Sunday 18 December 2016

Menulis (2.2): Membangun Semangat Menulis

Maria Roeslie
Penulis dan wirausaha

DI sebuah hutan yang sangat lebat yang dihuni binatang-binatang buas, terdapat sebuah gubuk tua dengan kondisi sangat memprihatinkan. Di gubuk tersebut tinggal seorang nenek dengan rambut memutih …

Kalimat tersebut sungguh melengket di memori saya. Kalimat yang selalu diulang oleh guru bahasa Indonesia dalam pembelajaran mengarang. Kalimat tersebut seolah-olah menjadi mantra dalam hal karang-mengarang sejak dari sekolah dasar (SD), SMTP, SMA, sampai saya kuliah. Pedoman yang tidak lekang karena panas tidak luntur karena hujan manakala memulai menulis.  Celakanya, dalam mengarang, sudah bisa ditebak, aktivitas menulis terhenti karena apa yang dikhayalkan, baik secara dramatis atau didramatisir, karena bahannya tidak mencukupi. Entah karena saya tidak mampu mencerna pelajaran yang diberikan guru atau bagaimana, saya tidak mengerti.  Seiring dengan perkembangan teknologi modern pada umumnya, teknologi digital khususnya, serta didukung kesenangan saya membaca, menjadikan saya kembali terpicu dan terpacu untuk (belajar) menulis.

Ya, saya belajar menulis kembali ketika telah menjadi ibu dari tiga orang anak. Tidak mudah tentunya membagi waktu sebagai wanita yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga untuk belajar menulis. Saya tidak mempersoalkan atau menjadikan sebagai alasan untuk tidak belajar menulis. Pekerjaan tetap dilakoni, mengurus anak dan keluarga tentu tidak diabaikan, dan karena itulah saya browsing, terutama mencari tahu bagaimana cara menulis yang baik, bagaimana cara memulai kalimat suatu tulisan agar menulisnya lancar, bagaimana mencari referensi untuk menambah lengkap tulisan. Ya, mencari jawaban atas bagaimana, bagaimana, dan bagaimananya menjadi prioritas.


Ya, internet dan buku-buku, terutama karya para penulis hebat menjadi target. Saya membaca dengan mempelajari kiat-kiat menulis dari yang mereka terapkan.
 
Selanjutnya melatih diri dengan menuliskan sesuatu. Misalnya, menceritakan kembali kisah lama yang saya alami ataupun menceritakan kisah yang diceritakan oleh teman-teman ataupun keluarga dalam bentuk lisan ke bentuk tulisan. Walau singkat dan penuh pengulangan dan koreksi pada awalnya, tidak menyurutkan semangat saya untuk semakin merasa percaya diri untuk terus belajar menulis sampai saat ini.

Begitulah cara membelajarkan diri dalam menulis yang saya lakukan, dengan menuliskan apa yang ada di memori. Ternyata, jurus tersebut mujarab. Buktinya lumayan banyak tulisan yang saya hasilkan.

Memang secara kuantitatif, tulisan-tulisan saya kalah jauh dari penulis produktif, tetapi kiranya tidak terlalu mengecewakan. Tulisan-tulisan saya telah diterbitkan dalam bentuk buku, dan di-posting di media sosial, tulisan koleksi pribadi atau pun yang masih berupa draft tulisan setengah ilmiah yang selesainya entah kapan. Yang penting menulisnya. Mudah-mudahan nanti dapat diperbaiki untuk dijadikan buku.

Apa pun itu, dari membelajarkan diri menulis, dan atau, sekalipun belum banyak menghasilkan tulisan, hal paling penting membangun semangat menulis. Ya, menulis dengan memberikan waktu luang untuk menulis, bersengaja meluangkan waktu untuk menulis. Menulis, menulis, dan terus menulis.

Pada praktiknya, agar tidak beralasan karena keterbatasan waktu, ketika waktu menunggu, entah menunggu jam keberangkatan pesawat di bandara, menunggu waktu makan malam bersama keluarga, menunggu mata mengantuk untuk tidur malam atau jika ada hari-hari libur, ya menulis.

Untungnya, pada era teknologi ini, kita terbantu teknologi sehingga dalam membelajarkan diri menulis tidak susah-susah amat. Begitu ada ide, langsung ditulis atau setidaknya dicatat di handphone dalam bentuk memopad yang manakala ada waktu yang tepat, ditulis kembali dengan melengkapi informasi pendukungnya sehingga tulisan menjadi bermakna. Kalau demikian adanya, lakuan menulis sebenarnya hanyalah memindahkan ide yang telah ”dimatangkan” ke komputer.

Semakin sering saya belajar menulis dengan mempraktikan menulis, saya semakin yakin, terlalu banyak yang belum diketahui. Hal tersebut semakin memacu untuk terus mempelajari hal-ikhwal menulis, baik dari sisi menulis itu sendiri maupun dari sisi-sisi yang lain yang muncul dari apa yang saya tulis.

Harapan penulis tentu membukukan karyanya agar bermanfaat bagi orang lain dan dapat menyenangkan orang lain dengan berbagi, turut melestarikan dan mengembangkan dunia sastra daerah serta nasional (mungkin juga dunia internasional) serta sebagai catatan yang mungkin dapat melukiskan sebagian dari sastra tulisan di zaman itu.

Ya, dengan terus membelajarkan diri menulis, tidak dapat tidak, kita merasakan berbagai manfaat. Kita mendapat teman baru, baik di dunia sastra maupun di luar dunia sastra, dan ketika tulisan menjadi, apalagi dibukukan dan dibaca banyak orang, duh senangnya. Apalagi, kalau tulisan direspon pembaca. Ya, tulisan-tulisan yang memacu dan memicu semangat menulis, tentulah tulisan yang telah menjadi. Maka, menulislah sampai selesai.
 
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah manfaatnya yang menambah kedewasaan untuk lebih bersikap bijaksana dalam berpikir dan berkata-kata (menulis). Itulah manfaat menulis dalam membangun diri.

Untuk itu, mari terus belajar menulis agar manakala kita sudah tidak ada, orang-orang dapat merasakan manfaat dari tulisan-tulisan kita. Amin.

Salam menulis.

Share this

0 Comment to "Menulis (2.2): Membangun Semangat Menulis"

Post a Comment