Monday 12 December 2016

Menulis (4.4): Mari Me-Manage Marah

Ersis Warmansyah Abbas
Sejujurnya, apabila saya menulis tentang sesuatu lalu memposting di facebook apabila dibaca dan dikomentar, apalagi  dengan pujian, Alhamdulillah. Sungguh menambah semangat untuk menulis. Tetapi, tetap mawas diri, pujian sebagai respon positif jangan sampai menjerumuskan kepada berpuas diri.
SEBALIKNYA, sedih dan terkadang marah apabila tulisan dicela tanpa argumen yang jelas, apalagi tanpa solusi. Pokoknya, jelek. Celaan demikian yang membangkitkan amarah. Memenej marah memang bukan perkara mudah. Pada awalnya yang muncul protes, kenapa orang tega-teganya mencela? Proses menulis dilakukan dengan segala perjuangan, dan setelah menjadi tulisan, dicela begitu saja. Siapa yang tidak marah.
 
Ketika sharing dengan seorang penulis terkenal, beliau menasehati, orang suka atau tidak suka, itu haknya. Bukankah setiap orang boleh saja berambut sama hitam, tetapi isi kepalanya jangan pernah diharap sama. Bagus bagi kita belum tentu baik menurutnya. Itulah persepsi, itulah kehidupan. Dan itu hak masing-masing orang.

Ya, orang tidak suka dengan tulisan kita, dengan karya kita, adalah haknya. Karena itu, tidak usah terganggu dengan penilaian. Beliau juga menasehati, mungkin belum dibacanya serius, atau pengetahuannya kurang dan menilai sesuai pendapatnya. Hal terbaik yang dilakukan, tanyakan kepada yang berkomentar, dimana salah dan kurangnya, minta masukan. Kalau dia hanya bisa mencela tanpa memberi solusi, cuekin saja.

Dari nasehat tersebut saya mendapat hal berharga. Marah harus di-manage. Marah bukan urusan orang, marah lakuan diri. Kalau kita tidak marah, dan terus melatih diri menulis, tulisan kita akan menjadi lebih baik, kualitasnya akan meningkat. Kalau dihina, lalu direspon dengan marah, yang menghina tidak rugi. Dia untung, hobinya tersalur. Kita rugi karena aktivitas menulis terganggu.

Me-manage marah mengelola diri. Karena itu saya memilih tidak berurusan dengan orang sirik. Biarkan dia mengembangkan kesirikannya, karena itu pilihan dan haknya, dan saya terus belajar menulis dengan menulis. Ternyata, hal tersebut melegakan. Minimal, pikiran tidak terlalu terganggu dan perasaan tidak tergadai pada arus marah.

Ya, saya tidak mau membuang-buang energi memikirkan respon negatif orang, tidak mau menyia-nyiakan potensi dengan meladeni perasaan marah. Seperti kata tentor saya: Iblis saja dibiarkan Allah SWT, dan diberi kebebasan, untuk merayu manusia. Apalagi orang sirik. Kecil saja tantangan yang digelarnya dibanding iblis.
 
Membaca keluhan sekaligus solusi sebagaimana dipapar di atas, sungguh saya memuji ambilan sikap penulis pemula yang akhirnya mampu mengeloa dirinya, terutama atas respon orang atas apa yang ditulisnya. Dalam hati berdoa, semoga dia kelak menjadi penulis handal.

Tidak elok memang, membuang-buang energi untuk melayani marah dan kemarahan yang berakibat buruk bagi aktivitas menulis. Cuekin saja habis perkara.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.4): Mari Me-Manage Marah"

Post a Comment