Ersis Warmansyah Abbas
Terus terang awalnya tidak kuat menerima hinaan terhadap tulisan saya yang berakibat down. Saya marah. Hanya saja kemana marah akan ditumpahkan, apalagi saya baru sekelas penulis di dunia maya. Jalan terbaik yang dapat dilakukan, akhirnya menangis.
BEGITU pengakuan seorang penulis pemula, pekerja migran di luar
negeri. Padahal, seharusnya kalau seseorang tidak suka dengan
tulisannya, itu haknya. Saya tidak memaksa dia membacanya. Tega benar
dia. Hebatnya dia, biar saya geer he he, setelah membaca tulisan-tulisan
Pak EWA, saya mengendalikan marah. Menurut Pak EWA, kalau dikritisi
seseorang, kalau kritiknya konstruktif, jadikan masukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas tulisan. Namun, kalau desktruktif,
cuekin saja.
Ya, saya tahu persis tekad perempuan perantauan. Terkadang, tidak habis
pikir, bekerja sepanjang hari menjaga orang jompo, mana peralatan
menulis susah, bacaan susah dicari, namun semangat untuk menulis begitu
mekar. Tidak dapat tidak, sungguh mengispirasi.
Alangkah celakanya, saya yang, tidak dikungkung kendala-kendala dasar
menulis, beralasan ini itu. Bekerja untuk menyambung hidup di rantau,
serba berkekurangan, namun semangatnya mematahkan kendala-kendala.
Sungguh pejuang tangguh. Itu belum seberapa.
Puncaknya, tidak melayani kemarahan diri, tetapi menjinakkan dengan
memahami, kepala sama-sama berambut, isi kepala bermacam-macam. Artinya,
dia memberi ruang kepada orang lain berpikir dan berbuat sesuai
dirinya.
Sungguh, dua jempol untuknya. Saya juga tahu, tiga bulan berteman di
dunia maya, melihat kemajuan menulisnya meroket. Iseng saya baca
tulisannya pada awal menulis. Kalau dipikir-pikir, tidak salah juga
mendapatkan tertawaan. Memang tulisannya masih jahiliyah he he.
Sekalipun demikian, kekuatan paling hebat di diri seorang kemampuan
mengakui diri. Orang-orang bodoh adalah orang yang menganggap dirinya
hebat. Orang cerdas mereka yang mampu menatap diri dan dengan pindaian
cermat berusaha untuk memperbaiki dengan membelajarkan diri. Ya, teman
yang satu ini melakukan hal tersebut.
Bukan geer, kiranya orang ini menangkap muatan tulisan saya yang
menekankan, menulis itu belajar, membelajarkan diri. Membelajarkan diri
dengan menulis, bukan saja kita mempelajari apa yang akan ditulis,
tetapi juga belajar dari apa yang ditulis. Pada prosesnnya kita pun
belajar. Artinya, rangkaian aktivitas menulis adalah ranah pembelajaran.
Dus, mengelola marah dengan memahami kenapa dan mengapa orang mencela
kunci kemajuan menulis. Bergaris lurus dengan menata diri sembari
melakukan alias menulis, menulis, dan terus menulis sebagai garansi
kefasihan menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (4.5): Perantau Dicaci-Maki"
Post a Comment