Friday 13 January 2017

Menulis (3.2) Menanam Keresahan

MENGHAKIMI. Kopyok, sebut saja begitu namanya, kalau ditinjau dari pola pikir yang dituangkan pada tulisannya cukup bagus. Potensi dan kapasitas menulisnya cukup menjanjikan. Hanya saja, perkembangan kepenulisannya kurang bagus. Teman-teman seangkatan sharing menulisnya sudah lebih lancar, bahkan beberapa orang sudah menulis buku. Si Kopyok, yang (merasa) paling jago, sudah dianggap peninggalan sejarah. Apa pasal?
Kopyok hobi mengkritisi, kalaulah tidak dapat dikatakan punya hobi khusus, menghakimi tulisan teman-teman. Duga-duga saya, karena kemajuan rekan-rekannya pesat, memperlihatkan kejagoannya dengan mengkritisi karya orang lain. Tidak soal sebenarnya. Bukankah tulisan perlu dikritisi? Kita perlu kritikus untuk memperbaiki karya. Kopyok belum pantas mengibarkan diri sebagai kritikus. Bagaimana mungkin ‘membedah’ tulisan orang lain kalau karyanya baru tingkat pemula.
Saya pernah menganjurkan, sudahlah, biar saja teman-teman menulis sesukanya, sebisanya. Namanya saja belajar. Pikirannya bagus juga. Sejak awal kudu hati-hati, kudu perfeck. Para pesharing menulis di KP EWA’MCo. memanfaatkan Ersis Writing Theory (EWT). 
Kopyok, kiranya melawan EWT; tulis saja apa yang hendak ditulis. Setelah jadi tulisan didiskusikan. Kopyok bersikukuh dengan pengajaran terdahulu, diskusikan dulu apa yang akan ditulis. Akibatnya, dia sibuk berdiskusi dengan dirinya, dan menyeret orang lain, hingga menulisnya lupa. 
Neuron kritis Kopyok berkembang dan  menjadi hobi mengkritisi. Urat saraf kritisnya berkembang, dan ketika secara psikologis kalah, berubah menjadi sinis. Tulisan orang, blog orang, cara orang, salah melulu. Menyalahkan melulu.
Buat Kopyok, juga makhluk sejenisnya, saya acung jempol dan berterima kasih. Berterima kasih? Ya, kalau tulisan saya dikritisi, Alhamdulillah. Kalau pantas dijadikan masukan, kenapa tidak? Jangankan dari Kopyok, bila anjing bisa memberi saran, kalau konstruktif kenapa diabaikan. Tetapi, bagi pemula tentu lain kisahnya.
Bisa jadi, orang seperti Kopyok menjadi pembunuh semangat para penulis pemula. Bukankah memotivasi itu lebih baik dengan memberi contoh? Rasulullah berdakwah dengan contoh, bukan makian. Kalau nyinyir, dan ketika menulis berkarakter bengis, memandang karya orang jelek melulu, akhirnya membuat jiwa resah. Itu namanya membuat sumur keresahan. 
Dengan kata lain, memperbaiki dan memperbaiki karya, mutlak kepositifannya. Untuk itu diperlukan kelapangan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, jangan meresahkan diri dengan penilaian, baik terhadap diri (karya) sendiri. Kalau tumor keresahan disarangkan di otak akibatnya mumet sendiri. Hidup perlu suasana nyaman, menulis lebih afdol bersuasana nyaman. Resah dan keresahan, gelisah dan kegelisahan adalah belenggu menulis.
Mari membenahi karya. Syukur membantu karya teman. Jangan, sekali-kali jangan, meresahkan diri. Jangan menanam keresahan. Menulislah untuk kenyamanan.
Bagaimana menurut Sampeyan? 

Share this

0 Comment to "Menulis (3.2) Menanam Keresahan"

Post a Comment