Saturday 14 January 2017

Menulis (4.9) Hantu Menulis

LANCAR. “Mas”, tanya saya kepada seorang mahasiswa, “Kemana Sampeyan melakukan perjalanan paling jauh?” Ke Tanah Grogot, Kalimantan Timur, jawabnya serius. Bercanda saya katakan: “Haregene baru sampai ke Tanah Grogot?” Kelas riuh pertanda keakraban. OK, pejamkan mata. Rekonstruksi sejak awal perjalanan sampai pulang. Pamungkasnya: “Ceritakan.” Si Mahasiswa menceritakan. Lancar.

Menulis apa yang dialami, disimpan atau diformulasikan dalam pikiran adalah perkara mudah. “Sekali lagi, pejamkan mata Sampeyan. Berapa waktu dibutuhkan ke Tanah Grogot? Begitu matanya dipejam langsung dijawab, sudah sampai Pak. Bisa ditulis pengalaman tersebut? Bisa Pak. Tapi, tidak sekarang. Selesai kuliah akan saya tulis.

Yup. Kalau lagi ada waktu luang, dalam pikiran, saya sering mengulang perjalanan ke luar negeri. Terkadang, kalau malam menjelang, disela-sela menulis, salat malam, lalu ke Masjidil Haram. 

Mengulangi duduk di tangga menurun Masjidil Haram sembari menikmati pesona Ka’bah. Mengulang-ngulang pengalaman. Lengkap dengan tawaf dan sa’i.

Perjalanan pikiran menghilangkan batas-batas spasial dan temporal. Apabila berkehendak jadilah. Sungguh nikmat. Soal diistilahkan imajinasi atau khayalan, terserah. Dilabeli power of mind pun boleh-boleh saja. Dari pemahaman tersebut membagi pada dua pilahan.

Pertama, menjelajahi kembali pengalaman untuk ditulis. Kedua, menambah-kurangi atau mengembangkan tanpa harus berdasarkan pengalaman nyata. Yang terakhir sedang dipelajari terutama dalam menulis fiksi. Tidak susah. Hanya perlu ‘melipat’ waktu, memendekkan jarak, dan meringkas menulis. Mudah.

Hal sedemikian dapat dilakukan siapa saja. Begitu mudah dan nikmat, dapat dikatakan memabukkan. Tidak mengapa menjadi demikian; pemabuk membaca dan pemabuk menulis. Saya mendapat tambahan, mabuk menyebarkan virus membaca, membiakkan virus menulis. Sekaligus menghindari jebakan mabuk karena alkohol he he.

Pikiran kita bisa melipat apa saja, katakanlah me-ZIP, yang ketika disimpan bak quark, dan ketika ditulis dikembangkan. Hanya saja, ada peringatan, kalau pada proses penyimpanan, dan atau, pengembangan ide di pikiran tidak mantap, maka menulis akan sangat susah. Seorang teman mengistilahkan menjadi ‘hantu’. Ih, ngeriiii.

Dengan kata lain, apabila melakukan sesuatu pahami secara pasti. Membaca pahami apa yang dibaca. Menuntun khayalan lakukan dengan fokus seolah-olah ada. Setelah itu, tulis. Manakala susah menuliskan pikiran, pertanda simpanan otak tidak berdasarkan pemahaman. Bak ikan mati, mata melotot.

Sebagai ilustrasi, coba ingat-ingat, ketika berpapasan dan bertegur sapa dengan seseorang. Ketika bersua lagi, dikonfirmasi, dijawab, merasa tidak bertegur sapa. Dalam hidup kita sering dijebak melakukan aktivitas, tetapi tidak paham yang dilakukan. Melihat, tetapi tidak merekam di memori. Kalau hal demikian menjadi ‘paten diri’ sungguh susah menulis. Menulis akan menjadi ‘hantu’ menakutkan. Betapa tidak, memori tidak merekam aktivitas. Kalau tidak terekam, atau rekaman cacat, bagaimana mungkin menjadi hal bagus ketika ditulis.

Akibatnya, takut ini-itu. Menulis menjadi hantu menakutkan. Menulis menuangkan pikiran. Menuangkan pikiran yang disimpan. Simpanan diproses dan dituangkan. Kalau susah menuliskan apa yang disimpan, bisa jadi simpanannya tidak karu-karuan. Pasti ada something wrong. Dus, kalau berkesusahan menulis, pindai-pindai sistem memori. Mana tahu ... ? 

Hantu menulis, bukan karena soal pintar-bodoh, punya gelar berderet-deret atau cap-cap sosial membanggakan. Menulis lebih kepada tertibnya sistem kerja otak yang dibuktikan dengan tulisan. Pakar mengatakan, dari tulisan seseorang tergambar pola pikirnya. Tulisan cermin diri. Dapat dipahami mengapa ada orang yang takut menulis?

Hantu menulis adalah ketakutan diri karena ketidakberesan sistem kerja otak. Hantu menulis kok dipelihara. 

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.9) Hantu Menulis"

Post a Comment