Thursday 15 December 2016

Menulis (3.9): Mewariskan Ide

Ersis Warmansyah Abbas

ISHAK Mussa Al-Husaini dalam buku Ikhwanul Muslimin menulis: “Mungkin yang paling menonjol ialah kenyataan, baik al-Afgani maupun Abduh tidak mewariskan gerakan yang konkrit. Mereka tidak meninggalkan program tertulis yang jelas, yang bisa ditaati para pengikutnya yang setia.” Begitu pengantarnya pada bab Hasan Al-Bana, Sebuah Kepribadian (Grafiti Press, 1982:35).

Ishak menganalisis kinerja Al-Bana dalam bandingan dengan gurunya, dalam pesan kuat: Al-Bana dengan program tertulis yang jelas. Dari tulisan-tulisan Al-Bana pikiran (dan gerakannya) ‘diwarisi’ generasi berikut. Pernah membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang?

Kartini, bersurat-suratan dengan teman-teman Eropanya yang dibukukan J.H. Abendanon. Kalau tidak ditulis bagaimana kita dapat mengetahui pemikirannya? Tulisan warisan yang tidak akan hilang. Sampai-sampai ada penulis yang menulis: kalau ingin berumur panjang menulislah, sebab tulisan itu bisa berumur ribuan tahun. Nah, lho.

Kalau mau yang lebih mendalam, coba renungkan, pastilah pernah membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang oleh Rasulullah diperintahkan untuk ditulis, dipelajari ratusan juta manusia. Warisan akbar tanpa tandingan tersebut memacu dan memicu jutaan tulisan. Beragam tafsir atau kajian ditulis bersandar Al-Qur’an.

Kalau dikaji inti maknanya, Al-Qur’an adalah kitab (ilmu) paling lengkap. Bermuatan, dari proses pembuahan manusia di rahim Ibu sampai tata cara memandikan mayat, dari pelajaran turunnya hujan sampai terbelahnya matahari-bumi, dari seperti apa air yang bersih sampai bagaimana alam harus diperlakukan.

Rene Descartes atau Immanuel Kant digerogoti penyakit, Einstein dianggap ”idiot” sampai Hawking yang gimana gitu, faktanya pengembangan ilmu dan teknologi terpacu dari pikiran, dari ide mereka, dan mewariskan dalam bentuk tulisan. Alangkah naifnya, manakala hanya membaca pemikiran para pemikir, hanya mengunyah-ngunyah dan mendongengkan di ruang kuliah, pada gelegar seminar, arena diskusi, atau dalam perdebatan.

Memuji atau mencari ide (pikiran) mereka, paham dimana kuatnya dimana lemahnya, apakah yang sedemikian disebut pakar? Lalu, ide Sampeyan apa? Tulisan Sampeyan sebagai penanda berpikir, sebagai manusia yang mempunyai ide mana?

Saya pernah memotivasi seorang teman blog dan FB dengan sangat menantang. Harap maklum, bahasa motivasi saya sangat keras. ”Sungguh sayang sangat disayangkan”, tulis saya. “Bila Sampeyan marah, mencaci atau memaki narsisme, silakan. Kita sama-sama menggunakan waktu memelihara blog, memelihara FB. Sama-sama mengeluarkan dana, sama-sama menggunakan waktu, sama-sama menguras energi. Salahkah jika menggunakan, memanfatakan Blog dan FB untuk sarana menulis dalam arti parkir sementara untuk dijadikan buku? ”

Ya, saya mempunyai ide untuk memanas-manasinya agar menulis. Yang penting punya ide, dan dinyatakan dalam bentuk tulisan. Ide yang bukan didapat dalam sekejap, misalnya ide ‘Menulis Mudah.’ Hmm, diimplementasikan, dipraktikkan, hasilnya puluhan buku.
Saya ingin berbagi, buat siapa yang mau. Ada yang berpendapat, menurut teori anu begitu,menurut guru begitu, menurut Pak Guru begana, ya silakan. Ide saya sedemikian. Kalau dianggap baik silakan. Kalau dianggap tidak ada gunanya, jangan dibaca. Ringkas, bukan?

Mari menulis, menuliskan ide yang nantinya akan menjadi warisan berharga.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.9): Mewariskan Ide"

Post a Comment