Thursday 15 December 2016

Menulis (2.6) Menulis Melawan Bodoh

Ersis Warmansyah Abbas

SUSAH menuliskan pengalaman? Kalau susah menuliskan apa yang ada di pikiran (pemikiran) atau apa yang dialami, lucu saja begitu. Pengalaman itu kan kita yang mengalami, ada di pikiran kita, di memori kita. Kalau menuliskan pikiran atau pengalaman orang lain susah baru masuk akal. Tetapi, kenapa ya?

Kalau dipikir secara radiks pasti sampai pada simpulan, mereka yang gagal, menuliskan pikiran atau pengalaman, tersebab diri sendiri. Lho kog iso? Lah iyalah. Yang mempunyai pikiran itu siapa? Yang mempunyai pengalaman itu siapa? Yang berkehendak menulis itu siapa? Kita. Sampeyan kan?

Kalau demikian adanya, kalau tidak mampu, ya jangan beralasan ini-itu dong. Psikolog punya nasehat, jangan melempar bola, locus external. Diri yang tidak berkemampuan, hal di luar diri yang dijadikan korban. Dengan kata lain, akui kekurangan diri. Itu kunci pokoknya. Kalau sudah menyerah, tahu diri, mari perbaiki.

Mengakui kekurangan itu yang susah. Pengetahuan banyak, pengalaman apa lagi. Sekolah formal dijalani; menimba ilmu, mendalami bagaimana berpikir, bagaimana mengeluarkan pikiran. Ribuan kosakata dipunyai, berjibun konsep dihimpun, teori-teori dimamah, pintar pula mendiskusikannya. Yang tidak dilakukan menuliskannya.
Lalu dicari aneka alasan, dari sibuk sampai, kalau ditulis tidak mendatangkan keuntungan finansial. Yo opo rek.

Apabila menjadi guru atau dosen menjadi tugas rutin mongoreksi pekerjaan peserta didik. Duilah, torehan merah lebih tajam lebih meyakinkan, memuaskan diri. Tapi, kalau menuliskan pikiran sendiri beralasan seribu bahasa. Wuih, menyembunyikan kebodohan.
Saya merasa beruntung. Allah SWT ‘mencubit’ titik sadar. Mengakui kebodohan. Lalu, berusaha membaca sebanyak mungkin, mengamati hal-hal disekitar dan yang dialami.

Pernah menangis menatap bintang-bintang. Entah dari mana, seolah ada bisikan, itu Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT. Belajarlah dari alam, dari ciptaan Sang Maha Pencipta.

Ampuni kebodohan hamba ya Allah. Tunjukkan hamba ke jalan memahami kebesaranMu, melalui tanda-tandaMu. Yaps, mengakui kebodohan, melebarkan pandangan pikiran dan qalbu, bahwa ada yang super besar, ‘guru’ sesungguhnya; berguru kepada Tanda-Tanda Allah SWT. Mana tahu nanti berguru langsung kepada Allah SWT. Amin.

Menulis memerlukan asupan. Asupan informasi dan pengetahuan didapat dari belajar, belajar dari mana, apa, dan dalam kondisi apa pun. Rangkaian tersebut memantik pemikiran, berbuah ide yang menjadi amunisi menulis.

Menulis memulai dari sadar diri, mengakui kebodohan. Menulis belajar, melawan kebodohan diri. Menulis nyaman menulis mudah.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (2.6) Menulis Melawan Bodoh"

Post a Comment