Monday 19 December 2016

Menulis (3.1): Menulis Dalam Persahabatan

Edy Wiharjo
Dosen Universitas Jember

kerap kita terperangkap
pada paruh pendakian
lunglai terkurung badai
sering kita terpelanting
tergusur kekuatan
lelah terpuruk kalah
betapa kecil kita
tak lebih dari buih
di laut lepas, tanpa tepi
seolah zarah
di luas langit, tanpa arti
tanpa-Nya
karena kendala pasti ada
takkan usai cuma dengan
lari dari lintasan
dakilah daki
betapapun tinggi
Ia kan ada, di tengah kita
Galau.

Ini yang Ian rasakan manakala berada di antara buku-buku, terutama buku baru. Terlebih lagi, dalam pikiran seharusnya Ian yang menulisnya, bukan penulis lain. Panas. Terbakar. Resah. Gelisah. Seperti akan meraih sesuatu yang begitu dekat, namun direnggut orang. So, dalam beberapa bulan ini, Ian memilih tidak mengunjungi perpustakaan atau toko buku.
 
Namun, siang ini kedua anak Ian, Ivan dan Vania, mengajak ke tempat “larangan” tersebut karena mereka pulang lebih awal. Seusai ujian akhir semester, kegiatan di sekolah hanya class meeting atau lomba antar kelas.

Vania minta diantar ke Perpustakaan Daerah untuk meminjam koleksi Kecil-Kecil Punya Karya untuk mengisi liburan minggu depan. Setelah dari perpustakaan, Ivan minta mampir ke Gramedia, karena sedang ada pameran lego di pelataran Gramedia. Nah, dengan terpaksa Ian berada di dua tempat “jahanam” itu.

Ketika membaca judul-judul buku di rak buku, Ian meradang. Nama penulis buku-buku itu seharusnya Ian, bukan nama orang lain.

Sebenarnya, Ian sudah menulis dua buku. Sudah diterbitkan dan diedarkan. Bahkan sudah dibaca sebagai referensi dan digunakan para mahasiswa.
 
Pertama, Pembelajaran Berbantuan Komputer produk akhir penelitian Dosen Muda yang didanai oleh Dikti. Sudah digunakan sebagai buku ajar pada perkuliahan matakuliah Pembelajaran Berbantuan Komputer.
 
Kedua, Algoritma Pemrograman ActionScript produk akhir dari hibah penulisan buku ajar bagi dosen. Sudah digunakan sebagai buku ajar pada perkuliahan matakuliah Algoritma Pemrograman.

Namun, Ian masih memiliki mimpi untuk menulis buku, diterbitkan, dan diedarkan secara nasional. Bukan sekedar untuk kalangan terbatas – mahasiswa sendiri, di kampus sendiri.
Namun, Ian bukan pemimpi yang baik. Ian tak ingin sebatas mimpi.
 
Zahra, salah seorang teman kuliah, membaca beberapa komentar puitis di akun Facebook Ian. Ketika mereka bertemu di kampus, Zahra bertanya,
 
“Suka nulis puisi?”
”ya”, jawab Ian.
“Aku join dengan salah satu grup kepenulisan di Facebook, Grup Persahabatan Menulis atau disingkat GPM. Kami menulis puisi bareng-bareng dan diterbitkan menjadi antologi puisi Deru Awang-awang.
Ian menyimak dengan antusias.
“Berikutnya, kami diundang untuk menulis puisi dengan tema cinta tanah air. Even dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Puisi terpilih akan diterbitkan menjadi buku Antologi Puisi Tanah Air.”
“Oke, invite me”, pinta Ian.

Zahra online, kemudian meng-add akun FB Ian. Dalam hitungan menit, admin GPM, Mahbub, sudah meng-approve Ian. Setelah itu, Ianpun mengakses alamat laman grup yang direferensikan oleh Bunda Zahra.
Pada hari itu juga, Ian mengirim dua puisi, Bidak dan Elang, untuk disertakan. Beberapa hari kemudian, admin GPM menyatakan puisi Ian layak dan termasuk diantara puisi-puisi dalam Antologi Puisi Tanah Air.

Di GPM Ian merasa enjoy. GPM digagas oleh Ersis yang juga menggagas Gerakan Indonesia Menulis. Beberapa bukunya mengenai menulis telah terbit. Seminar kepenulisannya, di beberapa kota, dihadiri ratusan peserta.

Di GPM, Ian bertemu secara online dengan sejumlah penulis. Diantaranya, Hengki penulis novel Van Loon, Haris penulis novel Sahaja Cinta, dan ustadz Abrar penulis novel Laila. Kecuali Bunda Zahra, teman sesama mahasiswa pascasarjana, Ian belum pernah bertemu dengan teman-teman Writers.

Padahal, diantara mereka, sudah kopi darat. Ersis dua kali Tour de Jatim memotivasi penulis di beberapa kampus dan pesantren. Tour de Jatim menghasilkan buku bersama Tour de Jataim: Indonesia Menulis dan Tour de Jatim: Indonesia Menulis: Perjalanan Spiritual. Bertemu dengan teman-teman Writers di Malang, Jombang, Surabaya, dan Madura.
 
Ian hanya berinteraksi secara online. Saling menguatkan, saling “mengompori” (memotivasi), saling men-tag (menandai) dan berusaha pertamax; istilah bagi komentar urutan pertama kali dari suatu postingan.
Dalam persahabatan online, Ian belajar dan menyerap ilmu dari pengalaman Writers. Diantaranya, bahwa menulis adalah suatu keterampilan. Belajarlah menulis dengan menulis. Bukan hanya membaca teori menulis. Tidak perlu takut salah menulis. Kalaupun salah, perbaiki.

Berdasarkan masukan mereka, Ian telah menulis artikel “Sarjana Mendidik” dalam Antologi Indonesia Indah, menulis “Aku, Buku, dan Cinta Pertamaku” dalam Antologi My First Love, dan menulis “Ya Allah Berikan yang Terbaik” dalam Antologi Kisah Banyak Jalan Menuju Pelaminan di Proyek Nulis Buku Bareng (PNBB), serta menulis cerpen terbaik PERTAMA “Bagimu Cabeku, Bagiku Kerupukku” dalam Antologi The Damn Delicious.

kala mentari tak lagi kilau
mengapa larut dalam galau
padahal selepas petang
langit penuh kilauan bintang
dan berdoalah esok pagi
mentari kan bersinar lagi

Salam menulis.

https://www.facebook.com/edyjo?fref=ts

Share this

0 Comment to "Menulis (3.1): Menulis Dalam Persahabatan"

Post a Comment