Monday 12 December 2016

Menulis (4.5): Perantau Dicaci-Maki

Ersis Warmansyah Abbas
Terus terang awalnya tidak kuat menerima hinaan terhadap tulisan saya yang berakibat down. Saya marah. Hanya saja kemana marah akan ditumpahkan, apalagi saya baru sekelas penulis di dunia maya. Jalan terbaik yang dapat dilakukan, akhirnya menangis.
BEGITU pengakuan seorang penulis pemula, pekerja migran di luar negeri. Padahal, seharusnya kalau seseorang tidak suka dengan tulisannya, itu haknya. Saya tidak memaksa dia membacanya. Tega benar dia. Hebatnya dia, biar saya geer he he, setelah membaca tulisan-tulisan Pak EWA, saya mengendalikan marah. Menurut Pak EWA, kalau dikritisi seseorang, kalau kritiknya konstruktif, jadikan masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tulisan. Namun, kalau desktruktif, cuekin saja.
 
Ya, saya tahu persis tekad perempuan perantauan. Terkadang, tidak habis pikir, bekerja sepanjang hari menjaga orang jompo, mana peralatan menulis susah, bacaan susah dicari, namun semangat untuk menulis begitu mekar. Tidak dapat tidak, sungguh mengispirasi.

Alangkah celakanya, saya yang, tidak dikungkung kendala-kendala dasar menulis, beralasan ini itu. Bekerja untuk menyambung hidup di rantau, serba berkekurangan, namun semangatnya mematahkan kendala-kendala. Sungguh pejuang tangguh. Itu belum seberapa.

Puncaknya, tidak melayani kemarahan diri, tetapi menjinakkan dengan memahami, kepala sama-sama berambut, isi kepala bermacam-macam. Artinya, dia memberi ruang kepada orang lain berpikir dan berbuat sesuai dirinya.

Sungguh, dua jempol untuknya. Saya juga tahu, tiga bulan berteman di dunia maya, melihat kemajuan menulisnya meroket. Iseng saya baca tulisannya pada awal menulis. Kalau dipikir-pikir, tidak salah juga mendapatkan tertawaan. Memang tulisannya masih jahiliyah he he.

Sekalipun demikian, kekuatan paling hebat di diri seorang kemampuan mengakui diri. Orang-orang bodoh adalah orang yang menganggap dirinya hebat. Orang cerdas mereka yang mampu menatap diri dan dengan pindaian cermat berusaha untuk memperbaiki dengan membelajarkan diri. Ya, teman yang satu ini melakukan hal tersebut.

Bukan geer, kiranya orang ini menangkap muatan tulisan saya yang menekankan, menulis itu belajar, membelajarkan diri. Membelajarkan diri dengan menulis, bukan saja kita mempelajari apa yang akan ditulis, tetapi juga belajar dari apa yang ditulis. Pada prosesnnya kita pun belajar. Artinya, rangkaian aktivitas menulis adalah ranah pembelajaran.

Dus, mengelola marah dengan memahami kenapa dan mengapa orang mencela kunci kemajuan menulis. Bergaris lurus dengan menata diri sembari melakukan alias menulis, menulis, dan terus menulis sebagai garansi kefasihan menulis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.5): Perantau Dicaci-Maki"

Post a Comment