Ersis Warmansyah Abbas
Saya suka menulis realitas di linkungan kehidupan, celakanya baru beberapa alinea terhenti. Beberapa hari kemudian dilanjutkan. Setelah dibaca meragukannya, sebab idenya berbeda dengan ide awal. Diri sendiri saja meragukan apalagi orang lain. Bagaimana Bang?
ADA penulis pemula yang merasa dirinya hebat dan menganggap menulis
dapat dilakukan sekelabat. Apa yang dipikirkan, apa yang dilihat, atau
dibanding-bandingkan dapat ditulis dengan mudah. Bahkan, ada yang begitu
membaca tulisan orang di pikirannya muncul: “Ah segitu aja. Aku bisa
menulis lebih hebat.” Dia yakin dia mampu menulis lebih hebat. Dan, eit
langsung menuliskan idenya. Akibatnya? Selesai satu dua alinea mandek.
Merasa diri hebat, berkemampuan dan yakin berhasil manakala melakukan
sesuatu tentu positif. Mindset harus dibangun dengan keoptimisan. Satu
hal yang perlu diingat, keyakinan saja tidak cukup. Tepatnya, diperlukan
latihan. Menulis, menulis, dan terus menulis, membangun keterampilan
dan memasihkan menulis.
Manakala seseorang memperhatikan hal-hal di lingkungan dengan seksama
pada dasarnya modal untuk menulis. Hanya saja begitu ditulis mandek.
Ketika dilanjutkan, eit ide dan konsep berbeda. Tulisan tidak tuntas.
Hal tersebut berulang dan terus berulang. Memprihatinkan, Si Penulis
Hebat tidak mau belajar, apa penyebab kemandekan. Siapa yang tidak mau
belajar adalah manusia sombong. Sok hebat.
Kalau dicermati, penyebab mandek menulis, setidaknya ditunjang tiga penyebab:
Pertama, bahan yang akan ditulis belum memadai. Akibatnya, menulis
tentang sesuatu tidak paham istilahnya, apa maknanya, dan seterusnya.
Sibuk membaca ini membaca itu. Pantas saja menulisnya mandek. Sibuk
mencari bahan.
Kedua, pisau analisis dalam pengembangan ide tumpul. Menulis tentang
fenomena sosial atau tentang kemiskinan, tetapi tidak didukung
pengetahuan teoritis dan pengalaman empirik memadai. Akibatnya, mandek.
Ditambah tidak mempelajari logika (mantiq) akan lengkaplah perasaan sok
hebat, tidak mau belajar.
Ketiga, menulis sebagai keterampilan didapat dari melakukan. Menulis,
menulis, dan terus menulis berbuah keterampilan. Wualah, menulisnya
tidak jelas, malas belajar, malas membiasakan alias sok hebat, jadilah
tulisan terhenti, tidak tuntas. Kalau pun menjadi, jadilah tulisan
‘lucu-lucuan’.
Sebagai illustrasi saya pernah diajari seseorang yang merasa dirinya
hebat menulis puisi dan cerpen. Untung saja tidak novel. Padahal,
produksi puisi dan cerpen saya lebih semlohay. Si Penasehat tamat SMA
saja terbirit-birit. Tetapi, sok hebat. Secara akademik pengetahuan saya
pasti lebih terjamin, kalau membaca (ototidak) bisa jadi sama gilanya.
Membaca logika tulisannya sungguh tersenyum malu.
Artinya, calon penulis (penulis pemula) menatap dirilah; menatap
bayang-bayang. Jangan pernah merasa diri hebat. Jadilah ”Manusia
Pembelajar”. Pembelajar menulis adalah mereka yang mempelajari bahan,
logika paparan, atau langgam bahasa, tetapi juga tulisannya. Dari apa
yang ditulis. Bukan belajar teori atau ujaran hebat tentang menulis
saja.
Akan halnya illustrasi pada awal tulisan ini, saya berkeyakinan dia akan
menjadi penulis hebat. Simak kalimatnya: Diri sendiri saja meragukan
apalagi orang lain. Bagaimana dong Bang?
Mereka yang bertanya, mempertanyakan dirinya bukanlah orang sok
hebat. Lebih penting, mengambill manfaat dari pertanyaan. Manakala
berkeinginan tidak mandek menulis, perbanyak membaca; timbun
pengetahuan. Pelajari logika (bahasa) sehingga analisisnya tidak
aneh-aneh. Pamungkasnya bangun kebiasaan menulis dan belajar dari lakuan
menulis.
Sebagai illustrasi, kepada seorang pe-sharing saya mewajibkan membaca
sebanyak-banyaknya karya orang, karya penulis tingkat kampung atau
mancanegara untuk mengambil hal positifnya. Haram mencela. Dengan
demikian menumpuk pengetahuan, melatih mengendalikan diri, plus
membiasakan menulis. Alhamdulillah. Dia berterima kasih dan melakukan.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (5.6): Berlagak Hebat"
Post a Comment