Tuesday 10 January 2017

Menulis (2.4) Otak ”Sang Penyimpan”

ABSTRAKSI. Ketika ke Singapura, menikmati Esplanade dengan Patung Singa ‘kencing’ sungguh kagum sebagaimana menikmati Jam Gadang di Bukit Tinggi. Patung Singa dan Jam Gadang biasa-biasa saja, namun kenapa begitu sohor? Memperhatikannya, berbagai hal bermain di otak hingga terpahami, Oh begitu to. Simpulan tentatifnya di tulis di otak.
Biasanya, apabila ada tambahan informasi, simpanan tersebut disempurnakan agar apa-apa yang disimpan lebih mantap. Begitu juga ketika memikirkan sesuatu, disimpan dalam bentuk konsep. Itulah yang dimaksudkan menulis di otak. 
Membimbing penulisan skripsi mahasiswa, sekalipun banyak juga jebolnya, perhatian pertama pada masalah penelitian dalam bentuk proposal. Setelah skripsi menjadi, beralih pada abstraksi. Abstraksi memuat hal esensial, latar belakang masalah, masalah, metode penelitian, hasil penelitian, dan kesimpulan. Mengapa abstraksi penting?
Abstraksi adalah ‘cermin’ skripsi. Dari tulisan beberapa kalimat tersebut dapat dipindai kualitas skripsi. Setelah itu membaca keseluruhan dan pulpen merah lincah menoreh. Setelah bimbingan selesai menyimpan di memori. Keseluruhan isi skripsi secara umum dimengerti.
Tentu, mustahil memasukkan muatan skripsi ke otak. Menyaksikan pertunjukkan atraksi Tornado dan Halilintar di Dunia Fantasi, masyak sih besi nakal tersebut dimasukkan ke otak? Ringkasannya, setelah memahami disimpan di memori. Otak hanya berurusan dengan hal abstrak. Abstraksi yang ditulis di otak menjadi titik tumpu dalam menulis. Menulis berarti menyalin.  


Ketika sharing menulis dengan banyak orang, rata-rata mengeluh, menulis satu-dua alinea mandek. Biasanya digoda, Sampeyan terlalu bernafsu sih. Begitu ada ide main tulis saja. Konsekuensinya, ketika menulis memikirkan apa yang akan ditulis. Tukar caranya. Tulis di otak kemudian tulis dalam artian konvensional. Menulis menjadi lancar.
Pembaca tentu hapal dengan kalimat saya: Jangan pikirkan apa yang ditulis, tulislah apa yang ada di pikiran. Menulis sembari memikir, tentu tidak salah. Asal mampu, kenapa tidak? 
Sekalipun demikian, apabila belum fasih menulis akan menjadi beban. Otak terpacu bekerja ekstra keras. Hal tersebut menyebabkan hang, tidak bisa memikirkan apa-apa, apalagi yang akan ditulis.
Bersengaja dan membiasakan menulis di otak memperlancar proses pengolahan dan penyimpanan konsep. Mengingat otak berkapasitas unlimited, apa saja mampu disimpan. Tugas kita menertibkan simpanan, menyatukan pada file tertentu, dan mengelompokkan file. Hanya saja harus pandai mengatur iramanya. Kalau semua hal ditumpuk dalam waktu bersamaan hang akibatnya. 
Menulis di otak dimulai ketika alat indra merespon sesuatu, diolah, dan disimpan. Ada orang yang mengatakan, susah mengingat sesuatu. Bisa jadi, terjadi manakala melihat sesuatu sepintas lalu, apabila mendengar sekenanya, merasakan sekadarnya. Hal yang tidak dimengerti, yang tidak dipahami, yang tidak ‘menendang-nendang’ perasaan susah diingat.
Menyimpan apa pun raupan informasi, apa pun hasil analisis pikiran di memori adalah menulis di otak. Karena itu berhati-hatilah menuliskan sesuatu di otak. Simpanan yang banyak memerlukan pembenahan. Sejak dari hilir sampai ke hulu jangan bermain-main dengan kerja otak.
 
Believe it or not, kalau tidak cerdas, proses defrag akan sulit. Defrag dilakukan ketika memindai, memproses, menyimpan, dan ketika dikeluarkan (ditulis secara konvensional) sehingga menulis menjadi mudah. Semakin mudah menyimpan semakin mudah memanggil dan akhirnya memudahkan menuliskannya.
Dengan kata lain, mari biasakan menulis di otak. Menulis di otak memudahkan menulis dalam artian konvensional. Perlu ditambahkan, apabila dilatih akan menjadi refleks. Latihan dan pelatihan intinya pada pembiasaan yang bermuara pada refleks, reflective thinking. Memudahkan pemasukkan, pemahaman, penyimpanan, dan pengeluaran. Insya Allah, kemampuan menulis memuncak. Tunggu apa lagi, mulailah sekarang. Now.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (2.4) Otak ”Sang Penyimpan”"

Post a Comment