Sunday 18 December 2016

Menulis (2.5): Menulis: Terbitkan atau Minggirlah!

Wajidi
Balitbangda Pemprov Kalimantan Selatan

DI banyak negara, dosen yang tidak menulis buku dianggap tidak pantas untuk mengajar. Karena itu, ada ungkapan: Publish or Perish! Terbitkan atau Minggirlah! Penjudulan tulisan ini untuk menegaskan buku menjadi tolok ukur kepatutan seorang dosen untuk mengajar.
 
Pemakaian ungkapan tersebut bukan untuk menyudutkan para akademisi kita, tetapi untuk mengingatkan kita, bahwa seharusnya kita lebih banyak menulis buku. Apapun alasannya, negara-negara maju menghasilkan banyak publikasi buku dan jurnal ilmiah sementara kita masih berkutat dengan budaya lisan.
 
Seorang peneliti, akademisi, apalagi seorang ilmuwan sangat disayangkan jika ilmunya hanya di simpan di otak, atau hanya pandai berbicara dan enggan menuliskannya. Padahal, wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW, yakni Surah al-‘Alaq, ada perintah kepada manusia agar “membaca (iqra)” dan “menulis (kalam)”.

Artinya, manusia harus banyak membaca, dan membaca langkah awal menjadi penulis. Dengan membaca, akan banyak ilmu yang diperoleh. Ilmu yang disampaikan secara lisan tanpa ditulis akan mudah dilupakan. Sajak Kalil Gibran: “Lupakan segala yang telah kita katakan. Omongan hanyalah debu di udara.”

Jika ilmu ditulis menjadi buku, maka banyak orang lain yang dapat mengambil manfaatnya. Menurut Ali bin Abi Thalib: Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Datu Kelampayan) pada abad ke-XVII telah memberikan contoh dengan menulis belasan buku sehingga nama dan pemikiran beliau abadi dan menjadi ladang amal jariyah yang terus mengalir.

Lalu bagaimana dengan penulis yang bukan akademisi, peneliti, atau ilmuwan? Pada prinsipnya sama saja. Ada ungkapan: Buku adalah mahkota bagi penulis. Apa pun profesi seseorang, jika dia menulis dan menerbitkannya menjadi buku, maka bukunya itu mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding tulisannya yang terbit di surat kabar, majalah, webblog. Menulis buku itu “sesuatu”.

Buku dapat dimiliki oleh masyarakat dari berbagai kalangan, lebih abadi karena dapat dijadikan bacaan dan rujukan. Buku yang berbobot memiliki berbagai kelebihan dibanding jurnal ilmiah yang penggunanya relatif terbatas apalagi jika dibanding dengan artikel yang terbit di surat kabar yang apabila selesai dibaca suratkabarnya dikilokan. Oleh karena itu, buku menempati tempat teratas atau dianalogikan sebagai mahkota bagi penulis.

Terlebih lagi, bagi seorang peneliti, karya tulis berupa buku adalah “pembeda” antar peneliti: All scientists are the same until one of them writes a book”. Ya, jika seorang peneliti telah menghasilkan banyak buku maka kedudukan, reputasi, dan keilmuannya pantas diakui sehingga membuatnya berbeda dari peneliti-peneliti lain yang (mungkin) hanya mengandalkan jurnal ilmiah.

Alhamdulillah sebagai seorang penulis dengan jabatan fungsional peneliti madya saya telah mempublikasikan tulisan di jurnal ilmiah, majalah, buletin, surat kabar, dan menghasilkan 15 buah buku atau bagian dari buku baik sebagai penulis tunggal maupun tim.
 
Sebagai penulis, saya memenangkan 7 (tujuh) kali lomba penulisan artikel tingkat nasional dan lokal. Saya mempunyai weblog untuk memuat tulisan saya di dunia maya dengan nama: bubuhanbanjar.wordpress.com.

Benefit apa yang diperoleh dari menulis? Dibanding keuntungan finansial saya lebih merasakan kepuasan batin; tulisan saya dibaca, dijadikan rujukan, dan atau, saya menjadi nara sumber. Ada kepuasan buku saya menjadi koleksi The Library of Congress di Washington DC, di Ohio University Libraries, di Belanda, Jepang, Australia, dan di beberapa perpustakaan dan pada perseorangan. Insya Allah, menjadi ladang amal yang akan terus mengalir.

Seorang keponakan yang berkeinginan menulis bertanya: Bagaimana awal mulanya sehingga kemudian saya menjadi penulis buku? Saya jawab: “Saya tidak belajar jurnalistik, dan tidak pernah mengikuti pelatihan menulis. Saya menulis bermodalkan ketekunan menulis, dan belajar secara autodidak. Satu-satunya ilmu yang saya miliki saat pertama kali menulis adalah: ilmu kepepet.” Dia merespon jawaban saya dengan tertawa.

Pada 1989, pertama kalinya saya menulis artikel di surat kabar Dinamika Berita dan Banjarmasin Post. Honornya Rp 4.500 dari Dinamika Berita dan Rp 5.000 dari Banjarmasin Post. Jangan dibayangkan bahwa nilai ekstrinsik honor dari kedua surat kabar pada saat itu tinggi. Tidak seberapa jika dibanding honor menulis di surat kabar di Jawa yang kala itu mungkin mencapai Rp 25.000. Apalagi bila dibandingkan dengan honor HU Kompas. Walau tidak seberapa, saya sangat gembira. Harap maklum, sangat membantu uang bulanan.

Ya, karena kepepet secara ekonomi, saya sering menulis dan mengikuti perlombaan menulis. Kalau ditolak redaksi surat kabar atau kalah dalam lomba menulis, saya mengambil hikmahnya agar lebih tekun mengasah kemampuan menulis. Seorang penulis harus mengasah kemampuannya dengan berbagai publikasi. Misalnya, menulis opini di surat kabar untuk menuangkan pergulatan pemikiran atas masalah, isu atau topik yang berkembang di masyarakat. Artikel yang terbit di surat kabar bisa dikumpulkan utuk diterbitkan menjadi buku. Cara inilah yang pernah saya lakukan.

Sama halnya menulis secara umum, menulis buku juga (lebih) membutuhkan ketekunan. Untuk lancar menulis, ketekunan lebih utama dibanding kepintaran. Perhatikan, banyak profesor, doktor, dan master yang kikuk menulis. Suka membaca dan mencari sumber rujukan adalah langkah awal menjadi seorang penulis. Seorang penulis adalah pembaca. Pembaca dalam arti luas; membaca fenomena sosial di masyarakat dan mengangkatnya menjadi tulisan. Atau lebih mudahnya pembaca buku dan kemudian memasukkan, merangkum, atau meramunya ke dalam tulisan.

Untuk menulis harus ada motivasi. Penulis mempunyai motivasi yang berbeda. Kenali diri dan pelajari manfaat menulis. Motivasi menulis buku bagi seorang peneliti atau dosen adalah sebagai bahan penilaian angka kredit untuk jabatan fungsional. Semakin banyak karya tulis, maka jabatan fungsional akan lebih cepat naik. Bagi penulis lepas, motivasi menulis mungkin untuk menyalurkan hobi dan mendapatkan uang. Sah-sah saja, apalagi banyak penulis yang mendapat uang banyak karena bukunya menjadi best seller.

Saya pernah mengungkapkan gambaran penulis buku di Kalsel dengan ungkapan: “penulis buku adalah juga pejuang gerilya.” Saya menyatakan demikian, bukan karena saya pernah menulis buku berjudul: “Kesetiaan Kepada Republik” yang mendeskripsikan pahit getirnya para pejuang gerilya pimpinan Hassan Basry memperjuangkan Kalimantan Selatan untuk tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia padahal melalui Persetujuan Linggarjati pulau Kalimantan menjadi bagian kekuasaan Belanda.

Saya menyadari bahwa tidak patut mempersamakan pahit getirnya “perjuangan gerilya” dengan “perjuangan gerilya” menulis dan menerbitkan buku. Jauh sekali perbedaannya dan tentu sangat berat tantangan yang dihadapi pejuang gerilya. Saya hanya ingin menganalogikan bahwa untuk menghasilkan buku maka penulis (pemula) harus bergerilya menulis, bergerilya mencari dana, bergerilya menerbitkannya, dan bergerilya pula memasarkannya. Dan, itulah yang saya rasakan dan juga dirasakan oleh teman-teman penulis buku lainnya.

Kalau penulis adalah pejuang gerilya, lalu apa musuhnya? Malas dan kemalasan. Saya pun merasakannya. Walau pun sudah menulis berbagai buku, saya masih penulis musiman. Terkadang malas menulis, dan terkadang menggebu-gebu. Menulis pun belum dengan sepenuh cinta.

Musuh ini harus dilawan dengan ketekunan. Pintar atau cerdas saja tidak cukup untuk menulis. Kemampuan menulis harus terus diasah dengan ketekunan. Tulis, tulis, dan teruslah menulis. Begitu tulis Ersis Warmansyah Abbas, dosen, motivator penulisan, penulis puluhan buku, dan ratusan tulisan di media cetak. Tulislah apa yang anda pikirkan, jangan memikirkan apa yang akan anda tulis!

Saat awal bekerja di Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan. Saya dilibatkan dalam penelitian dan penulisan buku Sejarah Banjar (2003) dan buku Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005) dalam tim yang dibentuk oleh Lembaga Budaya Banjar. Keterlibatan dalam penulisan dan penerbitan kedua buku itu merupakan momen awal saya belajar menulis dan menerbitkan buku.

Pada tahun 2007 melalui Pustaka Banua saya menerbitkan buku Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik dan Nasionalisme Indonesia Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942. Untuk menyelesaikan buku tersebut saya betul-betul bergerilya. Gerilya pertama adalah saat menyusun buku proklamasi selama lima tahun, dan tiga tahun menyelesaikan buku nasionalisme sampai ke purna cetaknya. Draft lengkap selesai disusun, saya kembali bergerilya mencari pendanaan untuk menerbitkan buku tersebut. Sejumlah proposal dikirim ke pemerintah provinsi, dan perusahaan pertambangan. Ada pihak yang membantu, dan ada yang menolak atau tidak memberikan respon sama sekali. Terbit buku, kembali bergerilya memasarkan sebagian buku itu ke sejumlah toko buku di Banjarmasin, di samping mendistribusikannya gratis kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Pada tahun 2008 saya menerbitkan buku melalui Debut Press, dan tahun 2012 melalui Pustaka Book Publisher, keduanya penerbit di Yogyakarta. Tidak semua buku yang saya tulis mengacu kepada tata tulis ilmiah ketat, saya juga menulis buku berkategori ringan.
 
Saya terinspirasi dari beberapa penulis, bahwa menulis buku tidak selalu harus tema yang berat-berat. Kalau terlalu ilmiah atau berat harus memerlukan banyak tenaga dan waktu sehingga kapan selesainya?

Mungkin pembaca ada yang bertanya tentang cara menerbitkannya. Apakah dengan sistem royalti, jual putus, atau bagaimana? Saya belum pernah menerbitkan buku dengan sistem royalti. Semuanya dengan dana sendiri. Caranya dengan meminjam nama penerbit yang mencetak dan menerbitkan buku saya.

Pertama kalinya pada tahun 2007 saya menggunakan penerbit di Banjarmasin, dan seterusnya penerbit di Yogyakarta. Harga cetak penerbit di Jawa lebih murah dan kualitasnya bagus. Prosesnya tidak sulit. Kita mengirim draft naskah buku melalui pos elektronik ke alamat e-mail untuk kemudian di-lay-out. Nomor dan barcode ISBN diurus penerbit. Melalui e-mail pula kita bisa melihat hasil lay-out sampul dan isi buku, dan memberikan koreksi yang diperlukan. Biaya cetak biasanya dibayar sebagian di muka, dan dibayar lunas melalui transper ATM saat buku sudah diterima.

Berapa biaya yang diperlukan untuk mencetak sejumlah buku? Ada penerbit yang menggunakan batas minimal misalnya bisa dicetak jika memesan 500 atau 1000 eksemplar. Ada pula penerbit yang tidak membatasi, misalnya 10 eksemplar pun bisa dicetak namun harga per eksemplarnya mahal. Pada prinsipnya, semakin banyak yang dicetak semakin murah harga per eksemplarnya.

Ada dua pola negosiasi harga dengan penerbit, yakni dengan menanyakan berapa harga cetak untuk jumlah cetakan yang kita inginkan atau, punya uang, misalnya Rp 3 juta, tanyakan dengan uang tersebut berapa eksemplar yang dapat diterbitkan.
 
Di benak saya, kepiawaian menerbitkan buku sangatlah diperlukan. Mungkin sudah berjibun buku tentang bagaimana menulis dan memotivasi penulis, dan hanya sedikit yang memuat tentang tata cara menerbitkan buku; mencari dana, berurusan dengan penerbit, dan memasarkan buku. Menerbitkan buku berbeda dengan menerbitkan artikel di surat kabar, majalah, atau jurnal ilmiah.

Jika sistem royalti dari penerbit tidak didapatkan, mau tidak mau penulis harus bergerilya mencari sponsor yang dapat mendanai penerbitan, atau dengan biaya sendiri, dan kelak memasarkannya. Itulah persoalan yang dihadapi penulis buku.
 
Ternyata, pejuang gerilya tidak hanya melawan penjajah Belanda. Pejuang gerilya kini adalah penulis yang bergerilya untuk dapat menerbitkan dan memasarkan buku. Selesai menulis, harus menerbitkannya. Jika tidak diterbitkan, maka tulisan mereka berarti belum selesai.

Bagaimana menurut dangsanak, akur hajakah?

Share this

0 Comment to "Menulis (2.5): Menulis: Terbitkan atau Minggirlah!"

Post a Comment