Heni Pujiastuti
Dosen Universitas Tirtayasa Banten
Dosen Universitas Tirtayasa Banten
MENULIS ibarat memindahkan file dari laptop ke hard disc eksternal.
Laptop itu otak dan hard disc eksternal itu tulisnya. Informasi yang ada
dalam file yang dipindahkan ke hard disc eksternal dapat terdokumentasi
dengan baik manakala memori laptop mampu menampung informasi-informasi
baru. Bahkan, proses penyimpanan informasi baru bisa lebih cepat karena
beban otak terbebas dari rasa khawatir kalau-kalau informasi yang
dipindahkan itu hilang (lupa).
Semakin banyak file yang dipindahkan ke hard disc eksternal, semakin
banyak kapasitas memori yang tersisa untuk menerima dan mengolah
informasi-informasi baru yang lebih up to date. Contoh kecil saja, bila
kita hanya mengandalkan otak untuk mengingat nomor handphone seluruh
anggota keluarga, saudara, sahabat, teman sekolah, teman organisasi,
rekan kerja, dan lain-lain. Terbayang bukan, alangkah capeknya otak
kita.
Terlalu banyak alasan untuk tidak menulis. Seperti banyak diceritakan
dalam buku-buku dan obrolan-obrolan ringan orang-orang yang baru
berniat, yang kagum tentang tulisan, maupun yang merasa punya potensi
untuk menulis. Ya, banyak alasan untuk tidak menulis. Mulai dari tidak
ada waktu, butuh suasana yang pas, dan butuh tempat yang nyaman. Eh,
giliran ada waktu dan ketemu tempat yang nyaman, wah sayangnya sedang
tidak mood. Semakin di-listing alasan-alasan untuk tidak menulis,
semakin tidak mungkin kita menulis.
Seperti saya ini. Duh, bisa dibilang saat menulis tulisan ini, saya
sembari tutup mata, tidak percaya diri. Alasan yang menggelayut di
benak: Apakah yang akan saya tulis akan diamini orang? Apakah ide yang
akan saya tuliskan menarik? Apakah orang yang akan membacanya mengerti
apa yang saya maksud? Apakah tulisan saya dibutuhkan? Atau parahnya
lagi, apa pentingnya tulisan saya? Jangan-jangan seperti ditulis Pak
Ersis dalam buku Percaya Ngak Percaya Menulis Itu Mudah, kalau kodokpun
tidak mau ‘bernyanyi’ lagi saking kesalnya melihat tulisan saya nanti.
Selain alasan-alasan yang sudah diungkap di atas, saya juga sering
terperangkap dengan berbagai pertanyaan yang membuat saya tidak jadi
menulis. Misalnya, jenis tulisan apa yang akan dibuat? Novel? Rasanya
saya tidak akan mampu membuat alur cerita sebagus novel-novel yang
pernah saya baca? Opini? Apa saya berani beradu opini dengan orang lain?
Cerpen? Dari mana saya memulai ceritanya? Atau dongeng?
Duh, rasanya saya juga tidak bisa mendongeng. Kadang, saya merasa
banyak ide-ide atau hal-hal ingin dituliskan. Bahkan ada beberapa
episode kisah hidup saya sendiri yang sepertinya bisa menjadi pelajaran
atau dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. Tetapi, lagi-lagi saya
bingung menuliskannya.
Setelah membaca beberapa buku Pak Ersis, saya tercambuk untuk melawan
diri. Melawan alasan-alasan yang membelenggu untuk tidak menulis. Saya
menanya diri sendiri: Bagaimana agar bisa menulis? Otak bawah sadar saya
menjawab, simpan laptop di atas meja di ruang tamu, sediakan segelas
kopi susu, sebotol air putih, dan sejumlah makanan kecil.
Saya memanjakan diri dengan memenuhi syarat-syarat itu. Setelah semua
syarat terpenuhi, saya kembali bertanya: Apa kamu tidak malu dengan
segala yang tersaji dan belum juga memulai menulis? Saya hanya tersenyum
sendiri dan mulai menekan tombol-tombol keyboard. Inilah hasilnya he
he. Namanya juga baru memulai menulis lagi tidak ada salahnya mencari
cara yang paling nyaman untuk memulai. Mudah-mudahan setelah terbiasa
dan terkena virus menulis, tidak perlu lagi syarat ini itu untuk
menulis. Betul nggak?
Pengalaman pertama menulis, saya peroleh saat kuliah S1 di Lampung.
Saya kuliah di fakultas yang mencetak calon-calon guru, tetapi sembari
kuliah saya ikut kegiatan mahasiswa bidang jurnalistik, UKPM Teknokra.
Saya sangat tertarik untuk bisa menulis dan bercita-cita menjadi
jurnalis. Pernah tulisan saya menjadi topik utama di tabloid Teknokra.
Ketika tulisan tersebut menjadi topik utama di tabloid tersebut, duh
senangnya. Sueneeeng bingits. Tidak dapat dibayarkan dengan apa pun.
Akibatnya, bertambah semangat untuk menulis, menulis, dan menulis.
Singkat cerita, seiring berjalan waktu dan semakin bejibunnya alasan
untuk tidak menulis, saya semakin jauh dengan kegiatan menulis. Tetapi
bukan berarti sama sekali tidak menulis, karena pada awal tahun 2014
saya masih berhasil membuat satu tulisan yang cukup menguras energi dan
pikiran. Ya, tulisan itu berupa disertasi yang tebalnya lebih dari satu
rim. Itu juga tulisan bukan? Maksudnya, saya ingin menulis hal lain yang
lebih ringan, menyenangkan, tetapi tetap bermanfaat dan menginspirasi.
Satu diantaranya, ya tulisan ini. Mudah-mudahan. Amin.
Hampir delapan tahun ini saya bekerja di sebuah institusi yang
mencetak calon-calon guru. Semenjak bekerja saya berusaha tetap menulis.
Biasanya sih menulis artikel hasil penelitian. Artikel tersebut
diterbitkan jurnal nasional, internasional, atau diseminarkan pada forum
nasional atau internasional yang kemudian artikelnya dimuat dalam
prosiding seminar tersebut. Saya berusaha memacu dan memaksakan diri
untuk dapat menghasilkan minimal dua atau tiga artikel untuk dimuat
dalam jurnal dalam waktu satu tahun.
Terlalu kecil dan sedikit mungkin targetnya. Tetapi itu sudah cukup
sulit bagi saya untuk konsisten dengan targetan yang dibuat. Mengingat
tulisan-tulisan yang biasa dan bisa saya tulis biasanya berdasarkan
hasil penelitian. Saya belum bisa membuat tulisan berupa kajian teori.
Entah belum bisa atau itu tadi, terlalu banyak alasan untuk tidak
menulis. Namun, satu pengalaman yang sering terulang. Biasanya saya
berhasil membuat dan menyelesaikan artikel justru pada saat-saat kritis
alias dead line. Kebiasaan buruk, namun terus berulang.
Yang penting artikelnya selesai kan?
Itu dulu tulisan kali ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Tulisan melawan diri he he.
Itu dulu tulisan kali ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Tulisan melawan diri he he.
Serang, 1 Maret 2015l
*** Sekadar informasi, Mbak Heni doktor UPI Bandung termuda lho.
https://www.facebook.com/heni.pujiastuti.54?fref=ts
0 Comment to "Menulis (3.2): Menulis Melawan Diri"
Post a Comment