Tajuddin Noor Ganie
Dosen STKIP Banjarmasin
Dosen STKIP Banjarmasin
MANAKALA dicatat, sepanjang aktivitas menulis, tidak sedikit hikmah
yang kudapat. Berikut kutuliskan hal-hal paling berkesan sebagai hikmah
menulis.
Hikmah menulis pertama yang kuterima adalah pujian sebagai pengarang
berbakat dari Ibu Laila, Guru Kelasku, Kelas II, SDN Mawar Kencana,
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hari itu aku memperoleh nilai sembilan
untuk mata pelajaran mengarang. Nilai itu merupakan nilai tertinggi yang
pernah beliau berikan untuk seorang murid dalam pelajaran mengarang
yang telah beliau pegang selama bertahun-tahun.
“Ibu perkenalkan, Tajuddin Noor, calon pengarang berbakat dari
sekolah kita,” ujar Bu Laila dengan bangga di depan kawan-kawanku
sekelas. Kawan-kawanku bertepuk tangan memberi aplaus. Aduh, bangganya
diriku. Inilah untuk kali yang pertama aku merasa tersanjung. Terima
kasih, Bu Laila.
Aku masih ingat, hari itu kami ditugaskan Bu Laila menulis karangan
tentang kerja bakti di sekolah. Pujian Bu Laila mematahkan reputasi
seorang kawan yang selama ini menonjol dalam pelajaran mengarang. Selama
ini dia membanggakan diri sebagai orang yang dengan mudah menyelesaikan
tugas mengarang. Rahasia suksesnya itu menurutnya karena dia rajin
membaca komik silat.
Wah, aku merasa keder juga, karena untuk mengikuti kiatnya itu
berarti aku harus rajin membaca komik silat. Hal tersebut tidak mungkin
aku lakukan karena itu berarti aku harus mengeluarkan uang untuk menyewa
komik silat di taman persewaan komik. Uang untuk menyewa komik silat
itulah yang tidak kumiliki. Boro-boro mengeluarkan uang untuk menyewa
komik silat, uang untuk jajan saja belum tentu ada.
Belakangan, Bu Laila memperingatkan kawanku itu agar jangan terlalu
banyak membaca komik silat. Jika karangannya masih “berbau” cerita komik
silat, maka karangan itu akan diberi nilai nol, tidak peduli meskipun
karangannya itu sangat menarik.
Peringatan Bu Laila itu ada kaitannya dengan sikap para guru ketika
itu, yakni agak alergi dengan komik. Komik dinilai sebagai bahan bacaan
berbahaya bagi anak sekolah. Setiap siswa yang ketahuan membawa komik ke
sekolah mendapat peringatan keras. Komik yang dibawa ke sekolah akan
dirampas dan baru dikembalikan jika yang mengambilnya orang tua siswa
yang bersangkutan.
Aku pernah membaca karangan teman sekelasku itu. Pengaruh komik silat
yang dibacanya membuat karangannya menjadi tidak logis. Dalam
karangannya itu diceritakan bahwa di suatu kampung telah terjadi banyak
kasus pencurian ayam. Pencuri ayam dimaksud diceritakan sebagai seorang
yang sakti mandraguna, sehingga untuk menangkapnya Pak Kepala Kampung
menugaskan seorang pendekar silat yang sudah barang tentu juga sakti
mandraguna. Cerita dimaksud tidak logis, karena tindakan kejahatan yang
dilakukan tokoh antagonis cuma sebagai maling ayam. Cerita dimaksud baru
logis jika tokoh antagonisnya bukanlah maling ayam tapi perampok rumah
gadai.
Keberhasilanku mengukir prestasi pada mata pelajaran mengarang
menaikkan gengsiku di mata kawan-kawan sekolah. Selama ini mereka
memandangku sebelah mata karena nilai berhitungku tidak bagus.
Pada kurun waktu tahun 1970-1979, saat itu, pelajaran mengarang
termasuk pelajaran yang dianggap penting, karena merupakan salah satu
tugas yang harus dikerjakan sebagai bagian dari ujian nasional untuk
mata pelajaran bahasa Indonesia. Boleh jadi berkat keterampilanku dalam
mengolah kata-kata menjadi sebuah karangan, aku berhasil meraih nilai 9
(Sembilan) dalam ujian nasional mata pelajaran bahasa Indonesia. Nilai
inilah yang tercantum dalam ijazahku ketika lulus SD pada tahun 1971.
Pada tahun 1975 aku mulai giat menulis curahan hati berbentuk puisi,
cerpen, atau tulisan sastra nonfiksi lainnya di dalam buku harian.
Selain memiliki buku harian, aku juga memiliki buku khusus untuk
mencurahkan pikiran dan perasaanku di masa-masa awal akil baliqku ini.
Aku betul-betul memanfaatkan buku harian sebagai latihan menulis.
Tidak hanya aku yang memiliki buku semacam ini, beberapa teman sekolah
juga memilikinya. Ketika itu buku semacam ini lazim disebut sebagai buku
kenangan. Selain memuat tulisan pemiliknya, juga berisi tulisan
teman-teman lainnya.
Buku tulis bergaris yang sudah kutulisi dengan curahan pikiran dan
perasaanku itu beredar dari tangan ke tangan di antara teman-teman
sekelasku, bahkan sering kali melayap ke kelas-kelas lain. Setelah
berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu ngelayap entah ke mana, buku
berisi tulisanku itu akan kembali kepadaku. Buku itu dikembalikan
kepadaku dengan harapan ditulisi dengan sejumlah curahan hatiku yang
baru. Begitulah siklus itu berlangsung selama setidaknya 3 tahun, yakni
selama aku masih berstatus sebagai siswa di SMEA Negeri Martapura.
Suatu ketika terbetik berita buku yang berisi tulisanku itu jatuh ke
tangan seorang guru yang terkenal sangat disiplin dan orangnya agak
tempramental. Beliau sangat disegani di kalangan siswa-siswi di
sekolahku.
Jargon beliau yang sangat terkenal dan sangat ditakuti oleh
siswa-siswi yang suka berbuat ulah atau bermasalah di sekolahku adalah:
“Sekali kubilang tidak naik kelas, maka kujamin pasti tidak naik kelas.
Tak peduli, bukan aku wali kelasnya”
Tidak pelak aku langsung gugup menerima berita itu. Apalagi menurut
informasi buku berisi tulisanku tidak jatuh begitu saja ke tangan
beliau, tetapi disita karena ada seorang siswa yang diam-diam membacanya
ketika pelajaran sedang berlangsung. Konon siswa dimaksud tanpa sadar
terkekeh-kekeh gara-gara membaca salah satu tulisanku.
“Podang, kenapa kamu tertawa. Apakah pelajaran ekonomi yang kuberikan ada yang lucu?”
“Maaf, Pak. Bukan bapak yang lucu. Tetapi, isi tulisan di buku ini.”
“Buku apa? Cepat bawa ke depan!”
Podang dengan gugup segera berjalan ke arah meja Pak Guru dan menyerahkan buku itu.
“Podang, silakan ke luar kelas.”
“Maaf, Pak. Bukan bapak yang lucu. Tetapi, isi tulisan di buku ini.”
“Buku apa? Cepat bawa ke depan!”
Podang dengan gugup segera berjalan ke arah meja Pak Guru dan menyerahkan buku itu.
“Podang, silakan ke luar kelas.”
Setelah menerima kabar itu, aku sibuk mengingat-ingat apakah di dalam
bukuku yang disita oleh Pak Guru itu ada tulisan yang nadanya bersifat
mendeskreditkan kehormatan sekolah, dewan guru, dan teman-teman
sekolahku yang termasuk kesalahan berat dengan ancaman dikeluarkan dari
sekolah? Aku betul-betul khawatir kalau mendapat hukuman.
Setelah yakin, tidak ada tulisan semacam itu di dalam bukuku itu aku
menjadi lega. Namun, ketika aku dipanggil ke ruang guru beberapa hari
kemudian, aku kembali merasa gugup. Sungguh mati, aku kembali khawatir
ada tulisanku yang dianggap telah merugikan nama baik sekolahku, dewan
guru, dan teman-teman sekolahku.
“Bapak salut dengan keterampilanmu merangkai kata-kata. Lanjutkan.”
Alhamdulillah, ternyata aku dipanggil untuk menerima kembali bukuku.
Sejak itu, aku menjadi siswa yang paling beliau perhatikan. Sebagai
penghormatan, aku memberikan kesempatan pertama kepada beliau untuk
membaca tulisan-tulisanku yang terbaru. Selanjutnya, aku banyak mendapat
bimbingan dan kritikan perbaikan dari beliau. Aku masih tetap
berhubungan baik secara pribadi dengan beliau, hingga puluhan tahun
kemudian.
Pada tahun 1979 ketika aku diterima sebagai PNS di Kantor Ditjen
Binaguna Tenaga Kerja. Pada mulanya, aku ragu-ragu menerima surat
penugasan itu, karena ini berarti aku harus pindah ke Banjarmasin. Lebih
dari pada itu, ini berarti aku harus hidup mandiri di kota air ini.
Jauh dari orang tua dan sanak saudaraku yang lainnya. Aku khawatir tidak
betah tinggal di Banjarmasin.
Ternyata begitu tinggal di Banjarmasin, aku melihat peluang untuk
mengembangkan bakatku yang terpendam. Di kota ini ada surat kabar yang
memuat puisi setiap kali terbit, yakni SKH Banjarmasin Post dan SKM
Media Masyarakat sebagai tempat penyaluran bakatku di bidang penulisan
puisi dan esai sastra. Begitulah, tanpa pengetahuan yang memadai tentang
kriteria karya sastra yang baik aku mengirimkan puisi-puisi dan esai
sastra ke SKH Banjarmasin Post dan SKH Media Masyarakat.
Sungguh, kegiatan baru ini lebih mengasyikan dari pada kegiatan
rutinku sebagai PNS di kantor. Padahal, aku tidak memperoleh apa-apa
dari kegiatan tulis menulis ini. Aku tidak mempermasalahkannya. Tidak
usah diberi honorarium, dimuat saja aku sudah gembira. Maklumlah, aku
ketika itu masih belajar.
Lama-lama aku menikmati popularitas sebagai penulis karya sastra di
kedua surat kabar terbitan Banjarmasin, dan mulai berani mengirimkan
puisi, cerpen, dan esai sastra karanganku ke berbagai koran dan majalah
terbitan Jakarta. Hari demi hari aku mulai betah tinggal di kota
Banjarmasin, karena hari demi hari aku semakin banyak berkenalan dengan
sesama insan penggemar sastra.
Aku mulai giat menulis di surat kabar sejak tahun 1979. Aku masih
ingat, tulisan pertamaku yang dimuat di surat kabar bukanlah tulisan
berbentuk puisi, cerpen, atau esai sastra, namun tulisan berbentuk esai
nonsastra. Judulnya masih kuingat dengan baik, yakni: Polemik Hadist
Perihal Seni Rupa. Kali pertama tulisanku dimuat di surat kabar, duh
senangnya bukan main.
Koran dimaksud kubawa pergi kemana-mana dan kutunjukkan kepada banyak
orang, seperti: teman-teman sekantor, teman-teman sekampung, dan
teman-teman yang lain. Pokoknya heboh sekali. Aku bahkan menyempatkan
diri menulis surat pribadi yang berisi cerita tentang pemuatan tulisanku
di sebuah surat kabar.
Meskipun tidak menerima honorarium, namun setiap kali aku menerima
undangan untuk mengikuti kegiatan sastra di luar Kalsel, aku tanpa
sungkan mengirimkan surat permintaan dukungan dana kepada petinggi surat
kabar dimaksud. Bersama surat dimaksud kulampirkan daftar tulisanku
yang telah dimuat di surat kabar dimaksud selama satu tahun terakhir.
Taktik tersebut membuat redaktur surat kabar yang bersangkutan tidak
tega menolak permintaan dukungan dana yang kuajukan. Aku berhasil.
Selain itu, ada surat kabar yang setiap kali menjelang tibanya Hari
raya Idul Fitri atau Idul Adha memberikan bingkisan kepadaku sebagai
ucapan selamat dan jalinan silaturrahim.
Popularitasku sebagai penulis karya sastra, baik yang fiksi maupun yang
nonfiksi semakin tahun semakin meningkat. Lebih-lebih aku juga banyak
menulis feature tentang objek wisata yang ada di Kalsel, adat istiadat
orang Banjar, seni budaya orang Banjar, dan lain-lain. Tidak hanya di
surat kabar terbitan Banjarmasin, tetapi juga di Surabaya, Yogyakarta,
dan Jakarta. Aku bahkan sukses menembus seleksi ketat pengasuh rubrik
feature (karangan khas) di LKBN Antara.
Popularitas ini membuatku menjadi orang yang sangat percaya diri.
Saking percaya dirinya, maka aku merasa sebagai warga daerah Kalsel yang
wajar mendapatkan dukungan dana untuk menunjang kegiatanku sebagai
penulis dari pihak yang menurutku paling banyak mengelola dana publik
alias dana negara (APBN dan APBD), yakni: Kantor Gubernur Kalimantan
Selatan. Begitulah, setiap kali mendapat undangan untuk hadir di sebuah
forum sastra di dalam dan luar negeri, tanpa canggung aku mengirim surat
permintaan dana ke Kantor Gubernur Kalimantan Selatan. Percaya atau
tidak aku selalu sukses mendapatkannya.
Aku tidak hanya aktif menulis di surat kabar, aku juga mulai sering
diundang berceramah di forum-forum lembaga pemerintah, kampus-kampus,
seminar sastra, dan pertemuan sastrawan di dalam dan di luar negeri.
Semuanya itu kuraih berkaitan dengan statusku sebagai penulis.
Tahun 1997, usiaku sudah 39 tahun ketika aku memutuskan untuk kuliah
lagi. Sebelumnya, aku sudah pernah kuliah di Akademi Pubsistik Syek
Muhammad Arsyad Al Banjari, namun terputus di tengah jalan. Selanjutnya
aku kuliah lagi di STKIP PGRI Banjarmasin, namun kembali putus di tengah
jalan karena dimutasi ke kota Pelaihari.
Ketika kembali bertugas di kota Banjarmasin, aku kembali kuliah di PBSID
STKIP PGRI Banjarmasin, hingga akhirnya diwisuda sebagai lulusan
terbaik (2002). Kali ini kuliahku relatif lancar, salah satu faktor
penunjang kelancaran itu adalah kemampuanku dalam hal tulis menulis.
Banyak tugas kuliah yang harus dikerjakan dengan mengandalkan kemampuan
dalam hal tulis menulis.
Tidak hanya mulus dalam kuliah, aku juga berhasil dengan mulus meraih
obsesi lamaku, yakni menjadi dosen. Selepas diwisuda aku diminta
menjadi dosen di almamaterku (status dimaksud masih kusandang hingga
sekarang). Berkat kemampuanku dalam hal tulis menulis pula, maka aku
kembali mulus dalam menjalani perkuliahan di Strata 2 PBSI FKIP
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Aku berhasil menempuh
pendidikan akademis tanpa halangan berarti.
Berkat prestasi, reputasi, dan dedikasiku sebagai penulis karya
sastra (fiksi dan nonfiksi) berikut berbagai genre/jenis tulisan
lainnya, aku meraih sejumlah penghargaan.
Pada tahun 1991, aku menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Bidang
Seni Budaya dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Ir. H. Akbar
Tanjung). Tahun 1998, menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur
Kalsel (Drs. H. Gusti Hasan Aman). Tahun 2002 menerima penghargaan
sebagai Penulis Naskah Fiksi Keagamaan dari Departemen Agama Republik
Indonesia.
Tahun 2005 menjadi salah seorang anggota tim penulis Biografi
Walikota Banjarmasin Drs. H. Midfai Yabani, MM berjudul Dari Wali Kelas
Menjadi Walikota (2005). Terbaru (2014), aku menerima Anugerah Budaya
dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Rudi Ariffin, MM), dan Seniman
Berprestaisi Bidang Sastra dari Walikota Banjarbaru (Drs. HM Ruzaidin).
Menulis merupakan perjuangan yang sarat hikmah-hikmah.
Mari Menulis.
0 Comment to "Menulis (2.4): Hikmah-Hikmah Menulis"
Post a Comment