Thursday 15 December 2016

Menulis (5.6): Menulis Membuang Catatan

Ersis Warmansyah Abbas

SEORANG trainee Bandjarbaroe Post, media cetak milik saya, memperlihatkan catatan ringkasan wawancara dengan bersemangat. Dicuekin saja. Kalau laporan sudah ditulis, baru didiskusikan. Segera terlihat, mana yang pantas dimuat, ya dimuat, pantas di tong sampah, ya ditongsampahkan. Yang perlu ditulis ulang, ditulis ulang. Catatan?

Ahai, simpan sebagai catatan. Ada yang disuruh buang, catatan sekadar pengingat. Catatan memuat mana yang pokok, yang penting. Membaca atau mendengar berarti mengoperasikan otak, mencatat sami mawon. Lalu, disimpan di otak. Bukan pada catatan.

Yap, membaca catatan memudahkan mengingat keseluruhan. Membaca catatan berarti mengkonstruksi totalitas. Hasil bacaan berupa konstruksi tulisan di otak. Menulis, menuangkannya, menjadikan tulisan melalui proses panjang di otak, sekalipun durasinya beberapa menit saja. Fungsi mencatat, meringkas keseluruhan, dan kemudian untuk mengkonstruksi keseluruhan yang baru. 

Saya, lebih 30 tahun mendosen. Mungkin sudah ribuan mahasiswa mengikuti kuliah saya. Tidak terhitung sebagai pemakalah seminar, nara sumber berbagai diklat. Kalau Sampeyan pernah melihat saya membawa pulpen, sungguh sangat istimewa. Mana bertahun-tahun menjadi pewarta. Bagaimana mau mencatat, kalau pulpen saja tidak punya.

Ketika kecil, Bapak saya menyuruh mencatat di otak. Sejak itu melatih diri tidak mencatat. Pada akhirnya toh dicatat di otak, disimpan memori. Sampai, akhirnya ketika mewawancarai Gubernur atau Menteri, tidak pernah mencatat. Alhamdulillah, tidak pernah ditegur karena salah kutip.

Kalau kuliah dengan saya, mahasiswa dianjurkan tidak mencatat. Tentu, bertentangan dengan banyak orang. Dalam sharing ditambah syarat: Tidak boleh melihat kamus, ensiklopedi, buku atau apa begitu, apalagi mencatat. Apa maknanya? Melatih diri memanfaatkan otak yang kapasitasnya tidak terbatas. Kalau tulisan menjadi, mari cek dengan catatan, kamus, atau apa. Kalau menulis sembari mencari sesuatu di buku, tulisan cenderung tidak menjadi.

EWT bermuatan memanfaatkan dan melejitkan potensi diri. Kalau otak mampu dilatih mengingat, memproses, atau memproduksi sesuatu, kenapa tangan yang dilatih? Mula-mula bisa jadi susah, tetapi karena dilakukan, menjadi biasa. Ah, tidak cocok dengan ajaran guru saya, Pak. Kalau begitu, jangan dipaksakan. EWT satu cara dari sekian cara. Bebas memilih.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.6): Menulis Membuang Catatan"

Post a Comment