Thursday 15 December 2016

Menulis (6.1): Menulis Plong … Alamak

Ersis Warmansyah Abbas

BANYAK hal dibaca. Dari yang remeh-temeh sampai yang serius. Membaca tabloid dengan sajian menggelikan sampai buku tentang Ibnu Rusyid yang begitu serius. Apalagi di ruang kuliah, dari wejangan dosen sampai diskusi saling adu argumen. Hmm, Keinchi Ohmae boleh membahas percaturan dalam The Borderless World dengan peringatannya. Dalam tarikan Indonesia, harus berbenah diri.

Betapa dalam kehidupan ini, banyak yang diinginkan, yang baik-baik semua. Tetapi, kehidupan menyata lain. Hidup sesungguhnya adalah perjuangan. Ada tantangan, ada kekecewaan, ada kesedihan, ada pula kesuksesan atau kegembiraan. Campur aduk. Kita harus tetap hidup.

Tangan beraksi, hidung mencium, mata melihat, telinga mendengar, apa saja yang dapat dijangkau. Semua ini saling berdesak meminta tempat di memori otak. Ada yang disimpan, dibiarkan lewat, atau ditolak. Macam-macam. Terserah kita menempatkannya.

Otak kita, bisa pula ranah rasa, digempur beragam hal setiap saat. Mana pula dari dalam diri, aneka keinginan saling berebut minta direalisasikan. Diapakan? Terserah masing-masing kita punya diri.

Ada yang mengeluarkannya melalui kepiawaian bicara, kalau tidak tertanggung berteriak. Konon, apa yang bergejolak tersebut, kalau tidak dikeluarkan bisa bikin hang, membuat stres, atau apalah namanya. Puncaknya gila.

Wahai pembaca Budiman. Tidak salah bukan manakala disalurkan dengan menulis? Tentu, apa-apa yang dipikirkan, apa-apa yang dirasakan, apa-apa yang dimaui, tidak layak begitu saja dikeluarkan. Ada filter, ada pertimbangan. Begitulah seharusnya.

Hasilnya, manakala menjelma menjadi tulisan, duh nyaman. Plong. Terserah, mau dijadikan catatan pribadi atau dipublikasikan, soal pilihan saja. Yang penting, begitu menjadi tulisan, pikiran nyaman. Pernahkah mengalami hal serupa? Kalau ya, menulis jalan kesehatan jiwa dan raga. Dalam hidup ini yang dicari, satu diantaranya, kenyamanan. Kalau menulis memberi kenyamanan kenapa dihindari?

Bagi saya, itulah yang dirasakan begitu selesai menulis. Kalau begitu, menulis itu egois ya, demi kenyamanan diri sendiri. Bisa jadi. Tetapi, bukankah kalau orang lain dapat pula merasakan kemanfaatannya positif adanya?

Yaps, menulis dapat menjadi terapi diri. Minimal mengurangi beban pikiran, hantaman perasaan, atau menjinakkan ingin yang mungkin tidak terealisasikan. Menulis mendatangkan senang. Karena itu mari jadikan menulis hal menyenangkan.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (6.1): Menulis Plong … Alamak"

Post a Comment