Monday 19 December 2016

Menulis (3.2): Menulis Melawan Diri

Heni Pujiastuti
Dosen Universitas Tirtayasa Banten

MENULIS ibarat memindahkan file dari laptop ke hard disc eksternal. Laptop itu otak dan hard disc eksternal itu tulisnya. Informasi yang ada dalam file yang dipindahkan ke hard disc eksternal dapat terdokumentasi dengan baik manakala memori laptop mampu menampung informasi-informasi baru. Bahkan, proses penyimpanan informasi baru bisa lebih cepat karena beban otak terbebas dari rasa khawatir kalau-kalau informasi yang dipindahkan itu hilang (lupa).
 
Semakin banyak file yang dipindahkan ke hard disc eksternal, semakin banyak kapasitas memori yang tersisa untuk menerima dan mengolah informasi-informasi baru yang lebih up to date. Contoh kecil saja, bila kita hanya mengandalkan otak untuk mengingat nomor handphone seluruh anggota keluarga, saudara, sahabat, teman sekolah, teman organisasi, rekan kerja, dan lain-lain. Terbayang bukan, alangkah capeknya otak kita.

Terlalu banyak alasan untuk tidak menulis. Seperti banyak diceritakan dalam buku-buku dan obrolan-obrolan ringan orang-orang yang baru berniat, yang kagum tentang tulisan, maupun yang merasa punya potensi untuk menulis. Ya, banyak alasan untuk tidak menulis. Mulai dari tidak ada waktu, butuh suasana yang pas, dan butuh tempat yang nyaman. Eh, giliran ada waktu dan ketemu tempat yang nyaman, wah sayangnya sedang tidak mood. Semakin di-listing alasan-alasan untuk tidak menulis, semakin tidak mungkin kita menulis.

Seperti saya ini. Duh, bisa dibilang saat menulis tulisan ini, saya sembari tutup mata, tidak percaya diri. Alasan yang menggelayut di benak: Apakah yang akan saya tulis akan diamini orang? Apakah ide yang akan saya tuliskan menarik? Apakah orang yang akan membacanya mengerti apa yang saya maksud? Apakah tulisan saya dibutuhkan? Atau parahnya lagi, apa pentingnya tulisan saya? Jangan-jangan seperti ditulis Pak Ersis dalam buku Percaya Ngak Percaya Menulis Itu Mudah, kalau kodokpun tidak mau ‘bernyanyi’ lagi saking kesalnya melihat tulisan saya nanti.

Selain alasan-alasan yang sudah diungkap di atas, saya juga sering terperangkap dengan berbagai pertanyaan yang membuat saya tidak jadi menulis. Misalnya, jenis tulisan apa yang akan dibuat? Novel? Rasanya saya tidak akan mampu membuat alur cerita sebagus novel-novel yang pernah saya baca? Opini? Apa saya berani beradu opini dengan orang lain? Cerpen? Dari mana saya memulai ceritanya? Atau dongeng?

Duh, rasanya saya juga tidak bisa mendongeng. Kadang, saya merasa banyak ide-ide atau hal-hal ingin dituliskan. Bahkan ada beberapa episode kisah hidup saya sendiri yang sepertinya bisa menjadi pelajaran atau dapat menjadi inspirasi bagi orang lain. Tetapi, lagi-lagi saya bingung menuliskannya.

Setelah membaca beberapa buku Pak Ersis, saya tercambuk untuk melawan diri. Melawan alasan-alasan yang membelenggu untuk tidak menulis. Saya menanya diri sendiri: Bagaimana agar bisa menulis? Otak bawah sadar saya menjawab, simpan laptop di atas meja di ruang tamu, sediakan segelas kopi susu, sebotol air putih, dan sejumlah makanan kecil.
 
Saya memanjakan diri dengan memenuhi syarat-syarat itu. Setelah semua syarat terpenuhi, saya kembali bertanya: Apa kamu tidak malu dengan segala yang tersaji dan belum juga memulai menulis? Saya hanya tersenyum sendiri dan mulai menekan tombol-tombol keyboard. Inilah hasilnya he he. Namanya juga baru memulai menulis lagi tidak ada salahnya mencari cara yang paling nyaman untuk memulai. Mudah-mudahan setelah terbiasa dan terkena virus menulis, tidak perlu lagi syarat ini itu untuk menulis. Betul nggak?

Pengalaman pertama menulis, saya peroleh saat kuliah S1 di Lampung. Saya kuliah di fakultas yang mencetak calon-calon guru, tetapi sembari kuliah saya ikut kegiatan mahasiswa bidang jurnalistik, UKPM Teknokra. Saya sangat tertarik untuk bisa menulis dan bercita-cita menjadi jurnalis. Pernah tulisan saya menjadi topik utama di tabloid Teknokra. Ketika tulisan tersebut menjadi topik utama di tabloid tersebut, duh senangnya. Sueneeeng bingits. Tidak dapat dibayarkan dengan apa pun. Akibatnya, bertambah semangat untuk menulis, menulis, dan menulis.

Singkat cerita, seiring berjalan waktu dan semakin bejibunnya alasan untuk tidak menulis, saya semakin jauh dengan kegiatan menulis. Tetapi bukan berarti sama sekali tidak menulis, karena pada awal tahun 2014 saya masih berhasil membuat satu tulisan yang cukup menguras energi dan pikiran. Ya, tulisan itu berupa disertasi yang tebalnya lebih dari satu rim. Itu juga tulisan bukan? Maksudnya, saya ingin menulis hal lain yang lebih ringan, menyenangkan, tetapi tetap bermanfaat dan menginspirasi. Satu diantaranya, ya tulisan ini. Mudah-mudahan. Amin.

Hampir delapan tahun ini saya bekerja di sebuah institusi yang mencetak calon-calon guru. Semenjak bekerja saya berusaha tetap menulis. Biasanya sih menulis artikel hasil penelitian. Artikel tersebut diterbitkan jurnal nasional, internasional, atau diseminarkan pada forum nasional atau internasional yang kemudian artikelnya dimuat dalam prosiding seminar tersebut. Saya berusaha memacu dan memaksakan diri untuk dapat menghasilkan minimal dua atau tiga artikel untuk dimuat dalam jurnal dalam waktu satu tahun.

Terlalu kecil dan sedikit mungkin targetnya. Tetapi itu sudah cukup sulit bagi saya untuk konsisten dengan targetan yang dibuat. Mengingat tulisan-tulisan yang biasa dan bisa saya tulis biasanya berdasarkan hasil penelitian. Saya belum bisa membuat tulisan berupa kajian teori. Entah belum bisa atau itu tadi, terlalu banyak alasan untuk tidak menulis. Namun, satu pengalaman yang sering terulang. Biasanya saya berhasil membuat dan menyelesaikan artikel justru pada saat-saat kritis alias dead line. Kebiasaan buruk, namun terus berulang.

Yang penting artikelnya selesai kan?
Itu dulu tulisan kali ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Tulisan melawan diri he he.
 
Serang, 1 Maret 2015l

*** Sekadar informasi, Mbak Heni doktor UPI Bandung termuda lho.

https://www.facebook.com/heni.pujiastuti.54?fref=ts

Share this

0 Comment to "Menulis (3.2): Menulis Melawan Diri"

Post a Comment