Tuesday 13 December 2016

Menulis (5.10): Sudahlah, Menulis Sajalah

Ersis Warmansyah Abbas
Kritik atau celaan terhadap tulisan, sebaiknya dijadikan masukan untuk perbaikan. Sebaliknya, kalau dijadikan pelemah semangat, bisa berakibat patah arang menulis. Hal tersebut tidak konstruktif dan kontributif dalam membangun keterampilan menulis.
PADA praktiknya melakukan apa saja lazim dihadang kendala, begitu juga menulis. Tidak syak lagi, bagaimana merespon kendala tersebutlah yang menjadikan seseorang penulis atau pecundang. Bagi yang bermental lemah, begitu diterpa kendala semangatnya kendur, bagi yang bermental bagus, kendala dijadikan tantangan untuk mengatasinya. Artinya, kendala diatasi, berusaha mengatasi kendala agar aktivitas menulis tidak terganggu.
 
Secara psikologi dapat dipahami, kita susah-susah menulis, setelah tulisan menjadi tidak direspon, dikritik sampai dimaki sehingga mental down. Wajar saja. Yang perlu diingat, kalau tulisan tidak mau direspon, ya tulis saja untuk diri sendiri. Tulis dan baca sendiri. Tetapi, tujuan menulis di wilayah publik tentu agar dibaca sebanyak mungkin orang dan memberi manfaat bagi pembaca.

Karena itu, menulis sebaiknya dipahami sebagai proses pembelajaran (diri). Dengan demikian, bilamana dikritik atau dihujat, jadikan balikan semangat, saya akan menulis lebih baik. Untuk itu belajar, belajar menulis yang baik dan berkualitas. Bukan, ya bukan, lantaran dikritik semangat menguap dan patah arang menulis. Respon tersebut respon tidak konstruktif.

Bagi yang tidak terlatih, kritikan dan hujatan memang bisa menjadi pemati semangat. Karena itu siapkan mental dan jangan mempersulit pikiran. Kalau tidak berkenan dengan kritik, terdenda hujatan, anggap angin lalu, teruskan menulisnya. Di dunia ini mustahil ada orang yang berpikiran sama, menanggapi suatu hal sama, atau dan tidak mungkin dipaksa agar sependapat semua hal. Kalau tidak berkenan, cuekin saja.

Ada kebiasaan buruk penulis pemula dimana apa yang ditulis dipatok untuk direspon positif; ditanggapi, dipuji, diharapkan mendapatkan salary. Masalahnya, kalau harapan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, tentu berakibat kekecewaan. Kalau kekecewaan melanda diri akibatnya bisa merembet kemana-mana. Apa untungnya?

Resep saya, menulis sajalah. Mau dipuji atau dihujat, terserah. Itu hak pembaca. Ambil baiknya, buang buruknya dan jadikan pembelajaran. Menulis, menulis, dan terus menulis pada prosesnya belajar, membelajarkan diri.

Artinya, harapan diminimalisir, atau dibuang. Kalau direspon, dipuji, mendapat honor anggap bonus. Dengan demikian, bukan keterampilan menulis saja yang terbangun, terlebih jiwa terbebas dari tuntutan diri dan manakala berbuah hal baik, Alhamdulillah. Bonus namanya. Lagi pula, bukankah bagi pembelajaran, proses membelajarkan diri itu yang lebih utama?

Dengan kata lain, menulis menjadi fokus. Lebih hebat, kalau tingkatnya meninggi, menulis sebagai kebutuhan. Manakala menulis sebagai kebutuhan dipadukan menjadi mindset berbagai hitungan-hitungan gayutan menulis tidak penting lagi. Menulis tidak lagi diganggu oleh hal di luar menulis itu sendiri. Disadari, untuk mencapai tingkat sedemikian tidak mudah, sebab kita harus membasmi kebiasaan buruk dalam menulis. Halnya, kenapa sih harus sayang dengan kebiasaan buruk? Mari menukarnya dengan hal positif.

Ya, mari menjinakkan kebiasaan buruk, mengenyahkan, membunuhnya, dan membuang jauh-jauh. Kebiasaan buruk menganggu pikiran merusak perasaan yang tidak kontributif dalam menulis.

Jadi, mari menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis sekaligus membumihanguskan kebiasaan buruk. Menulis, menulis, menulis, mari sajalah.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.10): Sudahlah, Menulis Sajalah"

Post a Comment