Ersis Warmansyah Abbas
LINGKUP kehidupan saya hanya level lokal di Kalimantan Selatan. Coba ketik kata Ersis Warmansyah Abbas, Paman Google mencatat puluhan ribu. Hebat juga. Saya tidak tahu. Erwin D. Nugroho, Bos JPNN, yang menyuruh mengetik semisal: ‘Teori Menulis’, nah ‘Menulis Tanpa Berguru’ peringkat atas. Dan, banyak lagi. Oh begitu kiranya. Saya tergolong gaptek.
Lagi pula, hal-hal sedemikian, jangankan dibanggakan, paham saja
tidak. Tetapi, satu hal, ternyata dengan menulis melempangkan jalan
untuk berkawan. Kalau makan di restoran, sudah bukan hal baru: “Pak
sudah dibayar. Bapak yang berbaju dinas yang membayarkan.” Aneh saja,
kenal saja tidak kok mentraktir. Tetapi, begitulah nasib penulis.
Memberi kemudahan banyak hal. Menyenangkan.
Bagi yang berpikir negatif: “Nyata saja, kalau tidak dibayarkan,
nanti Anda tulis kejelekkannya.” Ya, Allah SWT menciptakan Malaikat,
juga Iblis. Iblis yang memandang sesuatu negatif, berniat jelek, agar
semua masuk neraka.
Hmm, bukan sombong, dari walikota sampai Gubernur, bercanda dengan
mereka hal biasa saja. Contoh SMS Gubernur: “Sis, Aku lapar. Kita
makanan di Cendrawasih. Sudah dimana?” Seaslinya disalin. Erwin pernah
menulis: Ersis menulis apa adanya. Pengalaman pribadi dengan orang lain
sekalipun. Padahal, belum tentu orang itu suka ditulis.
Entahlah. Saya bukan ‘orang baik’. Setelah dipikir-pikir, kritikan
Bambang Subiyakto benar adanya. Saya bicara suka-suka saja. Mau marah
kek, mau cemberut, sebodo. Masyak harus menyenang-nyenangkan. Mengoreksi
diri setelah mengikuti ESQ Training. Ary Ginanjar menekankan:
Kecerdasan sosial.
Sudahlah. Kalau dipikir-pikir, lalu kenapa pejabat sampai penguasa
mau berteman? Bicara tidak bagus, body language apa lagi. Kalau kesal ya
kesal saja, ngak suka, bilang tidak suka. Saya jarang memuji. Tetapi,
kalau memuji, memang pantas dipuji. Jangankan mereka, dengan Dekan FKIP
atau Rektor Unlam, atasan saya, kalau tidak setuju bilang saja tidak
setuju. Mau berdua, saat rapat, atau pada acara resmi, sama saja. Kalau
tidak disukai? Urusan mereka.
Dalam kaitan menulis, jangan-jangan ‘apa adanya’ itu yang menjadikan
bersahabat dengan banyak orang. Sementara, dengan yang sukanya hanya
dipuji saja, sudah terseleksi secara alamiah. Jadi, kalau mendapat teman
memang yang pantas dijadikan sahabat.
Mbuh. Saya belum menganalisisnya secara radiks. Yang pasti, menulis
sampai sejauh ini membuahkan kenyamanan dalam arti persahabatan.
Alhamdulillah.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (6.4): Menulis Berkawan Nyaman"
Post a Comment