Ersis Warmansyah Abbas
Kritik atau celaan terhadap tulisan, sebaiknya dijadikan masukan untuk perbaikan. Sebaliknya, kalau dijadikan pelemah semangat, bisa berakibat patah arang menulis. Hal tersebut tidak konstruktif dan kontributif dalam membangun keterampilan menulis.
PADA praktiknya melakukan apa saja lazim dihadang kendala, begitu
juga menulis. Tidak syak lagi, bagaimana merespon kendala tersebutlah
yang menjadikan seseorang penulis atau pecundang. Bagi yang bermental
lemah, begitu diterpa kendala semangatnya kendur, bagi yang bermental
bagus, kendala dijadikan tantangan untuk mengatasinya. Artinya, kendala
diatasi, berusaha mengatasi kendala agar aktivitas menulis tidak
terganggu.
Secara psikologi dapat dipahami, kita susah-susah menulis, setelah
tulisan menjadi tidak direspon, dikritik sampai dimaki sehingga mental
down. Wajar saja. Yang perlu diingat, kalau tulisan tidak mau direspon,
ya tulis saja untuk diri sendiri. Tulis dan baca sendiri. Tetapi, tujuan
menulis di wilayah publik tentu agar dibaca sebanyak mungkin orang dan
memberi manfaat bagi pembaca.
Karena itu, menulis sebaiknya dipahami sebagai proses pembelajaran
(diri). Dengan demikian, bilamana dikritik atau dihujat, jadikan balikan
semangat, saya akan menulis lebih baik. Untuk itu belajar, belajar
menulis yang baik dan berkualitas. Bukan, ya bukan, lantaran dikritik
semangat menguap dan patah arang menulis. Respon tersebut respon tidak
konstruktif.
Bagi yang tidak terlatih, kritikan dan hujatan memang bisa menjadi
pemati semangat. Karena itu siapkan mental dan jangan mempersulit
pikiran. Kalau tidak berkenan dengan kritik, terdenda hujatan, anggap
angin lalu, teruskan menulisnya. Di dunia ini mustahil ada orang yang
berpikiran sama, menanggapi suatu hal sama, atau dan tidak mungkin
dipaksa agar sependapat semua hal. Kalau tidak berkenan, cuekin saja.
Ada kebiasaan buruk penulis pemula dimana apa yang ditulis dipatok
untuk direspon positif; ditanggapi, dipuji, diharapkan mendapatkan
salary. Masalahnya, kalau harapan tersebut tidak sesuai dengan
kenyataan, tentu berakibat kekecewaan. Kalau kekecewaan melanda diri
akibatnya bisa merembet kemana-mana. Apa untungnya?
Resep saya, menulis sajalah. Mau dipuji atau dihujat, terserah. Itu
hak pembaca. Ambil baiknya, buang buruknya dan jadikan pembelajaran.
Menulis, menulis, dan terus menulis pada prosesnya belajar,
membelajarkan diri.
Artinya, harapan diminimalisir, atau dibuang. Kalau direspon, dipuji,
mendapat honor anggap bonus. Dengan demikian, bukan keterampilan
menulis saja yang terbangun, terlebih jiwa terbebas dari tuntutan diri
dan manakala berbuah hal baik, Alhamdulillah. Bonus namanya. Lagi pula,
bukankah bagi pembelajaran, proses membelajarkan diri itu yang lebih
utama?
Dengan kata lain, menulis menjadi fokus. Lebih hebat, kalau
tingkatnya meninggi, menulis sebagai kebutuhan. Manakala menulis sebagai
kebutuhan dipadukan menjadi mindset berbagai hitungan-hitungan gayutan
menulis tidak penting lagi. Menulis tidak lagi diganggu oleh hal di luar
menulis itu sendiri. Disadari, untuk mencapai tingkat sedemikian tidak
mudah, sebab kita harus membasmi kebiasaan buruk dalam menulis. Halnya,
kenapa sih harus sayang dengan kebiasaan buruk? Mari menukarnya dengan
hal positif.
Ya, mari menjinakkan kebiasaan buruk, mengenyahkan, membunuhnya, dan
membuang jauh-jauh. Kebiasaan buruk menganggu pikiran merusak perasaan
yang tidak kontributif dalam menulis.
Jadi, mari menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis sekaligus
membumihanguskan kebiasaan buruk. Menulis, menulis, menulis, mari
sajalah.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (5.10): Sudahlah, Menulis Sajalah"
Post a Comment