Monday 12 December 2016

Menulis (4.9): Pikiran Sesat

Ersis Warmansyah Abbas
Saya betul-betul putus asa. Saya telah mengirimkan naskah ke penerbit. Padahal, naskahnya sudah saya baca sungguh dan telah pula dibaca penulis-pelulis kenalan saya. Rasa-rasanya sudah pantas saja diterbitkan, tetapi penerbit tidak menerbitkannya.
KELUHAN ya keluhan. Kalau diperhatikan keluhan sebagaimana ditulis Si Pengeluh, sesungguhnya mendatangkan iba. Saya yakin dia sangat ingin naskahnya diterbitkan dan berkeinginan untuk menolongnya. Saya tidak bisa menolongnya terkarena alasan yang tidak pantas saya tulis di buku ini. Tidak nyaman. Karena itu saya menulis dalam sajian lain yang kira-kira berkaitan dengan kasus sebagaimana dipaparkan.
 
Kalau dipikir-pikir, saya tidak terlalu susah mempublikasikan tulisan, baik di media cetak atau pun diterbitkan. Menurut saya, karena saya ”belajar” memaklumi kesulitan pihak lain yang terkait dengan penerbitan naskah. Sekalipun terkadang abai dengan kata-kata, sering salah ketik, saya menjaga agar tidak salah konsep dan logika. Itu menurut saya dan saya yakin para editor sepakat akan hal tersebut.

Sebagai bandingan, saya pernah diminta tolong mengedit tulisan seseorang, dan dilakukan dengan gratis. Eit, setelah diedit, editan tersebut disanggah yang puncaknya, katanya, sudah didiskusikan dengan penulis anu, penulis anu. Wualah, kalau demikian kenapa saya diminta tolong (lagi) untuk mengedit?

Saudara-saudara sekalian. Setiap media, setiap penerbit mempunyai kebijakan sendiri. Kalau tulisan kita ingin diterbitkan oleh penerbit tertentu, kita harus mengikuti apa yang disyaratkannya. Sampeyan bisa bersikeras manakala menjadi penulis terkenal sehingga mempunyai bargaining hebat. Penulis pemula? Introspeksi lebih bijak.

Kalau kita tidak mau introspeksi, kita akan terjebak bahwa pikiran kitalah yang paling benar. Saya pernah diceramahi oleh orang yang baru menulis beberapa artikel, sekalipun terkenal sebagai penulis di kampungnya, wejang-wejangannya menurut saya retorikanya hebat. Untuk menghentikan sesat pikirnya, saya katakan: ”Mas, tulis saja apa yang Sampeyan katakan, jadikan buku dan terbitkan. Mana tahu menjadi buku hebat dan bermanfaat bagi khalayak”. Dia nyengir saja.

Nah, itu dia. Kawan kita meminta judgment kenapa mereka yang hebat menulis dan menerbitkan buku menurut persepsinya, bukan berdasarkan pengalaman. Saya, mungkin bukan orang hebat, tetapi melakukan menulis dan merasakan betapa rumitnya menerbitkan buku. Nah, pengalaman tersebut yang diindahkannya dan dibantahnya, padahal dia meminta tolong. Apa tidak sesat pikir?

Begini saja. Kita harus membangun dan menegakkan kepercayaan diri, meyakini orang tertentu mempunyai kehebatan. Hal tersebut sangat positif. Tetapi, agar tidak sesat pikir, agar ketajaman analisis lebih terjamin, tidak ada salahnya ”berguru” kepada yang mengalami langsung, bukan jago teori. Bukankah, guru terbaik adalah pengalaman?

Mari menulis, menulis yang tidak sesat pikir. Dengan demikian, percayalah, naskah Sampeyan lebih mudah diterima penerbit. Amin.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.9): Pikiran Sesat"

Post a Comment