Thursday 15 December 2016

Menulis (5.3): Menulis Dialog Diri

Ersis Warmansyah Abbas

DALAM Ersis Writing Theory, sekalipun ada yang mengesankan, anti diskusi, anti dialog, atau anti intervensi hal-hal di luar diri (pikiran), sebenarnya tidak demikian. Mendiskusikan ‘calon’ tulisan dipahami tidak produktif dalam artian merusak laju menulis. Kalau tulisan telah menjadi, kalau perlu galakkan diskusi dalam rangka perbaikan.

Menulis adalah diskusi ‘internal’, berdialog dengan ‘diri’. Ketika pikiran terpantik atau indra terespon sesuatu, pikiran akan ‘mendialogkan’, pantas apa tidak ya? Kalau diloloskan, cukup bahan apa tidak? Lolos lagi, analisisnya rasional apa tidak? Kalau ditulis bermanfaat apa tidak? Dan seterusnya. Dialog terjadi sepanjang proses menulis.Tulisan adalah hasil dialog, hasil diskusi diri setelah melalui filter, pertimbangan ini itu. Tulisan adalah konklusi. Karena itu, mustahil tulisan seseorang sama dengan lainnya. Impossible. Seseorang adalah orang lain dari seseorang yang merupakan individu, individual differences. Khas. Unik. 

Begitulah. Ketika seseorang tidak memahami diri, tidak memahami kemampuan diri (dalam menulis), apalagi diiming-iming ‘nafsu besar’, saking bersemangat, tanpa dialog, langsung menulis, apa yang terjadi? Ejakulasi dini menulis. Menulis menata, mengukur, mengevaluasi diri. Apabila seseorang tidak mengetahui dirinya, akan sulit menulis. Menulis, menuliskan diri.

Saya sangat gembira, ketika EWT dengan apungan dasar, menulis belajar, menulis pembelajaran, ditangkap hakikatnya oleh banyak pesharing. Dengan menulis akan diketahui, apa-apa yang kurang, yang perlu ditambah atau diperdalam. Berbeda dengan mereka yang bersandar pada kecanggihan tulisan Si Anu, seolah-olah menjadi Si Anu. Larutlah dalam lamunan. Pasti sudah, dia ternyaman. Jangankan menulis, justru kehebatan

Si Anu dipukulkan pada penulis pemula sekalipun. Dasar.
Saya pernah dimaki, bersimpati pada Yahudi. Apa pasal? Memaki-maki Yahudi menyedot energi, mengembangkan energi negatif. Berakibat benci, marah, sinis, sampai mbahnya. Hasilnya?

Yahudi semakin leluasa memproduksi pikiran, yang lucunya, dipelajari. Yahudi semakin gencar memproduksi keperluan kehidupan, yang diburu-buru saking canggihnya. Yahudi merajalela mendapat Nobel, Si Pembenci Yahudi menulis tentang siapa yang mendapatkan. Film Yahudi, perbankan Yahudi, internet Yahudi. Bukan, sekali lagi bukan, belajar dari kehebatan Yahudi. Buruk rupa kaca dibelah.

Yahudi makhluk Allah SWT. Allah pasti tidak berkesia-siaan mencipta. Mana tahu, kehebatan Yahudi amsal agar Muslim belajar, lebih giat belajar. Energi terkuras untuk tidak berbuat, tapi memaki-maki. Inga’, inga’, inga’ semasa kejayaan Islam di Bagdad, Damaskus, dan Andalusia, Yahudi ‘tidak bunyi’. Mereka belajar dan mempelajari kehebatan Muslim. Kini terbalik. Dialog diri. Salah? Ntar diperbaiki. Enak to, nyaman to. Mari tak gendong.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.3): Menulis Dialog Diri"

Post a Comment