Ersis Warmansyah Abbas
MENULIS susah? Sungguh, menulis itu susah dan menyusahkan. Tidak sedikit orang bersikukuh, bahwa menulis susah dan menyusahkan. Secara empiris, kiranya mendapat pembenaran. Kalau menulis itu tidak susah dan menyusahkan, mereka yang berkeinginan menulis tentu tulisannya menjadi. Padahal, yang terjadi sebaliknya, letoy, lemot tanpa karya (tulisan)
Sebaliknya, pengalaman saya terbalik dengan statemen tersebut. Saya
berkesimpulan, menulis itu mudah, sungguh sangat mudah. Buktinya, saya
menulis ribuan tulisan: artikel, makalah, puisi, cerita pendek, novel,
sampai syair lagu, dan menerbitkan puluhan buku.
Buku-buku saya tentang menulis lebih dari
20 buku. Saya berkeinginan menulis 40 buku tentang menulis.
Mudah-mudahan menjadi mengingat saya juga menulis berbagai buku dengan
berbagai tema. Kenapa bisa?
Tentu saja, pada awalnya berkesusahan menulis. Setiap orang
dilahirkan tanpa busana, bahkan tanpa pengetahuan. Karena susah, tidak
wajib mematenkan susah dan kesusahan bukan? Susahnya dibalik, Maksudnya?
Begini kawan. Saya mengakui bahwa diri memang bodoh menulis. Ya,
bodoh menulis. Karena mengakui kebodohan diri, menempatkan diri sebagai
pembelajar. Oi, ternyata nikmat. Membaca lebih bersemangat, apalagi
karya penulis hebat-hebat, sekalipun saya tetap membaca apa saja,
terpesona dengan karya-karya bagus penulis hebat.
Pembelajaran tersebut merasuk. Saya tidak mempelajari teori menulis,
tetapi ”menyadap” bagaimana para penulis menulis melalui tulisannya.
Amboi, menulis yang awalnya tersendat-sendat, Alhamdulillah lancar. Bagaimana tidak lancar, tidak mempedulikan berbagai hal selain
menulisnya.
Artinya, karena berposisi belajar, tidak menanamkan takut sampai akan
mendapat bayaran atau tidak. Menulis saja dalam lakuan membelajarkan
diri. Menulis belajar, menulis sebagai pembelajaran.
Begitulah, dari buku pertama saya tentang menulis, Menulis Sangat
Mudah (Mata Khatulistiwa, 2007) atau buku saya yang menyentak, Suer,
Nulis Itu Mudah (Elex Media Komputindo, 2012) sampai buku yang Sampeyan
baca ini, Menulis Membangun Mindset (Wahana Jaya Abadi, 2015), saya
asyik-asyik saja menulis. Beberapa naskah buku tentang menulis lainnya,
menunggu untuk disiangi.
Menulis buku tentang menulis bagian dari aktivitas saya menulis yang
kini sedang mempersiapkan buku-buku untuk perguruan tinggi.
Pertanyaannya, lalu kenapa bisa begitu produktif?
Sebenarnya, tidak juga. Saya menulis ”sedang-sedang”, menulis sebagai
aktivitas pelengkap tugas utama sebagai guru. Sekalipun demikian, bisa
jadi, saya memang mempunyai cara tertentu dalam ”memandang” menulis.
Pertama, membangun mindset menulis mudah. Mindset dimaksud,
katakanlah sebagai perlawanan atas pandangan, bahwa menulis itu susah
dan menyusahkan. Saya betul-betul bangga mampu membangun mindset menulis
mudah yang menjadi landasan menulis.
Kedua, berbasis mindset menulis mudah, saya ”diserbu” ide. Tentu saja
dibeking dengan membaca, mendengar, mencium, meraba, dan melihat
sesuatu dengan lebih tajam sehingga ketika diproses di otak untuk
ditulis di otak (memori) menjadi ”sesuatu”. Nah, ”sesuatu” yang disalin
menjadi tulisan. Ibarat kata, ide-ide menyerbu ketika membaca,
bepergian, berpikir, dan sebagainya, mencengkeramai ide.
Ketiga, ide yang sudah ”menari-nari” di otak minta untuk dituliskan,
dan dilakukan. Ternyata, manakala ide dituliskan, ide semakin berlimpah,
bak sumur, semakin ditimba semakin banyak airnya, dan semoga semakin
bermanfaat.
Keempat, mencengkeramai ide dengan menuliskannya berarti melakukan,
ya menulis. Wow, ternyata dengan menuliskan ide-ide, memberi
pembelajaran hebat. Menulis itu rupanya belajar itu sendiri. Super.
Kelima, rangkaian tersebut sungguh menjadikan menulis mudah, sangat
mudah. Saya tidak mendiskusikan menulis bermutu lho ya, sebab nanti akan
ada yang memvonis, tulisan EWA tidak bermutu. Biar saja. Katakanlah,
menulis ”sederhana” ala EWA mudah.
Keenam, menjalani rangkaian menulis pada tataran demikian menghantar
kepada, menulis mengasyikkan. Ya, dalam waktu terbatas, misalnya setelah
salat Subuh, menjelang istri menghidangan makanan, apalagi ketika
menumpang pesawat terbang, atau mendengar penceramah membosankan, ya
menulis. Asyik saja begitu.
Saya tidak memerlukan tempat yang tenang, bersih, atau apa begitu.
Tidak peduli pagi, siang, atau malam, jika berkehendak menulis, ya
menulis. Pernah, sembari raun-raun di kota Solo naik beca dengan istri
saya menulis. Wuiw, betul-betul sensasional. Ternyata, bukan sembari
nonton sepak bola saja menulis memantang.
Nah, membangun mindset itulah yang menjadi apungan buku ini. Sesiapa
yang berkehendak menulis haruslah mengokohkan tekadnya dengan dengan
mempratikkan menulis. Dalam ayunan sedemikian, menulis menjadi
pembelajarkan, membelajarkan diri untuk menulis, menulis, dan terus
menulis. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah menulis itu susah dan
menyusahkan.
Semoga sampeyan, pembaca buku ini mengambil hikmahnya. Apalagi, sampeyan membeli buku ini.
Salam menulis, selamat menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (1.1): Menyenangkan Mengasyikkan"
Post a Comment