Ersis Warmansyah Abbas
Bagaiamana mau bersemangat Pak, apa yang saya tulis dilecehkan. Saya menulis tentang cita-cita, pengalaman, atau gagasan tentang memperbaiki negeri ini. Jangankan mendapat tanggapan positif, FB saya saja tidak dikomentari. Paling-paling di-like.
RUPANYA, kawan kita yang satu ini penulis facebook, facebooker.
Banyak hal yang dapat ditulis seputar tulis-menulis di facebook (FB).
Ada yang memposting sesuatu di FB berharap mendapat perhatian berupa
komentar dari berbagai kalangan bukan sekadar di-like. Kenyataannya,
jangankan dikomentari, ada kalanya permintaan pertemanan saja tidak
diindahkan. Begitulah dunia maya, sosial media. Tidak bisa
dipaksa-paksakan.
Orang menyukai sesuatu tidak bisa dipaksa-paksa. Pertanyaannya: Kalau
postingan dianggap penting, setidaknya menarik, oleh pembaca, bukankah
dibaca dan dikomentari? Tidak dikomentari? Ya, bisa jadi karena memang
tidak menarik dan tidak bermanfaat. Atau, orang sibuk dan cukup membaca
dan mengambil hikmahnya. Kenapa harus diukur dengan komentar?
Harapan tersebut wajar saja. Konkretnya begini. Saya memposting
tulisan atau foto pastilah karena ingin ”memperlihatkan” kepada
masyarakat dunia maya, netizen, apa yang saya tulis atau foto. Kalau
tidak, tulis saja untuk diri sendiri di diary. Postingan untuk dibaca
khalayak.
Halnya adalah, apa motif memposting sesuatu? Kalau dimaksudkan agar
dikomentari khalayak ketika tidak dikomentari, kecewa hasilnya. Kalau
dimaksudkan agar mendapatkan balikan finansial, kalau tidak dihargai,
kekecewaan akibatnya. Sebaliknya, manakala dimaksudkan untuk berbagi
atau menginspirasi, ya tentu berbeda dengan kalau dimaksudkan untuk
dikomentari atau mendapatkan fulus.
Begitu pula, kalau menulis dengan harapan gayutannya tidak mendenda.
Artinya, tergantung motif, juga motif penyerta sebelum, ketika, dan
setelah menulis. Kalau ditanya: Apa motif Ersis menulis? Dikaitkan
dengan paparan di atas, kesemua itu dijadikan titik berangkat. Bahkan,
banyak hal tergayut selain yang terpaparkan. Hal mendasarnya, menulis
dimaksudkan untuk menuangkan pikiran agar pikiran ternyaman dan semoga
bermanfaat bagi sesama.
Kalau sudah demikian, komentar, sanjungan, cercaan, cemeeh, sampai
finansial bonus. Bonus? Ya, begitulah. Sekalipun susah bila
diformulasikan sebagaimana persepsi banyak orang, saya menganggapnya
bonus. Ya, kenapa?
Saya menempatkan menulis sebagai kebutuhan. Dan, naga-naganya bebas dari
pandangan luar diri. Artinya menulis sebagai kemauan, bukan karena
tuntutan orang lain, termasuk perhitungan-perhitungan finansial. Sekali
lagi, memaknai menulis sebagai kebutuhan.
Kalau demikian prinsipnya, dipastikan bebas dari harapan dikomentari
pembaca. Berkomentar hak pembaca. Menerbitan buku hak penerbit. FB tidak
dikomentari, begitulah nasib. Tetapi, ada tetapinya. Kesemua itu
dijadikan masukan agar menulis lebih baik. Tidak ada yang sia-sia. Tidak
ada senandung, duh teganya, teganya.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (4.7): Duh … Teganya, Teganya"
Post a Comment