Wajidi
Balitbangda Pemprov Kalimantan Selatan
Balitbangda Pemprov Kalimantan Selatan
DI banyak negara, dosen yang tidak menulis buku dianggap tidak pantas
untuk mengajar. Karena itu, ada ungkapan: Publish or Perish! Terbitkan
atau Minggirlah! Penjudulan tulisan ini untuk menegaskan buku menjadi
tolok ukur kepatutan seorang dosen untuk mengajar.
Pemakaian ungkapan tersebut bukan untuk menyudutkan para akademisi kita,
tetapi untuk mengingatkan kita, bahwa seharusnya kita lebih banyak
menulis buku. Apapun alasannya, negara-negara maju menghasilkan banyak
publikasi buku dan jurnal ilmiah sementara kita masih berkutat dengan
budaya lisan.
Seorang peneliti, akademisi, apalagi seorang ilmuwan sangat disayangkan
jika ilmunya hanya di simpan di otak, atau hanya pandai berbicara dan
enggan menuliskannya. Padahal, wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW,
yakni Surah al-‘Alaq, ada perintah kepada manusia agar “membaca (iqra)”
dan “menulis (kalam)”.
Artinya, manusia harus banyak membaca, dan membaca langkah awal
menjadi penulis. Dengan membaca, akan banyak ilmu yang diperoleh. Ilmu
yang disampaikan secara lisan tanpa ditulis akan mudah dilupakan. Sajak
Kalil Gibran: “Lupakan segala yang telah kita katakan. Omongan hanyalah
debu di udara.”
Jika ilmu ditulis menjadi buku, maka banyak orang lain yang dapat
mengambil manfaatnya. Menurut Ali bin Abi Thalib: Ikatlah ilmu dengan
menuliskannya. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Datu Kelampayan) pada
abad ke-XVII telah memberikan contoh dengan menulis belasan buku
sehingga nama dan pemikiran beliau abadi dan menjadi ladang amal jariyah
yang terus mengalir.
Lalu bagaimana dengan penulis yang bukan akademisi, peneliti, atau
ilmuwan? Pada prinsipnya sama saja. Ada ungkapan: Buku adalah mahkota
bagi penulis. Apa pun profesi seseorang, jika dia menulis dan
menerbitkannya menjadi buku, maka bukunya itu mempunyai nilai yang lebih
tinggi dibanding tulisannya yang terbit di surat kabar, majalah,
webblog. Menulis buku itu “sesuatu”.
Buku dapat dimiliki oleh masyarakat dari berbagai kalangan, lebih
abadi karena dapat dijadikan bacaan dan rujukan. Buku yang berbobot
memiliki berbagai kelebihan dibanding jurnal ilmiah yang penggunanya
relatif terbatas apalagi jika dibanding dengan artikel yang terbit di
surat kabar yang apabila selesai dibaca suratkabarnya dikilokan. Oleh
karena itu, buku menempati tempat teratas atau dianalogikan sebagai
mahkota bagi penulis.
Terlebih lagi, bagi seorang peneliti, karya tulis berupa buku adalah
“pembeda” antar peneliti: All scientists are the same until one of them
writes a book”. Ya, jika seorang peneliti telah menghasilkan banyak buku
maka kedudukan, reputasi, dan keilmuannya pantas diakui sehingga
membuatnya berbeda dari peneliti-peneliti lain yang (mungkin) hanya
mengandalkan jurnal ilmiah.
Alhamdulillah sebagai seorang penulis dengan jabatan fungsional
peneliti madya saya telah mempublikasikan tulisan di jurnal ilmiah,
majalah, buletin, surat kabar, dan menghasilkan 15 buah buku atau bagian
dari buku baik sebagai penulis tunggal maupun tim.
Sebagai penulis, saya memenangkan 7 (tujuh) kali lomba penulisan artikel
tingkat nasional dan lokal. Saya mempunyai weblog untuk memuat tulisan
saya di dunia maya dengan nama: bubuhanbanjar.wordpress.com.
Benefit apa yang diperoleh dari menulis? Dibanding keuntungan
finansial saya lebih merasakan kepuasan batin; tulisan saya dibaca,
dijadikan rujukan, dan atau, saya menjadi nara sumber. Ada kepuasan buku
saya menjadi koleksi The Library of Congress di Washington DC, di Ohio
University Libraries, di Belanda, Jepang, Australia, dan di beberapa
perpustakaan dan pada perseorangan. Insya Allah, menjadi ladang amal
yang akan terus mengalir.
Seorang keponakan yang berkeinginan menulis bertanya: Bagaimana awal
mulanya sehingga kemudian saya menjadi penulis buku? Saya jawab: “Saya
tidak belajar jurnalistik, dan tidak pernah mengikuti pelatihan menulis.
Saya menulis bermodalkan ketekunan menulis, dan belajar secara
autodidak. Satu-satunya ilmu yang saya miliki saat pertama kali menulis
adalah: ilmu kepepet.” Dia merespon jawaban saya dengan tertawa.
Pada 1989, pertama kalinya saya menulis artikel di surat kabar
Dinamika Berita dan Banjarmasin Post. Honornya Rp 4.500 dari Dinamika
Berita dan Rp 5.000 dari Banjarmasin Post. Jangan dibayangkan bahwa
nilai ekstrinsik honor dari kedua surat kabar pada saat itu tinggi.
Tidak seberapa jika dibanding honor menulis di surat kabar di Jawa yang
kala itu mungkin mencapai Rp 25.000. Apalagi bila dibandingkan dengan
honor HU Kompas. Walau tidak seberapa, saya sangat gembira. Harap
maklum, sangat membantu uang bulanan.
Ya, karena kepepet secara ekonomi, saya sering menulis dan mengikuti
perlombaan menulis. Kalau ditolak redaksi surat kabar atau kalah dalam
lomba menulis, saya mengambil hikmahnya agar lebih tekun mengasah
kemampuan menulis. Seorang penulis harus mengasah kemampuannya dengan
berbagai publikasi. Misalnya, menulis opini di surat kabar untuk
menuangkan pergulatan pemikiran atas masalah, isu atau topik yang
berkembang di masyarakat. Artikel yang terbit di surat kabar bisa
dikumpulkan utuk diterbitkan menjadi buku. Cara inilah yang pernah saya
lakukan.
Sama halnya menulis secara umum, menulis buku juga (lebih)
membutuhkan ketekunan. Untuk lancar menulis, ketekunan lebih utama
dibanding kepintaran. Perhatikan, banyak profesor, doktor, dan master
yang kikuk menulis. Suka membaca dan mencari sumber rujukan adalah
langkah awal menjadi seorang penulis. Seorang penulis adalah pembaca.
Pembaca dalam arti luas; membaca fenomena sosial di masyarakat dan
mengangkatnya menjadi tulisan. Atau lebih mudahnya pembaca buku dan
kemudian memasukkan, merangkum, atau meramunya ke dalam tulisan.
Untuk menulis harus ada motivasi. Penulis mempunyai motivasi yang
berbeda. Kenali diri dan pelajari manfaat menulis. Motivasi menulis buku
bagi seorang peneliti atau dosen adalah sebagai bahan penilaian angka
kredit untuk jabatan fungsional. Semakin banyak karya tulis, maka
jabatan fungsional akan lebih cepat naik. Bagi penulis lepas, motivasi
menulis mungkin untuk menyalurkan hobi dan mendapatkan uang. Sah-sah
saja, apalagi banyak penulis yang mendapat uang banyak karena bukunya
menjadi best seller.
Saya pernah mengungkapkan gambaran penulis buku di Kalsel dengan
ungkapan: “penulis buku adalah juga pejuang gerilya.” Saya menyatakan
demikian, bukan karena saya pernah menulis buku berjudul: “Kesetiaan
Kepada Republik” yang mendeskripsikan pahit getirnya para pejuang
gerilya pimpinan Hassan Basry memperjuangkan Kalimantan Selatan untuk
tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia padahal
melalui Persetujuan Linggarjati pulau Kalimantan menjadi bagian
kekuasaan Belanda.
Saya menyadari bahwa tidak patut mempersamakan pahit getirnya
“perjuangan gerilya” dengan “perjuangan gerilya” menulis dan menerbitkan
buku. Jauh sekali perbedaannya dan tentu sangat berat tantangan yang
dihadapi pejuang gerilya. Saya hanya ingin menganalogikan bahwa untuk
menghasilkan buku maka penulis (pemula) harus bergerilya menulis,
bergerilya mencari dana, bergerilya menerbitkannya, dan bergerilya pula
memasarkannya. Dan, itulah yang saya rasakan dan juga dirasakan oleh
teman-teman penulis buku lainnya.
Kalau penulis adalah pejuang gerilya, lalu apa musuhnya? Malas dan
kemalasan. Saya pun merasakannya. Walau pun sudah menulis berbagai buku,
saya masih penulis musiman. Terkadang malas menulis, dan terkadang
menggebu-gebu. Menulis pun belum dengan sepenuh cinta.
Musuh ini harus dilawan dengan ketekunan. Pintar atau cerdas saja
tidak cukup untuk menulis. Kemampuan menulis harus terus diasah dengan
ketekunan. Tulis, tulis, dan teruslah menulis. Begitu tulis Ersis
Warmansyah Abbas, dosen, motivator penulisan, penulis puluhan buku, dan
ratusan tulisan di media cetak. Tulislah apa yang anda pikirkan, jangan
memikirkan apa yang akan anda tulis!
Saat awal bekerja di Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan. Saya
dilibatkan dalam penelitian dan penulisan buku Sejarah Banjar (2003) dan
buku Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005) dalam tim yang dibentuk oleh
Lembaga Budaya Banjar. Keterlibatan dalam penulisan dan penerbitan
kedua buku itu merupakan momen awal saya belajar menulis dan menerbitkan
buku.
Pada tahun 2007 melalui Pustaka Banua saya menerbitkan buku
Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik dan Nasionalisme Indonesia
Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942. Untuk menyelesaikan buku
tersebut saya betul-betul bergerilya. Gerilya pertama adalah saat
menyusun buku proklamasi selama lima tahun, dan tiga tahun menyelesaikan
buku nasionalisme sampai ke purna cetaknya. Draft lengkap selesai
disusun, saya kembali bergerilya mencari pendanaan untuk menerbitkan
buku tersebut. Sejumlah proposal dikirim ke pemerintah provinsi, dan
perusahaan pertambangan. Ada pihak yang membantu, dan ada yang menolak
atau tidak memberikan respon sama sekali. Terbit buku, kembali
bergerilya memasarkan sebagian buku itu ke sejumlah toko buku di
Banjarmasin, di samping mendistribusikannya gratis kepada pihak-pihak
yang membutuhkan.
Pada tahun 2008 saya menerbitkan buku melalui Debut Press, dan tahun
2012 melalui Pustaka Book Publisher, keduanya penerbit di Yogyakarta.
Tidak semua buku yang saya tulis mengacu kepada tata tulis ilmiah ketat,
saya juga menulis buku berkategori ringan.
Saya terinspirasi dari beberapa penulis, bahwa menulis buku tidak selalu
harus tema yang berat-berat. Kalau terlalu ilmiah atau berat harus
memerlukan banyak tenaga dan waktu sehingga kapan selesainya?
Mungkin pembaca ada yang bertanya tentang cara menerbitkannya. Apakah
dengan sistem royalti, jual putus, atau bagaimana? Saya belum pernah
menerbitkan buku dengan sistem royalti. Semuanya dengan dana sendiri.
Caranya dengan meminjam nama penerbit yang mencetak dan menerbitkan buku
saya.
Pertama kalinya pada tahun 2007 saya menggunakan penerbit di
Banjarmasin, dan seterusnya penerbit di Yogyakarta. Harga cetak penerbit
di Jawa lebih murah dan kualitasnya bagus. Prosesnya tidak sulit. Kita
mengirim draft naskah buku melalui pos elektronik ke alamat e-mail untuk
kemudian di-lay-out. Nomor dan barcode ISBN diurus penerbit. Melalui
e-mail pula kita bisa melihat hasil lay-out sampul dan isi buku, dan
memberikan koreksi yang diperlukan. Biaya cetak biasanya dibayar
sebagian di muka, dan dibayar lunas melalui transper ATM saat buku sudah
diterima.
Berapa biaya yang diperlukan untuk mencetak sejumlah buku? Ada
penerbit yang menggunakan batas minimal misalnya bisa dicetak jika
memesan 500 atau 1000 eksemplar. Ada pula penerbit yang tidak membatasi,
misalnya 10 eksemplar pun bisa dicetak namun harga per eksemplarnya
mahal. Pada prinsipnya, semakin banyak yang dicetak semakin murah harga
per eksemplarnya.
Ada dua pola negosiasi harga dengan penerbit, yakni dengan menanyakan
berapa harga cetak untuk jumlah cetakan yang kita inginkan atau, punya
uang, misalnya Rp 3 juta, tanyakan dengan uang tersebut berapa eksemplar
yang dapat diterbitkan.
Di benak saya, kepiawaian menerbitkan buku sangatlah diperlukan. Mungkin
sudah berjibun buku tentang bagaimana menulis dan memotivasi penulis,
dan hanya sedikit yang memuat tentang tata cara menerbitkan buku;
mencari dana, berurusan dengan penerbit, dan memasarkan buku.
Menerbitkan buku berbeda dengan menerbitkan artikel di surat kabar,
majalah, atau jurnal ilmiah.
Jika sistem royalti dari penerbit tidak didapatkan, mau tidak mau
penulis harus bergerilya mencari sponsor yang dapat mendanai penerbitan,
atau dengan biaya sendiri, dan kelak memasarkannya. Itulah persoalan
yang dihadapi penulis buku.
Ternyata, pejuang gerilya tidak hanya melawan penjajah Belanda. Pejuang
gerilya kini adalah penulis yang bergerilya untuk dapat menerbitkan dan
memasarkan buku. Selesai menulis, harus menerbitkannya. Jika tidak
diterbitkan, maka tulisan mereka berarti belum selesai.
Bagaimana menurut dangsanak, akur hajakah?
0 Comment to "Menulis (2.5): Menulis: Terbitkan atau Minggirlah!"
Post a Comment