Ersis Warmansyah Abbas
Pak, bagaimana bisa rutin menulis, tugas begitu banyak. Membaca buku. Mengambil intinya, menulis makalah, mamaparkan dan mempertahankan. Begitu ”makanan” sehari-hari. Sehabis kuliah membuat proposal, meneliti, dan menulis skripsi. Tidak ada waktu Pak. Begitu biasanya keluhan mahasiwa saya.
PADUAN hebat dalil mereka yang membangun kefasihan untuk tidak
menulis dengan meluluhkan dirinya, membangun kemampuan berkomentar,
adalah paduan beralasan dan berkilah. Perihal komentar dan berkomentar
telah dipaparkan pada tulisan terdahulu.
Simak pikiran, muatan isian dan tulisan teman dekat Sampeyan. Kalau
orangnya banyak pandir (ngomong doang), hobi mengkrtitik tulisan orang,
bersemangat mencari-cari kesalahan dan kelemahan tulisan temannya, bukan
tidak mungkin dia berkemampuan kerdil menulis. Apalagi, ya apalagi,
kalau diminta menulis atau dikritik tentang karya tulisnya, seketika
mampu memberikan alasan dan kilahan yang luar biasa logisnya.
Seolah-olah apa yang diargumennya benar adanya. Padahal, tidak lain
tidak bukan sebagai apologia belaka.
Harap dicatat manakala seseorang cerdas ”menggoreng” alasan ini-itu,
dan menukarnya dengan wejangan-wejangan tentang menulis, dipastikan
seseorang tersebut lemah kemampuan menulisnya. Memang, ada penulis yang
suka memebri ”ceramah”, tetapi tidak terus-menerus. Kalau demikian
adanya, kapan dia menulis tak iye?
Kalau boleh menyimpulkan, penulis adalah mereka yang melakukan
(menulis), bukan yang kehidupan hanya ceramah doang. Penulis adalah
mereka yang tidak sempat atau jarang beralasan atau berkilah, sebab
waktunya dimanfaatkan untuk membaca dan menulis. Lalu bagaimana penulis
membangun argumennya? Dengan tulisan, dengan karya tulisnya. Mereka yang
mengandalkan alasan dan kilahan kan tidak sempat menulis, dan jadilah
alasan dan kilahan penggantinya.
Dalam pengembangan Ersis Writing Theory dua hal tersebut diganyang
agak keras. Sebab, manakala seseorang terjerembab pola pikir dan pola
tindak beralasan dan berkilah, dia akan berkesusahan menulis dan
mustahil berkarya (tulis). Kalau dilatih menulis, yang mengemuka alasan
ini itu atau kilahan ini-itu.
Yang diperlukan menulis dan hasilnya tulisan. Tidak sesuai antara yang dibutuhkan dengan yang dikerjakan dan hasilnya.
Ketika seseorang sharing saya tandaskan: ”Mas, baca buku Mindset
karya John Naisbitt”. Jawabannya yang seru: ”Pak saya tidak punya buku
itu. Itu kan buku mahal”. Nah, lain yang diminta lain yang diargumenkan.
Kalau sikapnya sedemikian bagaimana dia akan melalui hari-hari menulis
yang penuh tantangan dan cobaan. Ibaratnya, mau menulis, Kamus Besar
Bahasa Indonesia saja tidak punya, dan beralasan sebagai gantinya bukan
mengusahakannya.
Sudah demikian, kalau diberi pencerahan, kilahannya muncul dengan
sangat apik. ”Pak, saya tidak mempunyai waktu. Sibuk”. Wualah, yang mau
belajar menulis siapa, yang berkeinginan berkarya (tulis) siapa?
Pendek kisah, berurusan dengan Raja Alasan dan Ratu Berkilah
membuang-buangn waktu saja. Lalu bagaimana dong Pak? Samapeyan
berkehendak menulis? Tidak usah banyak ”cakap”. Langsung saja menulis.
Menulis, menulis, dan terus menulis dalam kerangka latihan.
Yaps, belajarlah dari apa yang ditulis. Dipastikan, Sampeyan akan menjinakkan kendala-kendala menulis. Believe it or not.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (5.9): Raja Alasan Ratu Berkilah"
Post a Comment