Tuesday 13 December 2016

Menulis (5.6): Berlagak Hebat

Ersis Warmansyah Abbas
Saya suka menulis realitas di linkungan kehidupan, celakanya baru beberapa alinea terhenti. Beberapa hari kemudian dilanjutkan. Setelah dibaca meragukannya, sebab idenya berbeda dengan ide awal. Diri sendiri saja meragukan apalagi orang lain. Bagaimana Bang?
ADA penulis pemula yang merasa dirinya hebat dan menganggap menulis dapat dilakukan sekelabat. Apa yang dipikirkan, apa yang dilihat, atau dibanding-bandingkan dapat ditulis dengan mudah. Bahkan, ada yang begitu membaca tulisan orang di pikirannya muncul: “Ah segitu aja. Aku bisa menulis lebih hebat.” Dia yakin dia mampu menulis lebih hebat. Dan, eit langsung menuliskan idenya. Akibatnya? Selesai satu dua alinea mandek.
 
Merasa diri hebat, berkemampuan dan yakin berhasil manakala melakukan sesuatu tentu positif. Mindset harus dibangun dengan keoptimisan. Satu hal yang perlu diingat, keyakinan saja tidak cukup. Tepatnya, diperlukan latihan. Menulis, menulis, dan terus menulis, membangun keterampilan dan memasihkan menulis.

Manakala seseorang memperhatikan hal-hal di lingkungan dengan seksama pada dasarnya modal untuk menulis. Hanya saja begitu ditulis mandek. Ketika dilanjutkan, eit ide dan konsep berbeda. Tulisan tidak tuntas. Hal tersebut berulang dan terus berulang. Memprihatinkan, Si Penulis Hebat tidak mau belajar, apa penyebab kemandekan. Siapa yang tidak mau belajar adalah manusia sombong. Sok hebat.

Kalau dicermati, penyebab mandek menulis, setidaknya ditunjang tiga penyebab:
 
Pertama, bahan yang akan ditulis belum memadai. Akibatnya, menulis tentang sesuatu tidak paham istilahnya, apa maknanya, dan seterusnya. Sibuk membaca ini membaca itu. Pantas saja menulisnya mandek. Sibuk mencari bahan.

Kedua, pisau analisis dalam pengembangan ide tumpul. Menulis tentang fenomena sosial atau tentang kemiskinan, tetapi tidak didukung pengetahuan teoritis dan pengalaman empirik memadai. Akibatnya, mandek. Ditambah tidak mempelajari logika (mantiq) akan lengkaplah perasaan sok hebat, tidak mau belajar.

Ketiga, menulis sebagai keterampilan didapat dari melakukan. Menulis, menulis, dan terus menulis berbuah keterampilan. Wualah, menulisnya tidak jelas, malas belajar, malas membiasakan alias sok hebat, jadilah tulisan terhenti, tidak tuntas. Kalau pun menjadi, jadilah tulisan ‘lucu-lucuan’.

Sebagai illustrasi saya pernah diajari seseorang yang merasa dirinya hebat menulis puisi dan cerpen. Untung saja tidak novel. Padahal, produksi puisi dan cerpen saya lebih semlohay. Si Penasehat tamat SMA saja terbirit-birit. Tetapi, sok hebat. Secara akademik pengetahuan saya pasti lebih terjamin, kalau membaca (ototidak) bisa jadi sama gilanya. Membaca logika tulisannya sungguh tersenyum malu.

Artinya, calon penulis (penulis pemula) menatap dirilah; menatap bayang-bayang. Jangan pernah merasa diri hebat. Jadilah ”Manusia Pembelajar”. Pembelajar menulis adalah mereka yang mempelajari bahan, logika paparan, atau langgam bahasa, tetapi juga tulisannya. Dari apa yang ditulis. Bukan belajar teori atau ujaran hebat tentang menulis saja.
 
Akan halnya illustrasi pada awal tulisan ini, saya berkeyakinan dia akan menjadi penulis hebat. Simak kalimatnya: Diri sendiri saja meragukan apalagi orang lain. Bagaimana dong Bang?

Mereka yang bertanya, mempertanyakan dirinya bukanlah orang sok hebat. Lebih penting, mengambill manfaat dari pertanyaan. Manakala berkeinginan tidak mandek menulis, perbanyak membaca; timbun pengetahuan. Pelajari logika (bahasa) sehingga analisisnya tidak aneh-aneh. Pamungkasnya bangun kebiasaan menulis dan belajar dari lakuan menulis.

Sebagai illustrasi, kepada seorang pe-sharing saya mewajibkan membaca sebanyak-banyaknya karya orang, karya penulis tingkat kampung atau mancanegara untuk mengambil hal positifnya. Haram mencela. Dengan demikian menumpuk pengetahuan, melatih mengendalikan diri, plus membiasakan menulis. Alhamdulillah. Dia berterima kasih dan melakukan.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.6): Berlagak Hebat"

Post a Comment