Sunday 18 December 2016

Menulis (2.4): Hikmah-Hikmah Menulis

Tajuddin Noor Ganie
Dosen STKIP Banjarmasin

MANAKALA dicatat, sepanjang aktivitas menulis, tidak sedikit hikmah yang kudapat. Berikut kutuliskan hal-hal paling berkesan sebagai hikmah menulis.

Hikmah menulis pertama yang kuterima adalah pujian sebagai pengarang berbakat dari Ibu Laila, Guru Kelasku, Kelas II, SDN Mawar Kencana, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hari itu aku memperoleh nilai sembilan untuk mata pelajaran mengarang. Nilai itu merupakan nilai tertinggi yang pernah beliau berikan untuk seorang murid dalam pelajaran mengarang yang telah beliau pegang selama bertahun-tahun.

“Ibu perkenalkan, Tajuddin Noor, calon pengarang berbakat dari sekolah kita,” ujar Bu Laila dengan bangga di depan kawan-kawanku sekelas. Kawan-kawanku bertepuk tangan memberi aplaus. Aduh, bangganya diriku. Inilah untuk kali yang pertama aku merasa tersanjung. Terima kasih, Bu Laila.

Aku masih ingat, hari itu kami ditugaskan Bu Laila menulis karangan tentang kerja bakti di sekolah. Pujian Bu Laila mematahkan reputasi seorang kawan yang selama ini menonjol dalam pelajaran mengarang. Selama ini dia membanggakan diri sebagai orang yang dengan mudah menyelesaikan tugas mengarang. Rahasia suksesnya itu menurutnya karena dia rajin membaca komik silat.


Wah, aku merasa keder juga, karena untuk mengikuti kiatnya itu berarti aku harus rajin membaca komik silat. Hal tersebut tidak mungkin aku lakukan karena itu berarti aku harus mengeluarkan uang untuk menyewa komik silat di taman persewaan komik. Uang untuk menyewa komik silat itulah yang tidak kumiliki. Boro-boro mengeluarkan uang untuk menyewa komik silat, uang untuk jajan saja belum tentu ada.

Belakangan, Bu Laila memperingatkan kawanku itu agar jangan terlalu banyak membaca komik silat. Jika karangannya masih “berbau” cerita komik silat, maka karangan itu akan diberi nilai nol, tidak peduli meskipun karangannya itu sangat menarik.

Peringatan Bu Laila itu ada kaitannya dengan sikap para guru ketika itu, yakni agak alergi dengan komik. Komik dinilai sebagai bahan bacaan berbahaya bagi anak sekolah. Setiap siswa yang ketahuan membawa komik ke sekolah mendapat peringatan keras. Komik yang dibawa ke sekolah akan dirampas dan baru dikembalikan jika yang mengambilnya orang tua siswa yang bersangkutan.

Aku pernah membaca karangan teman sekelasku itu. Pengaruh komik silat yang dibacanya membuat karangannya menjadi tidak logis. Dalam karangannya itu diceritakan bahwa di suatu kampung telah terjadi banyak kasus pencurian ayam. Pencuri ayam dimaksud diceritakan sebagai seorang yang sakti mandraguna, sehingga untuk menangkapnya Pak Kepala Kampung menugaskan seorang pendekar silat yang sudah barang tentu juga sakti mandraguna. Cerita dimaksud tidak logis, karena tindakan kejahatan yang dilakukan tokoh antagonis cuma sebagai maling ayam. Cerita dimaksud baru logis jika tokoh antagonisnya bukanlah maling ayam tapi perampok rumah gadai.

Keberhasilanku mengukir prestasi pada mata pelajaran mengarang menaikkan gengsiku di mata kawan-kawan sekolah. Selama ini mereka memandangku sebelah mata karena nilai berhitungku tidak bagus.
Pada kurun waktu tahun 1970-1979, saat itu, pelajaran mengarang termasuk pelajaran yang dianggap penting, karena merupakan salah satu tugas yang harus dikerjakan sebagai bagian dari ujian nasional untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Boleh jadi berkat keterampilanku dalam mengolah kata-kata menjadi sebuah karangan, aku berhasil meraih nilai 9 (Sembilan) dalam ujian nasional mata pelajaran bahasa Indonesia. Nilai inilah yang tercantum dalam ijazahku ketika lulus SD pada tahun 1971.

Pada tahun 1975 aku mulai giat menulis curahan hati berbentuk puisi, cerpen, atau tulisan sastra nonfiksi lainnya di dalam buku harian. Selain memiliki buku harian, aku juga memiliki buku khusus untuk mencurahkan pikiran dan perasaanku di masa-masa awal akil baliqku ini. Aku betul-betul memanfaatkan buku harian sebagai latihan menulis.
 
Tidak hanya aku yang memiliki buku semacam ini, beberapa teman sekolah juga memilikinya. Ketika itu buku semacam ini lazim disebut sebagai buku kenangan. Selain memuat tulisan pemiliknya, juga berisi tulisan teman-teman lainnya.

Buku tulis bergaris yang sudah kutulisi dengan curahan pikiran dan perasaanku itu beredar dari tangan ke tangan di antara teman-teman sekelasku, bahkan sering kali melayap ke kelas-kelas lain. Setelah berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu ngelayap entah ke mana, buku berisi tulisanku itu akan kembali kepadaku. Buku itu dikembalikan kepadaku dengan harapan ditulisi dengan sejumlah curahan hatiku yang baru. Begitulah siklus itu berlangsung selama setidaknya 3 tahun, yakni selama aku masih berstatus sebagai siswa di SMEA Negeri Martapura.

Suatu ketika terbetik berita buku yang berisi tulisanku itu jatuh ke tangan seorang guru yang terkenal sangat disiplin dan orangnya agak tempramental. Beliau sangat disegani di kalangan siswa-siswi di sekolahku.

Jargon beliau yang sangat terkenal dan sangat ditakuti oleh siswa-siswi yang suka berbuat ulah atau bermasalah di sekolahku adalah: “Sekali kubilang tidak naik kelas, maka kujamin pasti tidak naik kelas. Tak peduli, bukan aku wali kelasnya”

Tidak pelak aku langsung gugup menerima berita itu. Apalagi menurut informasi buku berisi tulisanku tidak jatuh begitu saja ke tangan beliau, tetapi disita karena ada seorang siswa yang diam-diam membacanya ketika pelajaran sedang berlangsung. Konon siswa dimaksud tanpa sadar terkekeh-kekeh gara-gara membaca salah satu tulisanku.
 
“Podang, kenapa kamu tertawa. Apakah pelajaran ekonomi yang kuberikan ada yang lucu?”
“Maaf, Pak. Bukan bapak yang lucu. Tetapi, isi tulisan di buku ini.”
“Buku apa? Cepat bawa ke depan!”
Podang dengan gugup segera berjalan ke arah meja Pak Guru dan menyerahkan buku itu.
“Podang, silakan ke luar kelas.”

Setelah menerima kabar itu, aku sibuk mengingat-ingat apakah di dalam bukuku yang disita oleh Pak Guru itu ada tulisan yang nadanya bersifat mendeskreditkan kehormatan sekolah, dewan guru, dan teman-teman sekolahku yang termasuk kesalahan berat dengan ancaman dikeluarkan dari sekolah? Aku betul-betul khawatir kalau mendapat hukuman.

Setelah yakin, tidak ada tulisan semacam itu di dalam bukuku itu aku menjadi lega. Namun, ketika aku dipanggil ke ruang guru beberapa hari kemudian, aku kembali merasa gugup. Sungguh mati, aku kembali khawatir ada tulisanku yang dianggap telah merugikan nama baik sekolahku, dewan guru, dan teman-teman sekolahku.

“Bapak salut dengan keterampilanmu merangkai kata-kata. Lanjutkan.”
 
Alhamdulillah, ternyata aku dipanggil untuk menerima kembali bukuku. Sejak itu, aku menjadi siswa yang paling beliau perhatikan. Sebagai penghormatan, aku memberikan kesempatan pertama kepada beliau untuk membaca tulisan-tulisanku yang terbaru. Selanjutnya, aku banyak mendapat bimbingan dan kritikan perbaikan dari beliau. Aku masih tetap berhubungan baik secara pribadi dengan beliau, hingga puluhan tahun kemudian.
 
Pada tahun 1979 ketika aku diterima sebagai PNS di Kantor Ditjen Binaguna Tenaga Kerja. Pada mulanya, aku ragu-ragu menerima surat penugasan itu, karena ini berarti aku harus pindah ke Banjarmasin. Lebih dari pada itu, ini berarti aku harus hidup mandiri di kota air ini. Jauh dari orang tua dan sanak saudaraku yang lainnya. Aku khawatir tidak betah tinggal di Banjarmasin.

Ternyata begitu tinggal di Banjarmasin, aku melihat peluang untuk mengembangkan bakatku yang terpendam. Di kota ini ada surat kabar yang memuat puisi setiap kali terbit, yakni SKH Banjarmasin Post dan SKM Media Masyarakat sebagai tempat penyaluran bakatku di bidang penulisan puisi dan esai sastra. Begitulah, tanpa pengetahuan yang memadai tentang kriteria karya sastra yang baik aku mengirimkan puisi-puisi dan esai sastra ke SKH Banjarmasin Post dan SKH Media Masyarakat.

Sungguh, kegiatan baru ini lebih mengasyikan dari pada kegiatan rutinku sebagai PNS di kantor. Padahal, aku tidak memperoleh apa-apa dari kegiatan tulis menulis ini. Aku tidak mempermasalahkannya. Tidak usah diberi honorarium, dimuat saja aku sudah gembira. Maklumlah, aku ketika itu masih belajar.

Lama-lama aku menikmati popularitas sebagai penulis karya sastra di kedua surat kabar terbitan Banjarmasin, dan mulai berani mengirimkan puisi, cerpen, dan esai sastra karanganku ke berbagai koran dan majalah terbitan Jakarta. Hari demi hari aku mulai betah tinggal di kota Banjarmasin, karena hari demi hari aku semakin banyak berkenalan dengan sesama insan penggemar sastra.

Aku mulai giat menulis di surat kabar sejak tahun 1979. Aku masih ingat, tulisan pertamaku yang dimuat di surat kabar bukanlah tulisan berbentuk puisi, cerpen, atau esai sastra, namun tulisan berbentuk esai nonsastra. Judulnya masih kuingat dengan baik, yakni: Polemik Hadist Perihal Seni Rupa. Kali pertama tulisanku dimuat di surat kabar, duh senangnya bukan main.

Koran dimaksud kubawa pergi kemana-mana dan kutunjukkan kepada banyak orang, seperti: teman-teman sekantor, teman-teman sekampung, dan teman-teman yang lain. Pokoknya heboh sekali. Aku bahkan menyempatkan diri menulis surat pribadi yang berisi cerita tentang pemuatan tulisanku di sebuah surat kabar.

Meskipun tidak menerima honorarium, namun setiap kali aku menerima undangan untuk mengikuti kegiatan sastra di luar Kalsel, aku tanpa sungkan mengirimkan surat permintaan dukungan dana kepada petinggi surat kabar dimaksud. Bersama surat dimaksud kulampirkan daftar tulisanku yang telah dimuat di surat kabar dimaksud selama satu tahun terakhir. Taktik tersebut membuat redaktur surat kabar yang bersangkutan tidak tega menolak permintaan dukungan dana yang kuajukan. Aku berhasil.

Selain itu, ada surat kabar yang setiap kali menjelang tibanya Hari raya Idul Fitri atau Idul Adha memberikan bingkisan kepadaku sebagai ucapan selamat dan jalinan silaturrahim.
 
Popularitasku sebagai penulis karya sastra, baik yang fiksi maupun yang nonfiksi semakin tahun semakin meningkat. Lebih-lebih aku juga banyak menulis feature tentang objek wisata yang ada di Kalsel, adat istiadat orang Banjar, seni budaya orang Banjar, dan lain-lain. Tidak hanya di surat kabar terbitan Banjarmasin, tetapi juga di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Aku bahkan sukses menembus seleksi ketat pengasuh rubrik feature (karangan khas) di LKBN Antara.

Popularitas ini membuatku menjadi orang yang sangat percaya diri. Saking percaya dirinya, maka aku merasa sebagai warga daerah Kalsel yang wajar mendapatkan dukungan dana untuk menunjang kegiatanku sebagai penulis dari pihak yang menurutku paling banyak mengelola dana publik alias dana negara (APBN dan APBD), yakni: Kantor Gubernur Kalimantan Selatan. Begitulah, setiap kali mendapat undangan untuk hadir di sebuah forum sastra di dalam dan luar negeri, tanpa canggung aku mengirim surat permintaan dana ke Kantor Gubernur Kalimantan Selatan. Percaya atau tidak aku selalu sukses mendapatkannya.
 
Aku tidak hanya aktif menulis di surat kabar, aku juga mulai sering diundang berceramah di forum-forum lembaga pemerintah, kampus-kampus, seminar sastra, dan pertemuan sastrawan di dalam dan di luar negeri. Semuanya itu kuraih berkaitan dengan statusku sebagai penulis.

Tahun 1997, usiaku sudah 39 tahun ketika aku memutuskan untuk kuliah lagi. Sebelumnya, aku sudah pernah kuliah di Akademi Pubsistik Syek Muhammad Arsyad Al Banjari, namun terputus di tengah jalan. Selanjutnya aku kuliah lagi di STKIP PGRI Banjarmasin, namun kembali putus di tengah jalan karena dimutasi ke kota Pelaihari.
 
Ketika kembali bertugas di kota Banjarmasin, aku kembali kuliah di PBSID STKIP PGRI Banjarmasin, hingga akhirnya diwisuda sebagai lulusan terbaik (2002). Kali ini kuliahku relatif lancar, salah satu faktor penunjang kelancaran itu adalah kemampuanku dalam hal tulis menulis. Banyak tugas kuliah yang harus dikerjakan dengan mengandalkan kemampuan dalam hal tulis menulis.

Tidak hanya mulus dalam kuliah, aku juga berhasil dengan mulus meraih obsesi lamaku, yakni menjadi dosen. Selepas diwisuda aku diminta menjadi dosen di almamaterku (status dimaksud masih kusandang hingga sekarang). Berkat kemampuanku dalam hal tulis menulis pula, maka aku kembali mulus dalam menjalani perkuliahan di Strata 2 PBSI FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Aku berhasil menempuh pendidikan akademis tanpa halangan berarti.

Berkat prestasi, reputasi, dan dedikasiku sebagai penulis karya sastra (fiksi dan nonfiksi) berikut berbagai genre/jenis tulisan lainnya, aku meraih sejumlah penghargaan.
 
Pada tahun 1991, aku menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Bidang Seni Budaya dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Ir. H. Akbar Tanjung). Tahun 1998, menerima Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Gusti Hasan Aman). Tahun 2002 menerima penghargaan sebagai Penulis Naskah Fiksi Keagamaan dari Departemen Agama Republik Indonesia.

Tahun 2005 menjadi salah seorang anggota tim penulis Biografi Walikota Banjarmasin Drs. H. Midfai Yabani, MM berjudul Dari Wali Kelas Menjadi Walikota (2005). Terbaru (2014), aku menerima Anugerah Budaya dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Rudi Ariffin, MM), dan Seniman Berprestaisi Bidang Sastra dari Walikota Banjarbaru (Drs. HM Ruzaidin).
 
Menulis merupakan perjuangan yang sarat hikmah-hikmah.
Mari Menulis.

Share this

0 Comment to "Menulis (2.4): Hikmah-Hikmah Menulis"

Post a Comment