Monday 12 December 2016

Menulis (4.7): Duh … Teganya, Teganya

Ersis Warmansyah Abbas
Bagaiamana mau bersemangat Pak, apa yang saya tulis dilecehkan. Saya menulis tentang cita-cita, pengalaman, atau gagasan tentang memperbaiki negeri ini. Jangankan mendapat tanggapan positif, FB saya saja tidak dikomentari. Paling-paling di-like. 
RUPANYA, kawan kita yang satu ini penulis facebook, facebooker. Banyak hal yang dapat ditulis seputar tulis-menulis di facebook (FB). Ada yang memposting sesuatu di FB berharap mendapat perhatian berupa komentar dari berbagai kalangan bukan sekadar di-like. Kenyataannya, jangankan dikomentari, ada kalanya permintaan pertemanan saja tidak diindahkan. Begitulah dunia maya, sosial media. Tidak bisa dipaksa-paksakan.
 
Orang menyukai sesuatu tidak bisa dipaksa-paksa. Pertanyaannya: Kalau postingan dianggap penting, setidaknya menarik, oleh pembaca, bukankah dibaca dan dikomentari? Tidak dikomentari? Ya, bisa jadi karena memang tidak menarik dan tidak bermanfaat. Atau, orang sibuk dan cukup membaca dan mengambil hikmahnya. Kenapa harus diukur dengan komentar?

Harapan tersebut wajar saja. Konkretnya begini. Saya memposting tulisan atau foto pastilah karena ingin ”memperlihatkan” kepada masyarakat dunia maya, netizen, apa yang saya tulis atau foto. Kalau tidak, tulis saja untuk diri sendiri di diary. Postingan untuk dibaca khalayak.

Halnya adalah, apa motif memposting sesuatu? Kalau dimaksudkan agar dikomentari khalayak ketika tidak dikomentari, kecewa hasilnya. Kalau dimaksudkan agar mendapatkan balikan finansial, kalau tidak dihargai, kekecewaan akibatnya. Sebaliknya, manakala dimaksudkan untuk berbagi atau menginspirasi, ya tentu berbeda dengan kalau dimaksudkan untuk dikomentari atau mendapatkan fulus.

Begitu pula, kalau menulis dengan harapan gayutannya tidak mendenda.
 
Artinya, tergantung motif, juga motif penyerta sebelum, ketika, dan setelah menulis. Kalau ditanya: Apa motif Ersis menulis? Dikaitkan dengan paparan di atas, kesemua itu dijadikan titik berangkat. Bahkan, banyak hal tergayut selain yang terpaparkan. Hal mendasarnya, menulis dimaksudkan untuk menuangkan pikiran agar pikiran ternyaman dan semoga bermanfaat bagi sesama.

Kalau sudah demikian, komentar, sanjungan, cercaan, cemeeh, sampai finansial bonus. Bonus? Ya, begitulah. Sekalipun susah bila diformulasikan sebagaimana persepsi banyak orang, saya menganggapnya bonus. Ya, kenapa?
 
Saya menempatkan menulis sebagai kebutuhan. Dan, naga-naganya bebas dari pandangan luar diri. Artinya menulis sebagai kemauan, bukan karena tuntutan orang lain, termasuk perhitungan-perhitungan finansial. Sekali lagi, memaknai menulis sebagai kebutuhan.

Kalau demikian prinsipnya, dipastikan bebas dari harapan dikomentari pembaca. Berkomentar hak pembaca. Menerbitan buku hak penerbit. FB tidak dikomentari, begitulah nasib. Tetapi, ada tetapinya. Kesemua itu dijadikan masukan agar menulis lebih baik. Tidak ada yang sia-sia. Tidak ada senandung, duh teganya, teganya.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.7): Duh … Teganya, Teganya"

Post a Comment