Monday 19 December 2016

Menulis (4.2) Impian Menjadi Penulis

Amelia Az-Zahra
Mahasiswa UHAMKA Jakarta

SAYA mahasiswi yang sedang menyusun skripsi Analisis Tokoh Novelis Jepang (Natsume Soseki).” Ketertarikan saya membahas karya-karya Natsume Soseki yang sudah tersebar ke seluruh seantero dunia terpicu dari pertanyaan: Kenapa novel-novel serta karya sastra Indonesia belum mendunia?
 
Manakala novel-novel karya anak bangsa ”dikonsumsi” oleh warga negara asing tentu saja dapat sebagai wahana pengenalan Indonesia dan kehidupan orang-orang Indonesia kepada masyarakat dunia. Sebaliknya, orang Indonesia yang membaca novel-novel karya penulis mancanegara dengan sendirinya mengetahui kehidupan masyarakat mancanegara. Misalnya mengetahui kehidupan bangsa Eropa ”Abad Pertengahan” mulai dari cara berpakaian sampai cara berpikir (filsafat). Kita dapat mengetahui dan mempelajari sejarah peradaban dunia melalui novel.

Saya mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Jepang UHAMKA Jakarta yang seharusnya meneliti mengenai pendidikan, tetapi sangat tertarik dengan karya-karya Natsume Soseki.
Untuk memperkuat kemampuan berbahasa Jepang, saya berusaha sangat serius belajar bahasa Jepang agar bisa lulus ujian kemampuan bahasa Jepang N1. Jika lulus N1, saya bisa mendapat beasiswa untuk kuliah S2 di Jepang. Mudah-mudahan saya diberi kemudahan oleh Allah SWT untuk mewujudkan impian tersebut. Amin.

Kuliah di Jepang satu dari sekian impian saya. Saya memiliki banyak impian. Satu diantaranya, menjadi penulis. Sejak kecil saya ingin menjadi guru atau dosen Astronomi. Sesuai jalur pendidikan, impian menjadi dosen Astronomi, sudah tidak relevan. Sekalipun demikian dan ini sangat menyenangkan, impian menjadi guru semakin dekat terwujudnya. Bersamaan dengan itu, impian menjadi penulis dan penerbit, kiranya semakin menantang.

Ya, kini saya menulis bukan sekadar berimajinasi tentang menulis, tetapi sedang menulis.
 
Ketika belajar di SMP saya mempunyai teman yang suka menulis cerpen. Suatu kali saya membaca cerpennya yang ceritanya mirip dengan lagu Bunga Cinta Lestari, Sunny, tentang kisah cinta yang berakhir dengan meninggalnya tokoh laki-lakinya. Ceritanya diakhiri lirik lagu Sunny. Sejak itu saya tertarik untuk menulis cerpen atau novel.

Saat belajar di SMP saya rajin membaca novel Lima Sekawan dari perpustakaan sekolah, serta novel (serial) Harry Potter, Lupus, komik Detektif Conan, Samurai X, One Peace, Inuyasha, Ranma 1/2, Yuyu Hakusho, Shinchan, majalah Bobo dan novel Sherlock Holmes, tetapi saya belum tergugah menjadi seorang novelis.
S
emasa belajar di SMA, setelah membaca karya Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ahmad Fuadi, Habiburahman El-Shirazy, Daniel Mahendra, Tere Liye, Raditya Dika, novel-novel terjemahan, saya tergugah untuk menulis. Saya menulis saat liburan sekolah, apalagi setelah lulus SMA. Bersamaan dengan itu saya mulai aktif menulis di facebook. Menulis di facebook menjadikan mendapatkan banyak teman dan belajar menulis dengan mempraktikkannya.

Melalui facebook saya berkenalan dengan Pak Ersis Warmansyah Abbas, Pak Heri Cahyo, Pak Hazil Aulia, Pak Mahbub Junaedi, Pak Akung Krisna, Pak Erik, Pak Abrar Rifa’i, Mba Hesti, Imelda Sensei, Mba Ratu Marfufah, Mba Siti Zumairoh, Mba Oni Daulat, Mamae Kirana, dan masih banyak lagi. Berkenalan dengan orang-orang yang suka menulis memantik semangat saya untuk (belajar) menulis.

Alhamdulillah, tulisan saya diikutkan dalam beberapa antologi; antologi Masa Kecil yang Tak Terlupakan, Deru Awang-Awang, Surat untuk Pak SBY. Sejak itu saya semakin bersemangat menulis dan mulai menulis novel. Saya menulis novel dari kisah sejak lahir sampai SMA yang kini sedang memasuki tahap editing. Saya juga menulis novel petualangan dalam ayunan fantasi. Untuk itu saya meminta guru Biologi saya semasa SMA untuk membacanya. Bu Guru berkomentar: ”Sepertinya Ibu harus baca novel Alice in Wonderland dahulu deh. Kisahnya benar-benar menggunakan daya imajinasi tingkat tinggi.” Sampai sejauh itu, saya menulis, menulis, dan menulis saja tanpa harus memikirkan bagaimana menerbitkannya.

Setelah menulis novel mengenai cinta pertama, Hatsukoi, barulah saya berani mengirim ke penerbit. Novel Hatsukoi, 200 halaman, saya kirim ke penerbit ternama melalui e-mail dan empat bulan setelah pengiriman mendapat jawaban: Naskah ditolak. Kapok menulis?

Tentu tidak. Saya justru memperteguh impian untuk terus menulis dan membuat penerbitan sendiri. Kini, liburan telah usai. Untuk itu saya memperbanyak aktivitas. Saya ikut organisasi, membantu dosen, menjadi pengajar relawan di komunitas kumnol, kuliah sembari belajar bahasa Jepang agar bisa ikut ujian kemampuan bahasa Jepang N5, N4, N3. Hal tersebut dapat dilakukan karena semester kemarin saya sudah menyelesaikan PP dengan mengajar di SMKN 18 Jakarta.

Nah, seminggu yang lalu saya membaca status facebook Pak Ersis mengenai buku-bukunya yang baru terbit. Penulis komentar menarik mendapat hadiah buku. Alhamdulillah saya mendapatkan dua buku sangat inspiratif. Hal tersebut semakin menguatkan keinginan, impian menjadi penulis semakin menggelora. Ya, menjadi penulis tentunya dengan menulis.

Saya pastikan, saya tidak akan berhenti menulis karena ditolak satu penerbit. Sekalipun demikian, terkadang saya berfikir: Apakah saya hanya seorang pemimpi? Ah, sebodo. Bukankah banyak kenyataan berawal dari impian?

Saya bermimpi, jika rajin belajar, lulus N1 saya akan mendapat beasiswa untuk belajar di Jepang. Selama kuliah di Jepang saya akan menulis novel dan menerjemahkan novel-novel Jepang. Dan, ini lebih penting, menerjemahkan novel Indonesia ke bahasa Jepang sehingga orang Jepang lebih mengetahui kehidupan orang Indonesia. Setelah pulang ke Indonesia saya akan membuat Penerbit Amelia Az-Zahra dan toko buku Amelia Az-Zahra. Hmm.

Ya, sudahlah. Impian-impian tersebut saatnya ”direalisasikan” dengan belajar, belajar, dan terus belajar. Syukur Alhamdulillah, saya bisa meminjam buku-buku bahasa Jepang di Japan Foundation sehingga memudahkan untuk belajar. Semangat belajar.

Salam menulis.

Share this

0 Comment to "Menulis (4.2) Impian Menjadi Penulis"

Post a Comment