Saturday 17 December 2016

Menulis (6.4): Menulis Berkawan Nyaman

Ersis Warmansyah Abbas
LINGKUP kehidupan saya hanya level lokal di Kalimantan Selatan. Coba ketik kata Ersis Warmansyah Abbas, Paman Google mencatat puluhan ribu. Hebat juga. Saya tidak tahu. Erwin D. Nugroho, Bos JPNN, yang menyuruh mengetik semisal: ‘Teori Menulis’, nah ‘Menulis Tanpa Berguru’ peringkat atas. Dan, banyak lagi. Oh begitu kiranya. Saya tergolong gaptek.
Lagi pula, hal-hal sedemikian, jangankan dibanggakan, paham saja tidak. Tetapi, satu hal, ternyata dengan menulis melempangkan jalan untuk berkawan. Kalau makan di restoran, sudah bukan hal baru: “Pak sudah dibayar. Bapak yang berbaju dinas yang membayarkan.” Aneh saja, kenal saja tidak kok mentraktir. Tetapi, begitulah nasib penulis. Memberi kemudahan banyak hal. Menyenangkan.

Bagi yang berpikir negatif: “Nyata saja, kalau tidak dibayarkan, nanti Anda tulis kejelekkannya.” Ya, Allah SWT menciptakan Malaikat, juga Iblis. Iblis yang memandang sesuatu negatif, berniat jelek, agar semua masuk neraka.

Hmm, bukan sombong, dari walikota sampai Gubernur, bercanda dengan mereka hal biasa saja. Contoh SMS Gubernur: “Sis, Aku lapar. Kita makanan di Cendrawasih. Sudah dimana?” Seaslinya disalin. Erwin pernah menulis: Ersis menulis apa adanya. Pengalaman pribadi dengan orang lain sekalipun. Padahal, belum tentu orang itu suka ditulis.

Entahlah. Saya bukan ‘orang baik’. Setelah dipikir-pikir, kritikan Bambang Subiyakto benar adanya. Saya bicara suka-suka saja. Mau marah kek, mau cemberut, sebodo. Masyak harus menyenang-nyenangkan. Mengoreksi diri setelah mengikuti ESQ Training. Ary Ginanjar menekankan: Kecerdasan sosial.

Sudahlah. Kalau dipikir-pikir, lalu kenapa pejabat sampai penguasa mau berteman? Bicara tidak bagus, body language apa lagi. Kalau kesal ya kesal saja, ngak suka, bilang tidak suka. Saya jarang memuji. Tetapi, kalau memuji, memang pantas dipuji. Jangankan mereka, dengan Dekan FKIP atau Rektor Unlam, atasan saya, kalau tidak setuju bilang saja tidak setuju. Mau berdua, saat rapat, atau pada acara resmi, sama saja. Kalau tidak disukai? Urusan mereka.

Dalam kaitan menulis, jangan-jangan ‘apa adanya’ itu yang menjadikan bersahabat dengan banyak orang. Sementara, dengan yang sukanya hanya dipuji saja, sudah terseleksi secara alamiah. Jadi, kalau mendapat teman memang yang pantas dijadikan sahabat.
 
Mbuh. Saya belum menganalisisnya secara radiks. Yang pasti, menulis sampai sejauh ini membuahkan kenyamanan dalam arti persahabatan. Alhamdulillah.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (6.4): Menulis Berkawan Nyaman"

Post a Comment