Maria Roeslie
Penulis dan wirausaha
DI sebuah hutan yang sangat lebat yang dihuni binatang-binatang buas,
terdapat sebuah gubuk tua dengan kondisi sangat memprihatinkan. Di
gubuk tersebut tinggal seorang nenek dengan rambut memutih …
Kalimat tersebut sungguh melengket di memori saya. Kalimat yang selalu diulang oleh guru bahasa Indonesia dalam pembelajaran mengarang. Kalimat tersebut seolah-olah menjadi mantra dalam hal karang-mengarang sejak dari sekolah dasar (SD), SMTP, SMA, sampai saya kuliah. Pedoman yang tidak lekang karena panas tidak luntur karena hujan manakala memulai menulis. Celakanya, dalam mengarang, sudah bisa ditebak, aktivitas menulis terhenti karena apa yang dikhayalkan, baik secara dramatis atau didramatisir, karena bahannya tidak mencukupi. Entah karena saya tidak mampu mencerna pelajaran yang diberikan guru atau bagaimana, saya tidak mengerti. Seiring dengan perkembangan teknologi modern pada umumnya, teknologi digital khususnya, serta didukung kesenangan saya membaca, menjadikan saya kembali terpicu dan terpacu untuk (belajar) menulis.
Kalimat tersebut sungguh melengket di memori saya. Kalimat yang selalu diulang oleh guru bahasa Indonesia dalam pembelajaran mengarang. Kalimat tersebut seolah-olah menjadi mantra dalam hal karang-mengarang sejak dari sekolah dasar (SD), SMTP, SMA, sampai saya kuliah. Pedoman yang tidak lekang karena panas tidak luntur karena hujan manakala memulai menulis. Celakanya, dalam mengarang, sudah bisa ditebak, aktivitas menulis terhenti karena apa yang dikhayalkan, baik secara dramatis atau didramatisir, karena bahannya tidak mencukupi. Entah karena saya tidak mampu mencerna pelajaran yang diberikan guru atau bagaimana, saya tidak mengerti. Seiring dengan perkembangan teknologi modern pada umumnya, teknologi digital khususnya, serta didukung kesenangan saya membaca, menjadikan saya kembali terpicu dan terpacu untuk (belajar) menulis.
Ya, saya belajar menulis kembali ketika telah menjadi ibu dari tiga
orang anak. Tidak mudah tentunya membagi waktu sebagai wanita yang
bekerja sekaligus ibu rumah tangga untuk belajar menulis. Saya tidak
mempersoalkan atau menjadikan sebagai alasan untuk tidak belajar
menulis. Pekerjaan tetap dilakoni, mengurus anak dan keluarga tentu
tidak diabaikan, dan karena itulah saya browsing, terutama mencari tahu
bagaimana cara menulis yang baik, bagaimana cara memulai kalimat suatu
tulisan agar menulisnya lancar, bagaimana mencari referensi untuk
menambah lengkap tulisan. Ya, mencari jawaban atas bagaimana, bagaimana,
dan bagaimananya menjadi prioritas.
Ya, internet dan buku-buku, terutama karya para penulis hebat menjadi
target. Saya membaca dengan mempelajari kiat-kiat menulis dari yang
mereka terapkan.
Selanjutnya melatih diri dengan menuliskan sesuatu. Misalnya,
menceritakan kembali kisah lama yang saya alami ataupun menceritakan
kisah yang diceritakan oleh teman-teman ataupun keluarga dalam bentuk
lisan ke bentuk tulisan. Walau singkat dan penuh pengulangan dan koreksi
pada awalnya, tidak menyurutkan semangat saya untuk semakin merasa
percaya diri untuk terus belajar menulis sampai saat ini.
Begitulah cara membelajarkan diri dalam menulis yang saya lakukan,
dengan menuliskan apa yang ada di memori. Ternyata, jurus tersebut
mujarab. Buktinya lumayan banyak tulisan yang saya hasilkan.
Memang secara kuantitatif, tulisan-tulisan saya kalah jauh dari
penulis produktif, tetapi kiranya tidak terlalu mengecewakan.
Tulisan-tulisan saya telah diterbitkan dalam bentuk buku, dan di-posting
di media sosial, tulisan koleksi pribadi atau pun yang masih berupa
draft tulisan setengah ilmiah yang selesainya entah kapan. Yang penting
menulisnya. Mudah-mudahan nanti dapat diperbaiki untuk dijadikan buku.
Apa pun itu, dari membelajarkan diri menulis, dan atau, sekalipun
belum banyak menghasilkan tulisan, hal paling penting membangun semangat
menulis. Ya, menulis dengan memberikan waktu luang untuk menulis,
bersengaja meluangkan waktu untuk menulis. Menulis, menulis, dan terus
menulis.
Pada praktiknya, agar tidak beralasan karena keterbatasan waktu,
ketika waktu menunggu, entah menunggu jam keberangkatan pesawat di
bandara, menunggu waktu makan malam bersama keluarga, menunggu mata
mengantuk untuk tidur malam atau jika ada hari-hari libur, ya menulis.
Untungnya, pada era teknologi ini, kita terbantu teknologi sehingga
dalam membelajarkan diri menulis tidak susah-susah amat. Begitu ada ide,
langsung ditulis atau setidaknya dicatat di handphone dalam bentuk
memopad yang manakala ada waktu yang tepat, ditulis kembali dengan
melengkapi informasi pendukungnya sehingga tulisan menjadi bermakna.
Kalau demikian adanya, lakuan menulis sebenarnya hanyalah memindahkan
ide yang telah ”dimatangkan” ke komputer.
Semakin sering saya belajar menulis dengan mempraktikan menulis, saya
semakin yakin, terlalu banyak yang belum diketahui. Hal tersebut
semakin memacu untuk terus mempelajari hal-ikhwal menulis, baik dari
sisi menulis itu sendiri maupun dari sisi-sisi yang lain yang muncul
dari apa yang saya tulis.
Harapan penulis tentu membukukan karyanya agar bermanfaat bagi orang
lain dan dapat menyenangkan orang lain dengan berbagi, turut
melestarikan dan mengembangkan dunia sastra daerah serta nasional
(mungkin juga dunia internasional) serta sebagai catatan yang mungkin
dapat melukiskan sebagian dari sastra tulisan di zaman itu.
Ya, dengan terus membelajarkan diri menulis, tidak dapat tidak, kita
merasakan berbagai manfaat. Kita mendapat teman baru, baik di dunia
sastra maupun di luar dunia sastra, dan ketika tulisan menjadi, apalagi
dibukukan dan dibaca banyak orang, duh senangnya. Apalagi, kalau tulisan
direspon pembaca. Ya, tulisan-tulisan yang memacu dan memicu semangat
menulis, tentulah tulisan yang telah menjadi. Maka, menulislah sampai
selesai.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah manfaatnya yang menambah
kedewasaan untuk lebih bersikap bijaksana dalam berpikir dan
berkata-kata (menulis). Itulah manfaat menulis dalam membangun diri.
Untuk itu, mari terus belajar menulis agar manakala kita sudah tidak
ada, orang-orang dapat merasakan manfaat dari tulisan-tulisan kita.
Amin.
Salam menulis.
0 Comment to "Menulis (2.2): Membangun Semangat Menulis"
Post a Comment