Tuesday 13 December 2016

Menulis (5.7): Hantu Bakat

Ersis Warmansyah Abbas
Membaca tulisan penulis terkenal keinginan menulis saya terpantik namun begitu dilakukan ngadat. Saking frustasi memvonis diri, tidak berbakat menulis. Apakah bakat menjadi penentu keberhasilan seseorang menulis?  
BAKAT? Makhluk apa itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998; 70) kata bakat pada arti ketiga: dasar (kepandaian, sifat, dan pembawaan yang dibawa dari lahir. Menulis khusus bagi mereka yang berbakat? Entahlah.
 
Pengalaman sharing dengan berbagai kalangan, entah dari mana asal-muasal ‘tembok’ penghenti belajar menulis tersebut, ada mantra kata: teori, mood, bakat, dan seterusnya yang dijadikan sebagai alat untuk menakut-nakuti menulis. Tertanam, atau ditanamkan dengan sadar atau tidak, sehingga menjadi penghalang.
Perihal teori banyak dibahas dalam tulisan-tulisan saya. Teori adalah alat (tool) dan karenanya jangan dijadikan pembunuh kehendak menulis. Kalau tanpa alat bisa kenapa tidak?

Begitu juga hantu mood. Mood suasana hati. Kalau lagi mood, in the mood menulis lancar. OK. Berpikir ala EWT bukan mood yang ditunggu, menulis tidak tergantung mood, tetapi suasana hati yang disenangkan sehingga selalu in the mood. Menulis menyenangkan, menulis dengan gembira, menulis tanpa beban, dan seterusnya. Kita mengendalikan mood, bukan dikendalikan mood.

Menulis terkarena bakat? Dipastikan panjang diskusinya kalau dibahas. Bisa jadi, berpuluh-puluh buku, bahkan beberapa disertasi telah ditulis dalam kaitannya. Halnya adalah kenapa mempersoalkannya ‘berbuih-buih’ atau sampai ‘berdarah-darah’. Serahkan saja pada mereka yang bergelut di ranah teoritis. Kita menulis sajalah. Dan, memahami bakat dari sisi praktisnya.

Pernah membaca Asmaul Husna? Sifat-sifat Allah SWT diinstalkan ketika roh ditiupkan. Diistilahkan naluri, bakat, atau apalah begitu. Saya bukan psikolog yang mempelajari teorinya. Maknanya: setiap manusia dihibahi Asmaul Husna dan Allah SWT diberi piranti otak dengan setriliun saraf yang kita nyatakan sebagai potensi. Yaps, potensi diri manusia luar biasa. Setiap manusia, born to be a genius.

Lionel Messi pemain bola hebat awal abad ini. Messi berbakat main sepakbola? Ya, iyalah. Apakah serta-merta menjadi pemain hebat? Tidak kawan. Melalui latihan berpeluh-peluh. Potensi atau bakat dikembangkan, dilatih, alias tidak terbiarkan menciut. Begitu juga menulis. Menulis kombinasi serasi olah pikiran, perasaan, naluri dari adonan pengetahuan, pengalaman, dalam adukan pikiran yang dinyatakan dalam tulisan. Caranya?

Menulis. Menulis sebagai keterampilan hasil melakukan; menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis dulu baru ketahuan berbakat atau tidaknya. Tulisanlah yang membuktikan, seseorang berbakat atau tidak.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.7): Hantu Bakat"

Post a Comment