Sunday 15 January 2017

Menulis (5.2) Membunuh Potensi Otak?

MARAH-MARAH. Suatu kali, istri seorang teman terkaget-kaget. Anak seorang teman yang berkunjung berpenampilan amat lincah, kreatif. Tidak mau diam, selalu bergerak. Barang-barang dalam rumah teman tersebut diudak-aduknya. Kira-kira dia terkagum-kagum sekaligus sebel; baru anak kecil kelakuannya sudah aduhai, apalagi kalau besar.
Suatu ketika, istri seorang teman terkagum-kagum. Ketika berkunjung ke rumah seorang teman, anak Si Teman berjuang meminta uang. Sekalipun ibunya mendelik, tetap saja diminta. Es krimlah, chikilah, permenlah. Dimintanya sampai ibunya memberi uang dengan mimik dipaksakan bermanis-manis sekalipun dengan menggeretakkan gigi.
Saya pernah ‘menggoda’ seorang teman: “Mbak. Kok marah-marah melulu”. Dia berargumen: “Dasar mahasiswa malas. Tidak memperhatikan kuliah”. Saya katakan: Mbak. Memberi kuliah itu berarti juga memenej kelas. Kalau kelasnya riuh,yang tidak beres bukan mahasiswa, tetapi pengajarnya.”
Mukanya masam. Aneh. Bagi siapa saja yang pernah menimba ilmu pendidikan pastilah paham, sebelum menjadi dosen dididik mengelola kelas. Berani-beraninya menjadi dosen, tetapi tidak belajar ilmu pendidikan. Akibatnya, suka marah-marah. “Hargai yang berbicara di depan”, Weleh weleh, bagaimana menghargai, celoteh yang tidak pantas dihargai. Tidak logis.
  Setiap anak yang lahir membawa potensi. Dalam pendidikan tradisional dikenal istilah cerek dan cangkir, pengetahuan orang dewasa dicurahkan. Dalam pendidikan modern sebaliknya, pendidikan mengembangkan potensi anak. 
Anak-anak belajar dari pengalamannya. Ketika berekspresi di rumah tetangga ibunya tidak marah, dan disimpulkan, kebebasan didapat bukan di rumah. Begitu juga ketika meminta uang untuk jajan. Manakala ada tamu ibunya memberi, kalau tidak ada tamu, ibu marah-marah melulu. 
Tidak ada satu pun teori yang membenarkan marah dan amarah dikembangkan. Marah boleh dalam katup mendidik. Tetapi, marah-marah bukanlah perilaku yang patut dikembangkan. Gara-gara tidak menguasai materi perkuliahan mahasiswa menjadi sasaran. Tidak mengembangkan kompetensi profesional pihak lain yang menjadi korban.
Saya pernah terlibat diskusi dengan seorang teman. Si Teman mengkritisi EWT dengan segala kekurangannya. Saya katakan, EWT sedang dikembangkan. Terima kasih kritisasinya. Diskusi ‘meninggi’ ketika diutarakan, EWT untuk mengembangkan potensi menulis. “OK, saya menghargai Sampeyan sebagai kritikus. Tapi, mbok mahasiswa jangan diarahkan mengkritisi saja. Berilah contoh tulisan yang bagus itu seperti apa?”
Saya berpendapat setiap orang berpotensi menulis. Potensi tersebut yang dikembangkan. Ada orang yang mengembangkan potensi mengkritisi, silakan saja. Banyak contoh sederhana atau serius, bukan potensi otak yang dikembangkan, tetapi sebaliknya. Bagaimana mau mengembangkan potensi menulis kalau yang diutamakan mencela tulisan orang, bukan memperbaiki. Mereka yang menulis dimusuhi, yang tidak menulis yang baik. Aya aya wae.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.2) Membunuh Potensi Otak?"

Post a Comment