Thursday 15 December 2016

Menulis (5.4): Menulis Membangun Kompetensi

Ersis Warmansyah Abbas

ISTRI saya me-SMS. “Da, maaflah. Lampu depan mobil pecah, kap mesin peot. Tetapi, sudah diperbaiki.” Besoknya isi SMS lain lagi: “Azta diantar pakai mobil. Visi tidak mau, dia ikut Antra.” Azta, anak bungsu saya, kelas I SD, sore menelepon: “Pak Pak, ulun jadi kalo ke Bandung.” Lalu, berkisah kesana-kesini. Biasalah. Anak perempuan banyak maunya.
Saya terkenal penjawab SMS sangat praktis. “Yap. Ongkos belajar”. Apa hubungannya dengan menulis? Sabar wahai dangsanak.

Saya suka mengibaratkan ‘perjalanan’ menulis dengan menyetir mobil. Saya yakin, semakin hari istri semakin terbiasa menyetir. Dan , ini dia, kalau sudah fasih, tidak memikir bagaimana memutar setir agar kepala mobil tidak mencium garasi, atau menyetir sembari menerima telepon. Berlaku otomatis.

Pada hal-hal tertentu, tidak memikirkan yang akan ditulis.“Mar”, kata saya kepada Syamsuwal Qomar yang asyik mendata buku: “Sebutkan satu kata.” Dijawab: “Seronok.” Tangan menari di keyboard komputer. Arti kata seronok di KBBI, dan seronok sebagaimana ditulis Kamus Dewan (Malaysia) bergabung begitu saja. Ketika ke Malaysia terpingkal-pingkal ketika orang Malaysia memuji penampilan Band Gigi, Dewa, Ungu, dengan ‘seronok’. Orang Indonesia memahami terbalik dari apa yang ditulis di KBBI. “Berapa menit?” Ternyata memecahkan rekor menulis artikel, hanya 9 (sembilan) menit.

Banyak contoh lainnya. Pernahkah menghapal jalan ke kampus atau kantor? Tidak bukan? Tetapi, ingat, paham penampakkan jalan sampai detailnya. Dari kantor, tanpa sadar sampai di rumah. Perjalanan itu tidak dipikir, tetapi dilakukan. Justru, dalam perjalanan bercanda, menelepon kesana-kemari, atau melamun. Kenapa ya? Fasih. Sesuatu yang difasihkan, menjadi kompentensi (refleks). Tidak perlu dipikir.

Kompetensi menulis, apalagi menulis reflektif hanya dimungkinkan kalau melakukan. Menulis, menulis, dan terus menulis. Kenapa ada orang canggih berpikir, tetapi menuangkan pikiran (menulis) tergolong pandir?

Yang terlatih fasih berpikir, bukan menuangkan pikiran. Artinya, kompentensi yang dipunyai sesuai dengan apa yang dibiasakan. Jangan coba-coba menganggap enteng menulis populer. Boleh saja hebat menulis disertasi, tunggu dulu untuk media umum. Buktikan.

Sekali lagi, membangun kompetensi menulis dengan melakukan. Bukan, berguru atau berdebat. Hal tersebut sebaiknya dilakukan sebelum atau sesudah menulis. Kalau saat menulis, dijamin tulisannya tidak menjadi, minimal tersendat-sendat. Menulis ya menulis saja. Memasihkan menulis, melatih menulis, ya melakukan, dengan menulis. Menulis Tanpa Berguru. Saya menulis tulisan ini berdasarkan pengalaman, bukan dicaplok dari Teori Menulis. Lakukan. Nikmati buktinya.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.4): Menulis Membangun Kompetensi"

Post a Comment