Friday 13 January 2017

Menulis (3.7) Mematenkan Akan

NOVEL. Kalau ada waktu luang sempatkan melihat-lihat seantero kota tempat bermukim. Sangat mungkin ditemukan aneka baliho atau pelang: Disini akan dibangun gedung anu. Disini akan dibangun anu, anu, dan anu. Bukan tidak mungkin pula sampai pelang tersebut hancur ‘bangunan yang akan’ tersebut tidak menjadi. Sebaliknya, beberapa bulan tidak ke bagian kota menjulang gedung gagah. Langsung dibangun.
Banyak orang mengikuti pelatihan atau sharing menulis lalu bertekat akan menulis anu, anu, dan anu. Membaca buku motivasi serasa menulis begitu mudah. Muncul desakan pikiran akan menulis anu-anu, dan anu. Empat tahun kemudian, masih berposisi akan, akan, dan akan menulis.
Seseorang dengan semangat menggebu-gebu memaparkan idenya untuk menulis novel lengkap dengan uraiannya sampai prediksi akan menjadi best seller. Paparannya luar biasa. So sangat menyakinkan.
Tetapi, sudah dapat dipastikan, kalau seseorang omongannya setinggi langit dia akan kesusahan membuktikannya. Sebaliknya, seseorang yang meresapi EWT, mempraktikkan dengan memulai menulis, melakukan menulis, menjadi lain ceritanya. Rata-rata pelibat EWT diwajibkan menulis minimal satu tulisan dalam sehari dan dalam sebulan menghasilkan naskah buku. ‘Filsafat akan’ dibuang. Tidak ada tempat bagi ‘akan’. EWT bersandar pada melakukan menulis. Menulisnya yang utama.
Menulis berbeda dengan ‘akan menulis’. Menulis dalam arti melakukan, mulai sekarang juga, now, adalah milik mereka yang betul-betul menulis. Akan menulis anu dan anu adalah milik para pelamun. Celakanya, banyak orang terbelenggu filsafat akan. Sesuatu yang tidak kondusif bagi pembelajaran menulis. Akan dan akan adalah sesuatu yang tidak ada.
Menulis sekarang juga, melakukan menulis, bisa jadi menjadi sesuatu yang menakutkan terutama bagi mereka yang tidak mampu melawan diri. Betapa tidak. Alasan untuk tidak menulis tersedia berderet-deret dan dapat dikembangkan seberapa pun, tergantung yang beralasan.
Menulis sekarang juga, menulis apa yang ada di pikiran, bukan memikirkan apa yang akan ditulis, hasilnya dapat dinikmati begitu menulisnya selesai. Melakukan menulis adalah latihan menulis itu sendiri. Bisa jadi, tulisan pertama tidak memuaskan, tetapi dengan ‘mempelajari’ tulisan tersebut kita dapat menilai kekurangannya, apa-apa yang perlu diperbaiki. Muatan positifnya, membicang tulisan yang telah menjadi.
Penganut ‘filsafat akan’ adalah mereka yang berumah di bayangan. Tidak berani menghadapi realitas. Menulis prosesnya panjang. Mulai dari masukan bahan mentah, menyimpan di memori, memproses di pikiran, dan mengeluarkan. Pada proses demikian diperlukan ketelitian dan kiat-kiat atau ketabahan mengolahnya. Mereka yang tidak mampu memenej diri, memenej pikiran dan perasaan, mustahil mampu menuliskan pikirannya. Masukan yang salah, akan melalui pintu proses salah, dan keluarannya bisa janggal. Menulis menata diri.
Perlu dicamkan, belajar menulis dalam arti mempelajari ‘teori menulis’ tentu bagus. Setidaknya dalam katup ranah pengetahuan. Lagi pula, teori menulis adalah alat bagi mudahnya menulis, bukan menulis itu sendiri, atau hasilnya berupa tulisan.
Artinya, bagaimanapun hebatnya pengetahuan teoritis seseorang tentang menulis tidak menjamin melahirkan tulisan. Menulis yang menghasilkan tulisan dari melakukan menulis. Karena itu, menulis masuk ranah keterampilan, bukan pengetahuan saja. Dus, manakala berkehendak meraih keterampilan menulis, kefasihan menulis, tidak ada jalan lain selain melakukan menulis. 
Lagi pula, tidak ada yang dihasilkan akan, akan, dan akan selain akan itu sendiri. Akan bila dipatenkan pada diri seseorang akan menjadi akan. Orangnya pantas digelari Raja Akan. Idenya banyak, kalau menjadi pejabat atau pemuka masyarakat, kata-katanya membuai, akan, akan, dan akan.
Jadi, jika betul-betul berkehendak menulis, buang filsafat akan. Lakukan menulisnya. Dijamin pasti menghasilkan tulisan. Kalau sudah demikian tinggal meningkatkan kualitas tulisan.
Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.7) Mematenkan Akan"

Post a Comment