Thursday 15 December 2016

Menulis (2.8) Refleks Menulis

Ersis Warmansyah Abbas

PAGI di Banjarbaru cerah. Tiga bulan kuliah di Bandung terbiasa bangun subuh, walau jam tidur semakin berkurang. Kemarin (17 November 2009) hujan mengguyur deras. Selesai kegiatan pagi, mengantar Azta (anak terkecil) ke SD favorite di kota kami dan Visi ke Pustaka Kota Banjarbaru mengikuti kegiatan. Kok ditulis?

Bagi orang lain tidak penting. Bagi saya penting. Antra yang kini Ketua OSIS SMA I Banjarbaru sejak TK, SD, SMP dan SMA tidak pernah saya antar. Apalagi, mengantar istri ke pasar. Nah, pagi kemarin dan pagi tadi mengantar mereka ke sekolah. Wualah, ternyata teman-temannya banyak yang diantar.

Saya tidak mau mengantar karena berkeyakinan, anak-anak dari kecil harus belajar melakukan tanggung jawab kehidupannya. Itu soalnya. Saya tidak suka anak-anak memakai barang-barang saya, apa pun jenisnya. Dia harus memakai handuk, gelas, atau TV sendiri.

Berpisah tiga bulan, membalas rindu lain lagi ceritanya. Ada perubahan cara pandang.

Begitulah. Pukul 08.00, saat asyik menulis Qomar dan Udin, kru Bandjarbaroe Post datang. Agenda, ke PDAM Bandarmasih dan FKIP Unlam. Wualah mobil mogok. Rupanya, aki mobil tidak ngisi. Tiga bulan tidak dipakai. Setelah membeli aki baru, ke PDAM dan ke FKIP. Sekembali langsung ke Bati-Bati mencek empu jari kaki yang ke sandung batu. Kata Udin, di Bati-Bati ada ahlinya. Ternyata benar.

Sepanjang perjalanan kami sharing menulis. Kehidupan memerlukan hijrah. Kehidupan bukanlah sesuatu yang berulang, atau pengulangan semata. Kalau demikian adanya alangkah membosankannya. Hijrah dalam arti berubah ke arah lebih baik. Mulai dari memandang pendidikan anak dan keluarga, dan hal menulis. Qomar dan Udin diberi bocoran tentang menulis reflektif. Maksudnya?

Ketika menulis sudah terbiasa, kita tidak memerlukan pengerahan pikiran. Kata, kalimat, atau apalah namanya menjadi begitu saja. Bisa heran bila dipikir; dari mana datangnya, kok menjadi begitu saja. Begitu ada ide, otomatis otak bekerja dan terjadilah proses menulis di otak untuk disalin menjadi tulisan.

Oh ya, sambut Qomar. Udin yang baru enam bulan bergabung, manggut-manggut. Bila membaca menjadi habit, cermat memindai tangkapan indra, otak dioperasikan, ide datang begitu saja. Terjadi saling keterhubungan dan pergumulan di ranah otak menjadi formula tulisan, seketika. Salin. Jadilah, tulisan.

Menulis reflektif, menjadi kompetensi apabila menulis dilakukan terus-menerus. Kita tidak perlu berpikir dimana posisi rumah atau kantor, sebab sudah menyatu dengan pikiran.
Yaps, saya berkeinginan, memapar hal aplikatif dalam tulis-menulis menuju menulis reflektif. Jangan heran, pada bab berikut, bergeser genre. Sajian buku merangsang biar ejakulasi menulis enyah. Insya Allah.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (2.8) Refleks Menulis"

Post a Comment