Ersis Warmansyah Abbas
Sejujurnya, apabila saya menulis tentang sesuatu lalu memposting di facebook apabila dibaca dan dikomentar, apalagi dengan pujian, Alhamdulillah. Sungguh menambah semangat untuk menulis. Tetapi, tetap mawas diri, pujian sebagai respon positif jangan sampai menjerumuskan kepada berpuas diri.
SEBALIKNYA, sedih dan terkadang marah apabila tulisan dicela tanpa
argumen yang jelas, apalagi tanpa solusi. Pokoknya, jelek. Celaan
demikian yang membangkitkan amarah. Memenej marah memang bukan perkara
mudah. Pada awalnya yang muncul protes, kenapa orang tega-teganya
mencela? Proses menulis dilakukan dengan segala perjuangan, dan setelah
menjadi tulisan, dicela begitu saja. Siapa yang tidak marah.
Ketika sharing dengan seorang penulis terkenal, beliau menasehati, orang
suka atau tidak suka, itu haknya. Bukankah setiap orang boleh saja
berambut sama hitam, tetapi isi kepalanya jangan pernah diharap sama.
Bagus bagi kita belum tentu baik menurutnya. Itulah persepsi, itulah
kehidupan. Dan itu hak masing-masing orang.
Ya, orang tidak suka dengan tulisan kita, dengan karya kita, adalah
haknya. Karena itu, tidak usah terganggu dengan penilaian. Beliau juga
menasehati, mungkin belum dibacanya serius, atau pengetahuannya kurang
dan menilai sesuai pendapatnya. Hal terbaik yang dilakukan, tanyakan
kepada yang berkomentar, dimana salah dan kurangnya, minta masukan.
Kalau dia hanya bisa mencela tanpa memberi solusi, cuekin saja.
Dari nasehat tersebut saya mendapat hal berharga. Marah harus
di-manage. Marah bukan urusan orang, marah lakuan diri. Kalau kita tidak
marah, dan terus melatih diri menulis, tulisan kita akan menjadi lebih
baik, kualitasnya akan meningkat. Kalau dihina, lalu direspon dengan
marah, yang menghina tidak rugi. Dia untung, hobinya tersalur. Kita rugi
karena aktivitas menulis terganggu.
Me-manage marah mengelola diri. Karena itu saya memilih tidak
berurusan dengan orang sirik. Biarkan dia mengembangkan kesirikannya,
karena itu pilihan dan haknya, dan saya terus belajar menulis dengan
menulis. Ternyata, hal tersebut melegakan. Minimal, pikiran tidak
terlalu terganggu dan perasaan tidak tergadai pada arus marah.
Ya, saya tidak mau membuang-buang energi memikirkan respon negatif
orang, tidak mau menyia-nyiakan potensi dengan meladeni perasaan marah.
Seperti kata tentor saya: Iblis saja dibiarkan Allah SWT, dan diberi
kebebasan, untuk merayu manusia. Apalagi orang sirik. Kecil saja
tantangan yang digelarnya dibanding iblis.
Membaca keluhan sekaligus solusi sebagaimana dipapar di atas, sungguh
saya memuji ambilan sikap penulis pemula yang akhirnya mampu mengeloa
dirinya, terutama atas respon orang atas apa yang ditulisnya. Dalam hati
berdoa, semoga dia kelak menjadi penulis handal.
Tidak elok memang, membuang-buang energi untuk melayani marah dan
kemarahan yang berakibat buruk bagi aktivitas menulis. Cuekin saja habis
perkara.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (4.4): Mari Me-Manage Marah"
Post a Comment