Ersis Warmansyah Abbas
Saya betul-betul putus asa. Saya telah mengirimkan naskah ke penerbit. Padahal, naskahnya sudah saya baca sungguh dan telah pula dibaca penulis-pelulis kenalan saya. Rasa-rasanya sudah pantas saja diterbitkan, tetapi penerbit tidak menerbitkannya.
KELUHAN ya keluhan. Kalau diperhatikan keluhan sebagaimana ditulis Si
Pengeluh, sesungguhnya mendatangkan iba. Saya yakin dia sangat ingin
naskahnya diterbitkan dan berkeinginan untuk menolongnya. Saya tidak
bisa menolongnya terkarena alasan yang tidak pantas saya tulis di buku
ini. Tidak nyaman. Karena itu saya menulis dalam sajian lain yang
kira-kira berkaitan dengan kasus sebagaimana dipaparkan.
Kalau dipikir-pikir, saya tidak terlalu susah mempublikasikan tulisan,
baik di media cetak atau pun diterbitkan. Menurut saya, karena saya
”belajar” memaklumi kesulitan pihak lain yang terkait dengan penerbitan
naskah. Sekalipun terkadang abai dengan kata-kata, sering salah ketik,
saya menjaga agar tidak salah konsep dan logika. Itu menurut saya dan
saya yakin para editor sepakat akan hal tersebut.
Sebagai bandingan, saya pernah diminta tolong mengedit tulisan
seseorang, dan dilakukan dengan gratis. Eit, setelah diedit, editan
tersebut disanggah yang puncaknya, katanya, sudah didiskusikan dengan
penulis anu, penulis anu. Wualah, kalau demikian kenapa saya diminta
tolong (lagi) untuk mengedit?
Saudara-saudara sekalian. Setiap media, setiap penerbit mempunyai
kebijakan sendiri. Kalau tulisan kita ingin diterbitkan oleh penerbit
tertentu, kita harus mengikuti apa yang disyaratkannya. Sampeyan bisa
bersikeras manakala menjadi penulis terkenal sehingga mempunyai
bargaining hebat. Penulis pemula? Introspeksi lebih bijak.
Kalau kita tidak mau introspeksi, kita akan terjebak bahwa pikiran
kitalah yang paling benar. Saya pernah diceramahi oleh orang yang baru
menulis beberapa artikel, sekalipun terkenal sebagai penulis di
kampungnya, wejang-wejangannya menurut saya retorikanya hebat. Untuk
menghentikan sesat pikirnya, saya katakan: ”Mas, tulis saja apa yang
Sampeyan katakan, jadikan buku dan terbitkan. Mana tahu menjadi buku
hebat dan bermanfaat bagi khalayak”. Dia nyengir saja.
Nah, itu dia. Kawan kita meminta judgment kenapa mereka yang hebat
menulis dan menerbitkan buku menurut persepsinya, bukan berdasarkan
pengalaman. Saya, mungkin bukan orang hebat, tetapi melakukan menulis
dan merasakan betapa rumitnya menerbitkan buku. Nah, pengalaman tersebut
yang diindahkannya dan dibantahnya, padahal dia meminta tolong. Apa
tidak sesat pikir?
Begini saja. Kita harus membangun dan menegakkan kepercayaan diri,
meyakini orang tertentu mempunyai kehebatan. Hal tersebut sangat
positif. Tetapi, agar tidak sesat pikir, agar ketajaman analisis lebih
terjamin, tidak ada salahnya ”berguru” kepada yang mengalami langsung,
bukan jago teori. Bukankah, guru terbaik adalah pengalaman?
Mari menulis, menulis yang tidak sesat pikir. Dengan demikian, percayalah, naskah Sampeyan lebih mudah diterima penerbit. Amin.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (4.9): Pikiran Sesat"
Post a Comment