Saturday 14 January 2017

Menulis (4.3) Busur Menulis

BELAJAR. Otak kita setiap hari ditimbuni berbagai informasi. Dari apa yang dilihat, dibaca, didengar, dirasa, diraba atau dipikirkan. Saking aktifnya kerja otak, bahkan ketika tidak sadar seperti ketika tidur, hampir tidak penah berhenti. Mimpi. Atau, mengigau. Memori otak unlimited. Kalau otak berhenti beraktivitas pertanda seseorang wassalam.
Dapat dibayangkan, betapa banyaknya tumpukan sari pati atau ampas kerja otak. Kemana disalurkan? Satu caranya dengan menulis. Tidak berlebihan manakala menulis dipandang sebagai katarsis, membersihkan kerak-kerak otak. Kalau katarsis tidak pernah dilakukan, betapa menumpuk beban otak, otak bisa hang. Bisa gawat am. 
Tidak elok menumpukkan semua hal di otak. Pekerjaan merdeka menyalurkan ‘isi otak’ dengan menulis. Bahkan, dapat dikatakan sebagai busur bagi melejitnya pikiran. Kalau ‘isi otak’ dijadikan tulisan, sangat baik bagi otak itu sendiri, bagi yang mempunyai otak, bagi yang berotak.
Karena itu, berseloroh dalam berbagai sharing dengan menggoda peserta: ”Satu-satunya musuh menulis adalah mereka yang tidak berotak”. Seorang peserta menambahkan: ”Mempunyai otak, tetapi membeku”. Ya, saya pastikan, kalau tidak mempunyai otak jangan pernah bermimpi menjadi penulis he he. 
Apabila ‘isi otak’ dituliskan, terutama hal-hal yang bermanfaat bagi sesama, menulis menjadi busur sangat bagus mengantarkan ‘buah pikiran’. Tulisan dijadikan penyampai ilmu, pengetahuan, dan hal-hal baik. Bayangkan betapa repotnya kalau Al-Qur’an tidak ditulis, betapa susahnya kita membaca dan belajar dari firman Allah SWT.  
Pernah membaca karya Dante Alighieri Davina Commedia? Konon curian dari Isra’ Mikraj Rasulullah. Dante menempatkan Rasulullah di neraka paling bawah, neraka jahannam. Khas gaya Barat. Pernah membaca tentang Ibnu Rusyd? Kalaulah Rusyd, filosuf multitalenta tersebut tidak menuliskan ulang pikiran Socrates dan teman-temannya dengan komentar-komentar kritisnya sehingga terkenal sebagai The Comentator, bisa-bisa alam pikiran Yunani hilang dari ‘pikiran dunia’. Karya Rusyd menjadi busur bagi penulisan ragam pikiran hebat-hebat. 
Yang bodoh, kalau ada Muslim berbusung dada membanggakan filsafat Barat, menghujat filsafat Islam. Tidak memahami mana loyang mana emas.
Otak adalah busur bagi pengembangan pengetahuan, menulis busur bagi rekaman dan picuan perkembangan ilmu dan teknologi. Kenapa sastra Arab tidak berkembang pesat, hanya milik komunitas Baduy praIslam? Syair-syair beken diucapkan, didendangkan, tetapi tidak ditulis. Begitu Islam menjadi pegangan dasar dengan budaya membaca dan tulis, sastra dan budaya Arab terangkat pamornya. Islam busur budaya menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.3) Busur Menulis"

Post a Comment