan-alasan dijadikan palu godam memvonis, tidak mampu menulis. Keinginan menggebu-gebu, semangat belajar dibunuh, terjadi pertentangan batin. Stres. Terus, bunuh diri, eit membunuh potensi menulis. 
Kalau demikian ceritanya, pantas saja menjadi pecundang. Kalau berkemauan keras menulis segala penghalang dijadikan tantangan. Terjaaaaaaaaaaaaaaang. Nikmat menulis akan diperdapat setelah mampu mengatasi masalah.
Tulisan ini diakhiri dengan pesan, jangan pernah membunuh potensi menulis, dan jangan pernah menulis untuk membunuh potensi menulis. Menulislah demi mengembangkan potensi menulis. 
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.3) Melawan Diri

BERLATIH. Alkisah seorang yang sangat berkeinginan menulis bersemangat sharing: “Pak, saya betul-betul ingin menulis, menjadi penulis.” Agar terkesan lebih sungguhan ditambahkannya: “Ingin produktif menulis seperti Bapak”.
Wualah-wualah. Saya kerjain habis. Tidak mungkin, kata saya. Kalaupun keinginan sangat kuat saya ragu. Jarang orang yang mampu melewati etape ‘melawan diri’. Menulis bukan akan, tidak tancapan niat atau bayangan angan-angan. Menulis itu melakukan bukan berwacana. Menurut saya Sampeyan terbiasa berargumen, bukan melakukan. Jadi, sulit untuk menjadi penulis.
Merah padam mukanya. Badannya bergetar. Mana saya mau peduli. Belum tahu dia saya sedang membangkitkan harga dirinya yang dilipat dan dipurukkan, sadar atau tidak. Ibarat Lionel Messi, setelah perasaan teraduk-aduk, tendangan ke gawang, tendangan pamungkas dihujamkan. Dan, tentu saja ... goaaaaaaaaaaall
Mas, kalau mau menjadi penulis Sampeyan harus merubah mindset. Buang jauh-jauh ‘filsafat akan’; akan menulis anu, menulis ini, menulis unu, dan menulis ene. Lakukan menulis sekarang. Now.
Setelah emosinya mereda, pikirannya normal ditawarkan solusi, dihadiahi resep. 
Pertama, mengakui bodoh. Menulis apa yang diketahui. Orang-orang bodoh dalam menulis merenung berjam-jam, bermalam-malam, bertahun-tahun apa yang tidak diketahui. Lucu. Tahu saja tidak, bagaimana  menuliskannya. 
Kedua, kosongkan pikiran, baik ketika membaca, mengamati, dan menulis. Kosong dalam pengertian fokus terhadap apa yang ditulis. 
Ketiga, apa pun yang terjadi, menulis jangan berhenti sebelum selesai. Banyak orang, menulis satu-dua alinea berhenti. Besok begitu lagi. Saraf-saraf dilatih bekerja tidak tuntas. Akibatnya, saraf ketidaktuntaskan semakin kenyal.
Keempat, menulislah dari dalam diri. Enyahkan hal-hal di luar diri. Dalam latihan menulis, hal-hal ideal itu bayangan. Kemampuan kita diri kita, bukan karya orang. Semua itu pedoman. Betapa dongoknya meamsal diri seperti HAMKA, wong baru belajar.
Kelima, sadari apa yang dimiliki diri sekian nolnya di depan koma. Karena itu perbanyak membaca, mengamati, olah pikir, dan seterusnya.
Keenam, pastikan menulis yang dipahami. Jangan menulis yang tidak dipahami. Menulis sesuai kemampuan.
Ketujuh, gunakan otak jangan perasaan. Banyak orang merasakan tulisannya jelek. JK Rowling dan Dan Brown ketika menyerahkan naskahnya ke penerbit ditolak. E, ternyata disukai khalayak.
Tugas seorang penulis ya menulis. Tulisan cerminan diri, gambaran pemikiran. Menulis melawan diri.  Kalau menulis dipahami sebagai proses membelajarkan berarti melawan diri, melawan ego, melawan malas, melawan alasan, melawan ketidakpercayaan diri, melawan malu. Melawan, melawan, dan melawan agar diri tidak perlu lagi dilawan, tetapi ‘dibesarkan’ dengan tulisan. 
Jadi. menulis bukan akan menulis, tetapi melakukan, ya menulis. Tulisan menjadi karena lakuan, pikiran yang ditulis. Kalau ‘filsafat akan’ masih bersemayam, dalam bahasa agamanya, bertaubatlah. Taubat dan beralih menjadi melakukan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Menulis (3.2) Menanam Keresahan

MENGHAKIMI. Kopyok, sebut saja begitu namanya, kalau ditinjau dari pola pikir yang dituangkan pada tulisannya cukup bagus. Potensi dan kapasitas menulisnya cukup menjanjikan. Hanya saja, perkembangan kepenulisannya kurang bagus. Teman-teman seangkatan sharing menulisnya sudah lebih lancar, bahkan beberapa orang sudah menulis buku. Si Kopyok, yang (merasa) paling jago, sudah dianggap peninggalan sejarah. Apa pasal?
Kopyok hobi mengkritisi, kalaulah tidak dapat dikatakan punya hobi khusus, menghakimi tulisan teman-teman. Duga-duga saya, karena kemajuan rekan-rekannya pesat, memperlihatkan kejagoannya dengan mengkritisi karya orang lain. Tidak soal sebenarnya. Bukankah tulisan perlu dikritisi? Kita perlu kritikus untuk memperbaiki karya. Kopyok belum pantas mengibarkan diri sebagai kritikus. Bagaimana mungkin ‘membedah’ tulisan orang lain kalau karyanya baru tingkat pemula.
Saya pernah menganjurkan, sudahlah, biar saja teman-teman menulis sesukanya, sebisanya. Namanya saja belajar. Pikirannya bagus juga. Sejak awal kudu hati-hati, kudu perfeck. Para pesharing menulis di KP EWA’MCo. memanfaatkan Ersis Writing Theory (EWT). 
Kopyok, kiranya melawan EWT; tulis saja apa yang hendak ditulis. Setelah jadi tulisan didiskusikan. Kopyok bersikukuh dengan pengajaran terdahulu, diskusikan dulu apa yang akan ditulis. Akibatnya, dia sibuk berdiskusi dengan dirinya, dan menyeret orang lain, hingga menulisnya lupa. 
Neuron kritis Kopyok berkembang dan  menjadi hobi mengkritisi. Urat saraf kritisnya berkembang, dan ketika secara psikologis kalah, berubah menjadi sinis. Tulisan orang, blog orang, cara orang, salah melulu. Menyalahkan melulu.
Buat Kopyok, juga makhluk sejenisnya, saya acung jempol dan berterima kasih. Berterima kasih? Ya, kalau tulisan saya dikritisi, Alhamdulillah. Kalau pantas dijadikan masukan, kenapa tidak? Jangankan dari Kopyok, bila anjing bisa memberi saran, kalau konstruktif kenapa diabaikan. Tetapi, bagi pemula tentu lain kisahnya.
Bisa jadi, orang seperti Kopyok menjadi pembunuh semangat para penulis pemula. Bukankah memotivasi itu lebih baik dengan memberi contoh? Rasulullah berdakwah dengan contoh, bukan makian. Kalau nyinyir, dan ketika menulis berkarakter bengis, memandang karya orang jelek melulu, akhirnya membuat jiwa resah. Itu namanya membuat sumur keresahan. 
Dengan kata lain, memperbaiki dan memperbaiki karya, mutlak kepositifannya. Untuk itu diperlukan kelapangan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, jangan meresahkan diri dengan penilaian, baik terhadap diri (karya) sendiri. Kalau tumor keresahan disarangkan di otak akibatnya mumet sendiri. Hidup perlu suasana nyaman, menulis lebih afdol bersuasana nyaman. Resah dan keresahan, gelisah dan kegelisahan adalah belenggu menulis.
Mari membenahi karya. Syukur membantu karya teman. Jangan, sekali-kali jangan, meresahkan diri. Jangan menanam keresahan. Menulislah untuk kenyamanan.
Bagaimana menurut Sampeyan? 

Menulis (3.1) Membangunkan dan Mengembangkan Potensi

TERAMPIL. Menulis membangunkan potensi diri. Emang lagi tidur? Manusianya bisa saja terjaga, tetapi potensi bisa saja terlelap. Saking sedapnya tidak sadar bahwa lelapnya panjang. Setiap orang terlahir dengan potensi bawaan. Dalam kaitan menulis, membangunkan dan mengembangkan potensi menuju terampil menulis. Keterampilan didapat dari melakukan. Apabila seseorang menulis, menulis, dan terus menulis akan berbuah keterampilan. Keterampilan menulis didapat dari melakukan. 
Sejak kecil kita diajarkan mengeja huruf a sampai z. Kata, dalam bahasa Indonesia, dirakit dari 26 huruf. Itu pun tidak sampai separohnya yang banyak dipakai. Huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi tulisan atau buku. Saya yakin, siapa saja yang membaca tulisan ini mengenali 26 huruf tersebut. Huruf dan kata digabungkan sehingga bermakna. Itulah aktivitas menulis.
Menulis menggabungkan huruf yang 26 tersebut menjadi kata bermuatan konsep. Konsep-konsep dirakit dalam kalimat hingga bermakna. Dipastikan, pada otak (memori) siapa pun terekam berbagai konsep. Itulah yang ditulis.
Ingat ”puisi” terkenal Albert Einstein, E=MC2? Huruf, memaknai rumus Einstein, apabila diutak-atik berpotensi menghasilkan kata, kalimat, dan paragraf yang tidak terhingga. Membangun keterampilan menulis sekaligus melatih input, proces, dan output kerja otak. Potensinya dikembangkan. 
Suatu kali saya mendengar cerita rada-rada aneh. Tentang lelaki macho yang rajin ke salon. E ... lama-lama menjadi kemayu. Bisa karena biasa. Banyak orang, misalnya, ketika baru kuliah tidak paham, belum mempunyai bayangan apa yang akan dipelajari. Sepanjang masa pendidikan dipelajari tentang listrik, tanah, ikan, atau komputer. Didapatlah pengetahuan, dilatih keterampilan, dan jadilah pakar. Belajar dari ketidaktahuan. Menulis? Lebih mudah Bro.
Saya jamin, apabila kita bergaul dengan orang yang suka membaca, hobi menulis, bakat bawaan (membaca dan menulis) akan berkembang. Kalau suka berkumpul dengan yang suka ngerumpi, kemampuan ngerumpi berkembang pesat. 
Masih ingat masa remaja? Membuat surat lamaran ke calon pacar, duh bagusnya susunan kalimatnya. Indah, mendayu-dayu merayu. Kok bisa? Ketika potensi dikembangkan hasilnya bagus. Padahal, ketika itu tidak terlalu paham apa itu cinta, filsafat cinta, apalagi tulis menulis, namun fokus menulis surat cinta. Duh, bagusnya.
Kini, setelah banyak membaca, pengetahuan lebih OK, pengalaman bertambah, menulis kok susah. Potensi menulis susah dibangunkan. Apa tidak aneh? Banyak orang membangun belenggu menulis. Kalau sudah terbelenggu, susah membangunkan potensi.
Karena itu mari bangunkan potensi diri, bangunkan diri, bangunkan otak. Otak jangan dijadikan the sleeping giant di tubuh kita sekalipun dibawa kemana-mana. Cara membangunkannya?
Sangat mudah. Gunakan. Manfaatkan. Operasionalisasikan. Dalam kaitan menulis, tulis, tulis, dan tulis. Potensi diri akan terjaga, dan dijamin ada hasilnya. Membangunkan potensi menulis, bakat menulis, dengan menulis dan terus menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan? 

Menulis (2.7) Otak ”Sang Saksi Abadi”

SAKSI. Believe it or not, kehidupan di dunia ada akhirnya. Bagi mereka yang percaya akan keabadian, kehidupan di dunia fana inilah yang menentukan kehidupan di akhirat. Apa pun lakuan manusia dicatat. Terlepas, dilakukan malaikat, konon, bagian-bagian tubuh fana yang menjadi dalam ‘jiwa’ kelak yang akan dihadapkan di Mahkamah Akhirat. Gambaran ‘ngawurnya’ dapat dipindai pada cerpen berikut.

MAHKAMAH TAK BERBIAS
SILBI sungguh kaget. Tiba-tiba dia berada di ruangan serba putih. Lantai, dinding, plafon, meja, bangku, dan benda-benda di ruangan tanpa pintu dan jendela tersebut berwarna putih. Darahnya terkesiap ketika memandang pakaiannya yang hitam. Kontras dengan ruangan menawan tersebut. Ada satu lagi yang hitam, sebuah kursi. Terletak diantara meja panjang di depan dan deretan seratusan kursi di belakang.
“Duduk”. 
Silbi tidak sempat kaget sebab kakinya otomatis melangkah. Sebenarnya hendak mencerna apa yang terjadi, apa daya, kakinya tidak mau kompromi. Dalam persekian detik dia terduduk. Begitu pantatnya menjejak bantalan kursi, belenggu tangan yang terkait di kursi mencengkeram, begitu juga kakinya. Silbi betul-betul tidak paham apa yang sedang terjadi.
Apalagi kedua pengawal yang menggiring ke ruang serba putih tersebut mendatangkan takut tidak terkira. Jangankan tersenyum, tatapan matanya langsung ke hulu hati membuat ngeri mencapai puncaknya. Silbi sungguh tidak tahu berada dimana, dihadirkan oleh siapa, hendak diapakan, atau sedang dalam upacara apa. Bingung.
Dalam kebingungan teramat sangat, entah datang dari mana, di meja di depannya telah duduk empat orang berpakaian serba putih. Padahal ruangan tersebut tanpa pintu dan jendela. Badannya tinggi besar, berjanggut tebal memutih dengan tatapan berwibawa. Dan, entah mengapa, Silbi seolah-olah melihat kursi-kursi di belakang telah terisi. Padahal, jangankan menoleh, menggerakkan leher saja tidak bisa. Silbi duduk terpaku dengan pandangan lurus  ke depan. Apakah ini ruang pengadilan?
Silbi mengumpulkan ingatannya. Rasa-rasanya, kemarin dia sedang bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya. Kebetulan anak tertuanya baru kembali belajar dari luar negeri dan mengatakan segera akan ke luar negeri lagi untuk bekerja. Yang membuat Silbi tidak bisa bernafas anak tertuanya tidak mau menerima bantuan.
“Okelah, kalau kamu tetap bersikeras ke luar negeri. Memang di negara kita gaji belum memuaskan orang sekalibermu. Tetapi, kenapa menolak bantuan Bapak? Kamu perlu bekal di negeri orang”, Silbi berkata meyakinkan.
“Saya bisa mencari uang. Terima kasih atas perhatian Bapak”, jawab Dakas, anaknya setengah cuek.
“Bagus itu. Tapi, Bapak tidak mau kamu sengsara di rantau orang. Bagaimana kata dunia kalau anak seorang petinggi terlunta-lunta. Kamu jangan membuat malu Bapak”.
“Saya tidak mau. Berapa gaji Bapak sebulan? Dari mana Bapak mendapatkan uang untuk membeli rumah megah ini? Bagaimana Bapak bisa membeli apartemen di Singapura, Hongkong, dan Hollywood?”
Tanpa memberi kesempatan Dakas melanjutkan: “Dari mana Bapak mendapatkan uang yang didepositokan bermilyar-milyar tersebut? Cukup sudah perbuatan Bapak. Maaf, saya tidak mau menanggung beban Bapak kelak di kemudian hari”.
Jawaban Dakas membuat darah Silbi menggelegak. Sekujur badannya bergetar dan sembari bergerak mencengkeram leher Dakas. Amarahnya menghasut agar membunuh darah dagingnya. Anak tidak tahu diuntung. Dari kecil dibesarkan, disekolahkan ke luar negeri, begitu kembali mengumbar kata-kata bengis. Dakas, betul-betul menimbulkan amarah bapaknya Silbi.
Tetapi, dada Silbi terasa sakit. Lalu, badannya terasa ringan, melayang. Terlihat istrinya meraung menahan badan seseorang yang hampir roboh. Anconomis, Jamdun, Kandato, Bangbir, anak-anaknya menangis sekeras-kerasnya. Dakas juga menghampiri seseorang itu. Begitu juga keponakan dan seisi rumah. Tetangga pun berdatangan. Sekali lagi, dipandanginya dalam-dalam. Oh, seseorang itu mirip dengannya. Silbi heran, kenapa mereka menangisi orang yang mirip dirinya? Lalu, Silbi tidak tahu apa-apa. Melayang ke dunia tanpa rasa.
***
“Berapa gaji Saudara sebulan?”, Silbi kaget sembari menatap orang pertama di meja depan yang menanyainya.
“Empat juta enam ratus ribu ditambah tunjangan dua juta delapan ratus ribu.” Silbi merasa tidak menjawab tetapi jawaban itu terasa keluar dari dirinya.
“Pengeluaranmu sebulan?”, tanya orang kedua.
“Sembilan juta rupiah”, lagi-lagi keluar jawaban otomatis padahal dia sedang berpikir untuk memberi jawaban. Kali ini rinci dari biaya rumah tangga, telepon rumah, HP, sampai biaya perselingkuhan dengan bendaharanya. Detail.
“Apakah Saudara mempunyai penghasilan selain itu”, tanya orang ketiga.
“Tidak. Saya tidak punya keahlian lain yang mendatangkan penghasilan”, lagi-lagi jawaban otomatis.
“Dari mana Saudara mendapatkan uang untuk membeli apartemen di Singapura?”, tanya orang keempat yang nampaknya lebih ganas. Dalam hati Silbi mau mengibuli penanya. Mana tahu tengah bermimpi saja.
“Sogokan dari pengusaha Brutrus ketika menangani proyek rekonstruksi korban gunung berapi”, tiba-tiba suara nyaring terdengar dari belakang. Ternyata yang berbicara Brutrus.
“Rumah yang di Hongkong dan Hollywood duitnya dari mana? Tidak masuk akal saudara membeli apartemen di kompleks selebriti dunia tersebut sebagai PNS”, tanyanya tidak memberi ampun.
“Proyek pendidikan”, kali ini Jadas, pemborong yang ditunjuknya menjawab tanpa kasihan memapar keculasan Silbi. Bahkan ditambahkannya: “Ada bangunan sekolah yang tidak pernah berdiri.”
Lalu Silbi dicecar berbagai pertanyaan, tentang kebijakannya yang tidak memihak publik, tidak menyekolahkan dan memberdayakan staf cerdas, menghambat promosi staf pintar berselimut alasan yang dicari-cari. Jangankan memajukan lembaga, menjadikan WC-WC di kantor agar bersih saja tidak mampu sekalipun WC di ruangannya berbatu pualam.
Dan, jawaban yang benar selalu diutarakan mereka yang duduk di kursi belakang. Tidak ada yang meleset. Persis sebagaimana adanya.
“Saudara Silbi”, orang pertama bertanya dengan anggun. “Tugas saudara membangun kualitas sumber daya manusia, membangun bangsa, begitu bukan?”
“Ya”, kali ini Silbi menjawab tanpa diintervensi. Rupanya kalau dijawab jujur tidak ada intervensi jawaban otomatis.
“Bagus. Tetapi, mengapa saudara bisa mempunyai harta melimpah sementara lembaga yang saudara pimpin serba kekurangan. Sekolah-sekolah di dekat rumah saudara hampir roboh. Padahal tanggung jawab saudara. Saudara tidak pantas mendapatkan semua itu. Gaji saudara tidak cukup untuk itu.”
Belum sempat menjawab dilanjutkannya: “Saudara merasa telah berbuat demi memajukan bangsa bukan?” Pertanyaan yang menghujam ulu hati. Pertanyaan yang tidak mampu mendorong daya pikirnya untuk berpikir.
“Padahal, saudaralah yang menyebabkan bangsa saudara sebagai bangsa pecundang. Pendidikan memerlukan kontribusi, saudara menggaruk harta berlimpah dari pendidikan. Terlaluuuuuu. Saudara menyalahgunakan amanah”.
Kini, pertanyaan dijawab Silbi dengn jujur. Kalau berdusta pasti ada intervensi. Silbi sadar, ketika mencoba berdusta, ketika ditanya kenapa pergi ke negara Ceko menghadiri pertemuan astronomi internasional padahal bidang keahliannya pemerasan susu kuda, dari belakang datang bantahan, dari Prago yang ahli astronomi. Silbi tidak mengirim Prago karena dia tahu Prago lebih pintar. Silbi akhirnya pasrah. Pasti sudah, percuma berdusta.
Akhirnya, muncul pikiran jernihnya, mengapa tidak menyekolahkan staf, mengapa dia menjadikan nafsu mengumpulkan harta sebagi hobi utama, bukankah kalau digunakan untuk membangun sekolah, rumah, mobil, dan depositonya bisa membangun beratus-ratus sekolah? Buat apa memakai parfum Paris kalau got-got di lingkungan busuk. Sebagai pemimpin tidak mengembangkan potensi bawahan, tetapi menyedot energi mereka untuk diklaim menjadi kemampuannya.   
Dulu, kalau berdusta selalu mulus. Ada memang anak buahnya yang tahu, tetapi tidak seorang pun berani ‘bernyanyi’. Kalau ada, bertimbun-timbun sanksi telah tersedia. Tidak jarang dia menyuruh para punggawa melakukan pembunuhan karakter kepada siapa saja yang mencoba berbuat lebih maju darinya.
Kini, dengan sistem jawaban otomatis dari dirinya, tidak bisa berbuat apa-apa. Sedikit saja berdusta, saksi-saksi membantah. Alhamdulillah, untuk pertama kali Silbi menjadi orang jujur. Kejujuran yang telah ketinggalan kereta.
Atas kejujuran dadakannya, Silbi divonis bermukim di neraka jahanam. Tetapi, ketika palu akan dipukulkan, tiba-tiba seseorang berpostur hitam tinggi bertampang seram maju ke depan.
“Tunggu dulu”, katanya lantang mengumbar marah.
“Saya tidak setuju”, katanya dengan ekspresi kebengisan.
Orang ke dua merespon. “Hai Iblis, kenapa kamu tidak menerima Silbi sebagai teman? Bukankah tugasmu merayunya agar mempunyai teman yang kekal di neraka jahannam?”
“Tidak bisa. Memang dia binaan saya. Tetapi dia kurang ajar”, jawab Iblis dengan garang.
“Apa masalahnya”, timpal orang ketiga.
“Makhluk ini keterlaluan. Jangan-jangan dia bukan turunan manusia. Dia menerima saranku melakukan kecurangan, memperkaya diri,  serakah, menari-nari di atas derita anak bangsanya.”
“Berarti kamu sukses. Bujuk rayumu berhasil. Selamat.”
“Tidak. Tidak sama sekali. Sebagai guru, sebagai pembina, aku kecewa berat. Sungguh sangat kecewa”. Iblis berhenti sejenak sembari mengendalikan kemarahannya.
“Bayangkan. Ketika dia ke Tanah Suci, tega-teganya melempari aku ketika melempar Jumrah. Sesama bis kota saja tidak etis saling mendahului. Keiblisannya melebihi kemampuanku. Aku tersinggung berat. Jangan masukkan dia ke neraka. Aku tidak mau disaingi.*)
****
*) Diadopsi secara kreatif dari guyonan Amien Rais saat berceramah di FISIP Unlam, 16 September 2006.