Monday 19 December 2016

Menulis (5.0) Para Penulis

PARA PENULIS

Achoey el-Haris
Lahir di Ciamis dan tinggal di Bogor. Menulis puluhan buku; solo, duet dan antologi bersama. Aktifis GPM Bogor Raya, pendiri Komunitas Blogger Bogor & Wakil Ketua Komunita TDA Bogor Raya. Owner kedai Mie Janda yang aktif juga jadi motivator di Alus Spirit. Twitter: @cucuharisMJ FB: http://www.facebook.com/cucuharis.

Amelia Az-Zahra
Lahir 27 Februari 1994 di Jakarta. Saat ini sedang menyusun skripsi serta belajar untuk ujian nihongo noryoku shiken N1. Penulis sangat berharap agar bisa lulus dalam ujian tersebut, karena sertifikat kelulusan ujian tersebut sangat penting untuk memasuki mimpi-mimpi penulis di masa yang akan datang.

Aris Rahmanto Yusuf
Karyanya, Berdoa Bersama (Taddarus Puisi, Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto 2014), Memo Untuk Presiden (Forum Sastra Surakarta 2014), Puisi Ramadhan (Majelis Sastra Bandung 2014), Menebar Asa di Enam Musim (Pena House 2014), Bunga Rampai Terminal Sastra 2014 (KKL 2015), Majapahit Dalam Puisi (KKL 2015) dan menerbitkan antologi puisi duet Lelaki Hujan (Pena House 2014). Puisi-puisinya dimuat di Metro Riau, Denpasar Pos dan Malang Pos. Saat ini bergiat di LILIPUT (Lingkar Literasi Putih). FB:Aris Rahman Yusuf dan twitter: @Aris_Yusuf27.

Menulis (4.7): Menulis Impian

Raudatur Ridha
Mahasiswa PLB Unlam

BERAWAL dari akun facebook yang menarik minat saya untuk membaca sebuah tulisan di foto yang di-upload. Akun facebook tersebut memposting hal-hal yang menarik tentang menulis. Saya bersyukur pernah dibimbing pada pelatihan menulis yang diadakan di Unlam saat itu. Disanalah saya mulai mengagumi sosok pemilik akun tersebut. Apa sebenarnya yang dapat saya lakukan agar bisa menerbitkan buku? Banyak pertanyaan muncul dibenak ketika Beliau bercerita tentang produktivitas menulis.

Ya, saya suka menulis, namun terkadang tidak percaya diri. Membaca tulisan mereka yang hebat menulis, saya minder dan berhenti. Sempat terpikirkan, tulisan saya hanya pantas untuk dibaca sendiri. Sekalipun berkeinginan menerbitkan buku sendiri, namun tidak ada kesempatan untuk itu. Nah, postingan Pak EWA untuk menulis karya bersama, menjadikan bersemangat menulis.

Bapak EWA dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang memotivasi mahasiswa untuk menulis. Satunya diantaranya dengan mengajak menulis bersama. Banyak buku beliau yang telah diterbitkan. Lebih penting, Beliau menghargai karya mahasiswa, hingga menanamkan ke diri saya bahwa setiap hal bisa menjadi tulisan.

Menulis (4.6) Meningkatkan Level Menulis

Esa Puspita Ginanjar
GPM Bandung

MENULIS tentang pengalaman menulis, rasanya campur aduk. Menetapkan diri untuk konsisten menulis satu tulisan dalam satu hari di blog saja masih sulit. Alasannya yang diapungkan biasanya tidak mempunyai ide atau sibuk sama kegiatan mengurus anak atau bisnis. Kalau sudah demikian, kehendak untuk menulis dan menerbitkan buku sendiri semakin jauh dari kenyataan. Sekalipun demikian, tentu tidak boleh mudah menyerah.
 
Menulis itu gampang-gampang susah. Gampang kalau ada ide untuk diceritakan (ditulis), entah itu cuma curhat pengalaman pribadi, menulis pengalaman sehari-hari, resep makanan yang berhasil (ataupun gagal) dibuat atau sekadar menuliskan sekelebat ide yang tiba-tiba muncul yang jika tidak dituliskan langsung biasanya nanti akan buyar. Susah ketika mencari-cari ide untuk menulis. Padahal ya kalau sudah menulis, ide muncul begitu saja.

Ada kalanya muncul keinginan untuk menuliskan semua ilmu yang didapat menjadi sebuah catatan pribadi untuk dibagi, tetapi kemudian terpikir, eh ini pantas apa tidak untuk di-share ke publik? Apa perlu minta izin kepada pengisi materinya apa tidak? Padahal tangan tidak sabar untuk menuliskannya, merangkum isi materi di blog.

Menulis (4.5) Menulis Bukan Mimpi Bro!

Erry Damajanti
GPM Bandung

BAGI saya, menulis merupakan aktivitas mengasyikan dan telah menjadi kebutuhan untuk menuangkan apa yang ada di otak. Hal menyenangkan, menyedihkan, yang membuat galau, yang diinginkan, atau apa pun yang ada pada diri, yang dirasa pancaindra dituangkan dalam kata-kata. Manakala karena kondisi tertentu tidak mampu diungkapkan melalui lisan, maka disalurkan melalui cerita, tanpa menuliskannya.
 
Artinya, menulis merupakan lakuan menkongkretkan ide, gagasan, kesenangan atau kesusahan, kegembiraan atau kegalauan yang menjadikan perasaan dan pikiran lega. Ya, bila susah menuliskan sesuatu, ya dibicarakan, katakanlah semacam curahan hati (curhat). Kalau curhat yang dibicarakan dengan orang-tua atau teman tidak memungkinkan, andalan dengan menuliskannya di diary. Diary adalah ladang curhat paling menyenangkan yang mana kita dapat menuliskan apa saja.

Begitulah, awalnya saya menyalurkan kegemaran menulis dengan menuliskan apa yang dirasakan dan dipikirkan ke dalam diary untuk konsumsi pribadi. Diary sebagai sarana curhat teramat pribadi, karena takut kalau dibaca orang lain. Hal-hal yang dicurhatkan adakalanya memakai sandi yang menunjuk kepada sesuatu, hal-hal tertentu. Jadi, apa pun yang ditulis tidak akan diketahui orang lain.

Menulis (4.4) Bersilaturrahim dan Berbagi

Badijo
GPM Ciputat

MENYITIR alasan Jarwo kepada Bang Haji bila ditegur soal gayanya mencari uang dalam animasi Adit dan Sopo Jarwo: “Hehe, biasa Bang, nyari tambahan”, kira-kira begitulah awal ketertarikan saya untuk menulis. Saya ingin mencari penghasilan tambahan.
 
Sebagai karyawan tata usaha di sekolah swasta, gaji saya pas-pasan. Saya ingin pendapatan tambahan bukan untuk gaya hidup yang semakin hedonis, tetapi untuk memenuhi kebutuhan seperti untuk membeli smartphone, laptop atau kendaraan.

Pikiran saya, jika menulis cerpen atau opini untuk media cetak tentu akan mendapat honor. Begitu pula kalau menulis buku tentu akan mendapatkan royalti. Kalau beberapa tulisan dimuat media cetak dalam sebulan dengan honor Rp.250.000,00-Rp.1.500.00,00 atau mendapatkan royalti buku 10% dari penerbit tentu sangat membatu finansial.

Begitulah niat awal saya menceburkan diri ke dunia tulis menulis. Ibarat sebuah bangunan, niat awal itu bagaikan sebuah fondasi. Karena itu saya berupaya membangun fondasi itu agar kokoh dan kuat. Setelah pondasi itu terbangun, saya mulai menyusun bagian-bagian bangunan yang lain.

Menulis (4.3) Proses Kreatif dan Hikmah Menulis

Aris Rahman Yusuf
Admin Lingkar Literasi Putih Mojokerto

AWALNYA, menulis bagiku sebagai terapi untuk mengurangi masalah. Saat galau, saat sedang kesal, saat tidak ada yang bisa diajak komunikasi dengan tulisan aku “berbicara.” Saat mengenal blog (multiply) tahun 2009 aku menulis puisi, kata-kata mutiara, pengalaman sehari-hari dan sebagainya. Dari situ aku mengenal banyak penulis seperti Pipiet Senja, Asma Nadia dan lain sebagainya. Sekalipun tidak berkomunikasi aku membaca karya-karya mereka.
 
Pada tahun 2010 aku mulai rajin searching facebook para penulis. Aku “berkenalan” Bang Rudiyant dan berguru menulis melalui chatting. Aku pun berkenalan dengan banyak penulis dan berteman penulis di facebook serta grup-grup kepenulisan. Aku mulai gencar menulis setelah mengenal penerbit-penerbit indie seperti Leutika Prio, Hasfa Publisher. Kedua penerbit tersebut sering mengadakan lomba menulis.

Tetapi, dari tahun 2010 akhir sampai 2011 akhir, tidak satu pun tulisanku lolos. Puisi pertamaku lolos seleksi even puisi 7 baris yang diadakan oleh Grup Untuk Sahabat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Karena sering tidak lolos dan merasa uang dibuang sia-sia ke warnet, tahun 2012 aku berhenti menulis. Prestasi terbaikku, satu puisiku dimuat di Smart Linggau Pos.

Menulis (4.2) Impian Menjadi Penulis

Amelia Az-Zahra
Mahasiswa UHAMKA Jakarta

SAYA mahasiswi yang sedang menyusun skripsi Analisis Tokoh Novelis Jepang (Natsume Soseki).” Ketertarikan saya membahas karya-karya Natsume Soseki yang sudah tersebar ke seluruh seantero dunia terpicu dari pertanyaan: Kenapa novel-novel serta karya sastra Indonesia belum mendunia?
 
Manakala novel-novel karya anak bangsa ”dikonsumsi” oleh warga negara asing tentu saja dapat sebagai wahana pengenalan Indonesia dan kehidupan orang-orang Indonesia kepada masyarakat dunia. Sebaliknya, orang Indonesia yang membaca novel-novel karya penulis mancanegara dengan sendirinya mengetahui kehidupan masyarakat mancanegara. Misalnya mengetahui kehidupan bangsa Eropa ”Abad Pertengahan” mulai dari cara berpakaian sampai cara berpikir (filsafat). Kita dapat mengetahui dan mempelajari sejarah peradaban dunia melalui novel.

Saya mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Jepang UHAMKA Jakarta yang seharusnya meneliti mengenai pendidikan, tetapi sangat tertarik dengan karya-karya Natsume Soseki.
Untuk memperkuat kemampuan berbahasa Jepang, saya berusaha sangat serius belajar bahasa Jepang agar bisa lulus ujian kemampuan bahasa Jepang N1. Jika lulus N1, saya bisa mendapat beasiswa untuk kuliah S2 di Jepang. Mudah-mudahan saya diberi kemudahan oleh Allah SWT untuk mewujudkan impian tersebut. Amin.

Menulis (4.1): Novel Hadiah Kehamilan

Achoey El-Haris
GPM Bogor

SELEPAS istri saya diwisuda, target kami memiliki momongan. Doa khusyu dipanjatkan dibarengi ikhtiar. Alhamdulillah, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kabar baik datang, istri saya positif hamil. Saya begitu memanjakan istri, seolah melangkah pun didampingi. Terkadang, saya timang sambil bernyanyi-nyanyi karena senang akan dikaruniai buah hati.
 
Tetapi terkadang saya berpikir, jika istri telah memberikan saya kebahagiaan atas kehamilannya, apakah cukup mensyukurinya dengan berterima kasih? Tentu tidak, saya bukan lelaki sesederhana itu. Saya harus memberi hadiah yang indah. Motor? Ah takut jatuh. Mobil? Ah kemahalan. Rumah? Ah belum cukup uang.

Ahai, inilah jawabannya. Novel. Ya, novel yang ditargetkan selesai sebelum syukuran empat bulan kehamilan istri. Artinya, saya hanya mempunyai waktu kurang dari tiga bulan untuk menulis dan menerbitkannya.

Saya pun menulis dengan hati riang di sela-sela kesibukan. Terkadang pagi sebelum berangkat kerja, terkadang malam sebelum mata terpejam. Tidak memakai kerangka tulisan, tetapi memakai formula EWT; menulis novel ya ditulis begitu saja.

Menulis (3.4): Menulis Sebagai Kebutuhan

Rafdiansyah
Alumnus IAIN Antasari Banjarmasin

BAGI saya, menulis merupakan kebutuhan. Kebutuhan yang menjadikan kita berusaha untuk memenuhinya. Sebagai kebutuhan, menulis untuk menyalurkan energi positif. Tingkatannya berbeda dengan kebutuhan untuk makan, minum, olahraga, refreshing, berwisata, dan sebagainya.
 
Bahwa setiap penulis mempunyai motif atau tujuan tertentu, kiranya begitu adanya. Bagi sebagian orang, terutama para penulis produktif, menulis sudah merupakan life style. Penulis Ari Wulandari (Kinoysan), memanfaatkan pagi hari sebagai awal aktivitasnya dengan menulis. Ari, di sela-sela kesibukannya menyelesaikan disertasi menyempatkan membaca novel.

Penulis Ersis Warmansyah Abbas (EWA) menjadikan menulis bagian kehidupannya. EWA mendendangkan Ersis Writing Theory Writing (EWT). Teori menulis yang ”memudahkan” teori-teori menulis sebelumnya. Praktik EWT oleh EWA mencengangkan. Betapa tidak. Kiranya bagi EWA menerbitkan lima buku seri menulis pada bulan Januari 2015 hal biasa saja. Banyak yang bertanya-tanya, kapan EWA menulis buku tersebut mengingat kesibukannya yang beragam?

Menulis (3.3): Menulis Menggali Inspirasi

Mahbub Junaedi
GPM Bumiayu

MENULIS merupakan aktivitas menceritakan sesuatu dari apa yang dipikirkan, telah dipikirkan, dan atau, yang ada di pikiran dalam rangkaian huruf yang tersusun dalam anyaman kata yang terikat dalam kalimat demi kalimat. Aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan menyampaikannya dengan mulut atau melalui tulisan.
”Menceritakan” sesuatu melalui tulisan, baik berbentuk artikel, cerita, atau puisi, sesuai genre tulisan yang disukai masing-masing penulis. Bisa jadi, seseorang mengasah satu diantara kemampuan menulis, misalnya menulis cerita sehingga begitu mengasyikkan, dan mengalir menganaksungai yang berwujud naskah (tulisan). Ada pula orang yang piawai menulis berbagai genre tulisan dan semuanya terpapar bagus dan menarik. Sementara itu, tidak sedikit pula yang tertatih-tatih untuk menulis jenis tulisan apa pun.

Saya lebih tertarik dan ”terperangkap” menulis puisi, ranah menulis yang saya tekuni. Menulis puisi, bagi saya merupakan wahana penyampaian ungkapan melalui bahasa tersirat. Tentu saja hal tersebut berbeda dengan menulis artikel. Puisi mengharuskan ada kaidah yang dijadikan referensi, baik kaidah bahasa dan kaidah sastra (puisi) itu sendiri. Tetapi saat awal-awal menuliskan puisi masih dalam batas menuliskan yang tersusun dalam bait-bait yang miskin kaidah. Hal itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan sambil terus belajar dan mempelajari referensi yang ada.

Menulis (3.2): Menulis Melawan Diri

Heni Pujiastuti
Dosen Universitas Tirtayasa Banten

MENULIS ibarat memindahkan file dari laptop ke hard disc eksternal. Laptop itu otak dan hard disc eksternal itu tulisnya. Informasi yang ada dalam file yang dipindahkan ke hard disc eksternal dapat terdokumentasi dengan baik manakala memori laptop mampu menampung informasi-informasi baru. Bahkan, proses penyimpanan informasi baru bisa lebih cepat karena beban otak terbebas dari rasa khawatir kalau-kalau informasi yang dipindahkan itu hilang (lupa).
 
Semakin banyak file yang dipindahkan ke hard disc eksternal, semakin banyak kapasitas memori yang tersisa untuk menerima dan mengolah informasi-informasi baru yang lebih up to date. Contoh kecil saja, bila kita hanya mengandalkan otak untuk mengingat nomor handphone seluruh anggota keluarga, saudara, sahabat, teman sekolah, teman organisasi, rekan kerja, dan lain-lain. Terbayang bukan, alangkah capeknya otak kita.

Terlalu banyak alasan untuk tidak menulis. Seperti banyak diceritakan dalam buku-buku dan obrolan-obrolan ringan orang-orang yang baru berniat, yang kagum tentang tulisan, maupun yang merasa punya potensi untuk menulis. Ya, banyak alasan untuk tidak menulis. Mulai dari tidak ada waktu, butuh suasana yang pas, dan butuh tempat yang nyaman. Eh, giliran ada waktu dan ketemu tempat yang nyaman, wah sayangnya sedang tidak mood. Semakin di-listing alasan-alasan untuk tidak menulis, semakin tidak mungkin kita menulis.

Menulis (3.1): Menulis Dalam Persahabatan

Edy Wiharjo
Dosen Universitas Jember

kerap kita terperangkap
pada paruh pendakian
lunglai terkurung badai
sering kita terpelanting
tergusur kekuatan
lelah terpuruk kalah
betapa kecil kita
tak lebih dari buih
di laut lepas, tanpa tepi
seolah zarah
di luas langit, tanpa arti
tanpa-Nya
karena kendala pasti ada
takkan usai cuma dengan
lari dari lintasan
dakilah daki
betapapun tinggi
Ia kan ada, di tengah kita
Galau.

Sunday 18 December 2016

Menulis (2.5): Menulis: Terbitkan atau Minggirlah!

Wajidi
Balitbangda Pemprov Kalimantan Selatan

DI banyak negara, dosen yang tidak menulis buku dianggap tidak pantas untuk mengajar. Karena itu, ada ungkapan: Publish or Perish! Terbitkan atau Minggirlah! Penjudulan tulisan ini untuk menegaskan buku menjadi tolok ukur kepatutan seorang dosen untuk mengajar.
 
Pemakaian ungkapan tersebut bukan untuk menyudutkan para akademisi kita, tetapi untuk mengingatkan kita, bahwa seharusnya kita lebih banyak menulis buku. Apapun alasannya, negara-negara maju menghasilkan banyak publikasi buku dan jurnal ilmiah sementara kita masih berkutat dengan budaya lisan.
 
Seorang peneliti, akademisi, apalagi seorang ilmuwan sangat disayangkan jika ilmunya hanya di simpan di otak, atau hanya pandai berbicara dan enggan menuliskannya. Padahal, wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW, yakni Surah al-‘Alaq, ada perintah kepada manusia agar “membaca (iqra)” dan “menulis (kalam)”.

Menulis (2.4): Hikmah-Hikmah Menulis

Tajuddin Noor Ganie
Dosen STKIP Banjarmasin

MANAKALA dicatat, sepanjang aktivitas menulis, tidak sedikit hikmah yang kudapat. Berikut kutuliskan hal-hal paling berkesan sebagai hikmah menulis.

Hikmah menulis pertama yang kuterima adalah pujian sebagai pengarang berbakat dari Ibu Laila, Guru Kelasku, Kelas II, SDN Mawar Kencana, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hari itu aku memperoleh nilai sembilan untuk mata pelajaran mengarang. Nilai itu merupakan nilai tertinggi yang pernah beliau berikan untuk seorang murid dalam pelajaran mengarang yang telah beliau pegang selama bertahun-tahun.

“Ibu perkenalkan, Tajuddin Noor, calon pengarang berbakat dari sekolah kita,” ujar Bu Laila dengan bangga di depan kawan-kawanku sekelas. Kawan-kawanku bertepuk tangan memberi aplaus. Aduh, bangganya diriku. Inilah untuk kali yang pertama aku merasa tersanjung. Terima kasih, Bu Laila.

Aku masih ingat, hari itu kami ditugaskan Bu Laila menulis karangan tentang kerja bakti di sekolah. Pujian Bu Laila mematahkan reputasi seorang kawan yang selama ini menonjol dalam pelajaran mengarang. Selama ini dia membanggakan diri sebagai orang yang dengan mudah menyelesaikan tugas mengarang. Rahasia suksesnya itu menurutnya karena dia rajin membaca komik silat.

Menulis (2.3) BUKU HADIAH ULANG TAHUN

Rita Audriyanti
Ibu Rumah Tangga dan Penulis

“Happy birthday to you.
Happy birthday to you.
Happy birthday.
Happy birthday.
Happy birthday to you….”

“Panjang umurnya.
Panjang umurnya.
Panjang umurnya serta mulia.
Serta mulia.
Serta mulia….”

“Tiup lilinnya.
Tiup lilinya.
Tiup lilinnya sekarang juga.
Sekarang juga.
Sekarang juga…”

Begitulah lagu yang dinyanyikan. Hadirin menyambut sambil bertepuk tangan dengan suka cita yang berulang tahun hari itu. Hujan ciuman pun membanjiri pipi yang berbahagia pada saat itu.

Menulis (2.2): Membangun Semangat Menulis

Maria Roeslie
Penulis dan wirausaha

DI sebuah hutan yang sangat lebat yang dihuni binatang-binatang buas, terdapat sebuah gubuk tua dengan kondisi sangat memprihatinkan. Di gubuk tersebut tinggal seorang nenek dengan rambut memutih …

Kalimat tersebut sungguh melengket di memori saya. Kalimat yang selalu diulang oleh guru bahasa Indonesia dalam pembelajaran mengarang. Kalimat tersebut seolah-olah menjadi mantra dalam hal karang-mengarang sejak dari sekolah dasar (SD), SMTP, SMA, sampai saya kuliah. Pedoman yang tidak lekang karena panas tidak luntur karena hujan manakala memulai menulis.  Celakanya, dalam mengarang, sudah bisa ditebak, aktivitas menulis terhenti karena apa yang dikhayalkan, baik secara dramatis atau didramatisir, karena bahannya tidak mencukupi. Entah karena saya tidak mampu mencerna pelajaran yang diberikan guru atau bagaimana, saya tidak mengerti.  Seiring dengan perkembangan teknologi modern pada umumnya, teknologi digital khususnya, serta didukung kesenangan saya membaca, menjadikan saya kembali terpicu dan terpacu untuk (belajar) menulis.

Ya, saya belajar menulis kembali ketika telah menjadi ibu dari tiga orang anak. Tidak mudah tentunya membagi waktu sebagai wanita yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga untuk belajar menulis. Saya tidak mempersoalkan atau menjadikan sebagai alasan untuk tidak belajar menulis. Pekerjaan tetap dilakoni, mengurus anak dan keluarga tentu tidak diabaikan, dan karena itulah saya browsing, terutama mencari tahu bagaimana cara menulis yang baik, bagaimana cara memulai kalimat suatu tulisan agar menulisnya lancar, bagaimana mencari referensi untuk menambah lengkap tulisan. Ya, mencari jawaban atas bagaimana, bagaimana, dan bagaimananya menjadi prioritas.

Saturday 17 December 2016

Menulis (2.1): MEWARISKAN ILMU

Darmawijaya
Dosen Universitas Khairun Ternate

Betapa banyak orang di dunia memiliki ilmu yang tinggi dan wawasan yang luas, namun ilmu dan wawasan mereka itu sirna begitu saja dimakan waktu, bagaikan ditelan bumi, lantaran mereka tidak menuliskannya, tidak merakam di dalam buku. Seandainya mereka menulis buku, tentu ilmu dan wawasan mereka sebagai sumber inspirasi bagi generasi selanjutnya.
 
Kita bisa belajar pada orang-orang terdahulu yang mau menuliskan ilmu mereka. Dalam konteks dapat dipahami, menulis merupakan aktivitas mulia dan paling indah dalam mewariskan ilmu yang akan hidup sepanjang zaman.

Al-Qur’an merupakan contoh konkret. Jika Rasulullah SAW tidak meminta para Sahabat menulis wahyu Allah SWT, bisa jadi Al-Qur’an akan ditulis berversi-versi. Jika dihafal saja, akan mudah terlupakan mengingat daya ingat manusia terbatas.

Menulis (1.1): ENJOY MENULIS

Ersis Warmansyah Abbas
Pendiri Gerakan Persahabatan Menulis

KALAU diingat-ingat, satu hal yang membuat saya tertawa saat menulis, adalah nasehat tentang bagaimana menulis. Nasehat tersebut tentu tidak salah, apakah diutarakan atau ditulis. Halnya adalah kalau hal tersebut dilakukan, dipastikan saya tidak menulis, apalagi produktif menghasilkan karya tulis. Sebab dipastikan tidak akan mampu memenuhi halnya.
 
Betapa tidak. Ada nasehat, bila hendak menulis, lengkapi peralatan, cari tempat yang tidak bising, tenang, dan menyenangkan, saat mood, in the mood, sehingga gairah dan semangat menulis menjadi-jadi. Nasehatnya baik, tetapi tidak pas buat saya. Sebab, tidak mungkin saya memenuhinya.
 
Saya menulis sejak kelas V SR (SD). Peralatan? Saya mempunyai alat tulis standar, sabak. Belum ada buku dan pensil. Ketika era mesin tik, lebih sering meminjam. Begitu pula masa awal komputer, ya meminjam.

Menulis (0.2) Daftar Isi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………… v
DAFTAR ISI ………………………………………………. vii

BAGIAN PERTAMA:
MENULIS ENJOY-ENJOY SAJALAH ….. 1
1.1 Enjoy Menulis
Ersis Warmansyah Abbas …………… 3

Menulis (0.1): Kata Pengantar

Ersis Warmansyah Abbas

MENULIS merupakan aktivitas setiap hari —kalaulah tidak dapat dikatakan aktivitas setiap helaan nafas— setiap orang. Manakala menulis dimaknai sebagai “penuangan” pikiran atau apa yang ada di pikiran —istilah lainnya menulis konvensional— memang dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sulit dengan segala ragamnya. Tetapi, manakala menulis dimaknai sebagai lakuan setiap helaan nafas, setiap panca indra meng-input informasi atau pikiran “menggodok” pengetahuan, mindset tentang menulis tentu lebih bermakna.
 
Manakala mata melihat, telinga mendengar, hidung membaui, lidah merasa, atau tangan dan kulit sebagai peraba sesuatu, apalagi ketika pikiran diaktifkan, kita sedang menulis di otak, menyimpannya di memori. Lakuan tersebut, menulis di otak. Sesuatu yang dilakukan setiap saat oleh setiap orang.

Pemaknaan demikian, membangun penyadaran, bahwa menulis merupakan lakuan “biasa-biasa saja”; bukanlah hal susah, apalagi menyusahkan. Kenapa?

Menulis (6.9): Menulis: Change in Progress

Ersis Warmansyah Abbas
ALHAMDULILLAH. Bab terakhir buku ini, sebelum diedit, ditulis persis pada Tahun Baru Hijriah. Tahun Baru Islam. Rasulullah SAW ”menegakkan” Tahun Islam. (Hmm, jangan bilang siapa-siapa, banyak Muslim memilih merayakan besar-besaran Tahun Baru Masehi dibanding Tahun Hijriah).
Ya, Rasulullah memang membiasakan diri merenung, tafakur, dalam talian menghambakan diri pada Allah SWT. Bagi Rasulullah SAW hubungan vertikal adalah esensi yang dilakoni dalam kehidupan dengan mendalam. Dan, dalam kaitan horisontal, Rasulullah SAW ‘berbuat’. Berbuat selalu menuju ke arah lebih baik. Biar kebarat-baratan, change in progress. Hijrah ke arah lebih baik. Lalu apa kaitannya dengan menulis?

Membaca sejarah Rasulullah, kita akan terkagum-kagum, pada setiap betapa waktu, kualitas kehidupan Rasulullah SAW menjadi contoh bagi kita untuk hijrah, berbuat ke arah lebih baik. Tidak heran, dengan kecepatan yang mengagumkan syiar Islam bergerak bak kilat.
 
Rasulullah SAW tauladan sempurna. Tidak heran Michael H. Hart menempatkan Rasulullah sebagai pemuncak tokoh paling berpengaruh sejagat.

Ya, Rasulullah mengamalkan perintah Allah SWT tanpa menawar sedikitpun. Oh ya, masih ingat perintah Allah SWT yang pertama kepada Rasulullah SAW melalui Malaikat Jibril? Masih ingat, ketika para Sahabat semakin banyak syahid, Rasulullah SAW menyuruh menuliskan firman Allah SWT pada pelepah kurma, tulang binatang, atau batu?

Menulis (6.8): Menulis Membangun Senang

Ersis Warmansyah Abbas
SETIAP orang mempunyai kesenangan. Ada yang senang mengintip, ada yang suka bicara sepanjang hari, ada yang hobi main tenis, ada yang terpuaskan menonton bola, atau berdiam diri di kamar. Suka-suka, senang, menyenangi dan tersenangi, tidak bisa dipaksa-paksa. Jangan pula memaksakan pada orang lain. Adakalanya tidak logis. Namanya juga senang.
Kalau saya menyenangi banyak hal. Kalau dianggap baik dan mampu menyenangi, kenapa tidak? Senang dan menyenangi mendobrak banyak kendala, sebab kita akan berusaha meraihnya, dan menikmati.

Saya senang membaca. Karena itu berlangganan koran, membeli majalah, atau buku. Karena bukan orang kaya, memperbanyak membeli buku, jarang membeli baju. Senang membaca menumbuhkan senang menulis. Untuk memupuknya, semakin menyenangi membaca. Menyenangi berjalan-jalan, wisata, atau bepergian. Sebab, tanpa disadari menjadi pupuk bagi menulis. Menyenangi mengamati sesuatu, merasakan, dan seterusnya.

Kesemua itu mendukung kesenangan menulis. Sebab, ‘melihat sesuatu’ lebih cepat berkoneksi dengan entry behavior, otak sigap menganalisis, feeling mendeteksi, oh ini bagus, itu perlu dipertimbangkan. Dengan kata lain, melempangkan jalan untuk menulis, mempermudah menulis.

Menulis (6.7): Menulis Memupuk Senang

Ersis Warmansyah Abbas
MENULIS menuangkan pikiran. Kalau pikiran itu sendiri sedang ruwet manalah mungkin dituangkan, dituliskan. Kalau dipaksakan akan centrang-prenang. Pikiran yang siap ditulis, dibeking suasana hati, biar keren, ada yang menamainya mood, atau lebih tepatnya, in the mood. Tidak usah diperdebatkan mood suasana hati sementara yang akan dituliskan pikiran.
Kalau pikiran ruwet agak susah menulis. Walau, dalam praktiknya, keruwetan pikiran kalau ditulis malahan membuat kenyamanan. Karena itu lebih bagus melatih menulis dalam suasana apa pun. Seorang kawan mengeluh, menulis di blog atau FB, jarang dikunjungi. Kalau pun dikunjungi dan dikomentari, komentarnya sadis. Dia melakukan dua kesalahan dengan manajemen perasaan tidak positif.

Pertama, menulis ya menulis saja. Dalam bahasa saya, belajar, membelajarkan diri. Tidak dikunjungi orang terkarena belum ‘dikenal’. Kalau dikenal baru tahu rasa, bikin repot kalau tidak dinikmati. Dengan kata lain, nikmati menulisnya.

Kedua, komentar sesadis apa pun, jadikan masukan. Kalau tidak berkenan hapus. Hal sangat sederhana. Tetapi, dari aneka komentar itu kita belajar. Saya sering mendapat ide dari komentar. Orang Banjar bilang: Bawai tatawa ja. Atau ketawakan komentar miring tersebut, teruskan melatih menulis. Positifnya ambil, jadikan pemicu dan pemacu menulis.

Menulis (6.6): Menulis Menikmati Tugas

Ersis Warmansyah Abbas
BAGAIMANA sikap kita menghadapi tugas? Banyak cara. Dalam kaitan menulis, sebaiknya dilakukan dengan senang, riang gembira. Setidaknya, berusaha menyenanginya. Cara lain? Tidak usah dipikirkan. Sebab, tugas adalah kewajiban yang harus dilakukan. Titik.
Prinsip tersebut memang tidak bisa diamini semua orang. Ada seorang yang sharing menulis ketika diberi ‘tugas’ menulis minimal satu tulisan dalam sehari, selama satu bulan tidak boleh abai, marah-marah ketika dicoret sebagai anggota sharing. Apa pasal?

Pada hari ke lima dia tidak menyerahkan tulisan, yang harus dikoreksi, dan tentu diperbaiki, dengan alasan ini-itu. Yang saya perlukan tulisan terbarunya untuk dikoreksi, bukan alasan. Ketika ‘diceramahi’, ya itu tadi, dia marah.

Saya tidak dapat berbuat apa-apa. Yang hendak sharing menulis dia, saya dapat tambahan kerja, gratis pula. Kok dia yang marah. Belakangan malah menjelek-jelekkan. Bagi saya aneh saja begitu.

Menulis, dalam arti melakukan, sejatinya pekerjaan mandiri, pekerjaan merdeka. Kalau lagi mau menulis, ya menulis saja. Bebas. Kalau lagi enggan, jangan diakukan. Tetapi, kalau sharing, apalagi ikut pelatihan, lain lagi ceritanya. Lagi pula, siapa yang memaksa ikut? Diri sendiri. Ya, harus ikut aturan.

Menulis (6.5): Menulis Menuai Nyaman

Ersis Warmansyah Abbas
KETIKA mengikuti kuliah S2 di Bandung tempo hari, mendidik beberapa mahasiswa menulis. Ketika membuka Materpamur Agency, saya mempercayakan pengelolaan kepada teman-teman di Asrama Surau Awak, Jalan Sersan Badjuri Nomor 8, Bandung. Saya hidup dari honor menulis dan agen media. Bersama Aswir, membangun ERAS FC (Ersis dan Aswir) perintis photokopi di Bandung Utara. Dosen-dosen UPI ada yang masih meledek sebagai Raja Photokopi.
Kini, teman-teman sukses berbisnis, saya tidak boleh tergoda. Paling-paling bercerita tentang bisnis tempo dulu, bercerita bagaimana memaksa mereka pagi-pagi, jam 04.00 ke Cikapundung mengambil aneka media kepada almarhum Pak Rajab, agen besar media.
 
Kami memasok koran untuk IKIP Bandung. Oleh Rektor, Abdul Kadir, dan PR I, Fakry Gafar ditugaskan membuat suplemen lustrum VII IKIP Bandung. Bayarannya, Rp.10 juta. Beasiswa mahasiswa pascasarjana Rp.100 ribu per bulan. Puncak prestasi jurnalistik saya waktu itu.

Ya, merambah Bandung, menjalin persahabatan dengan banyak orang melalui jalan menulis. Saya bekerja di perwakilan HU Pelita Jawa Barat. Menulis dan berbisnis. Kali ini diam-diam ke Bandung untuk S3. Tetapi, gara-gara postingan terus-menerus di FB dan Blog, kehadiran tercium. Mudahan tekad untuk fokus kuliah terpelihara. Banyak teman sukses bisnis rumah makan. Ada yang di percetakan. Adalah Kenedy, yang menjemput ke kos hari ini dan menolong menerbitkan buku-buku saya.

Menulis (6.4): Menulis Berkawan Nyaman

Ersis Warmansyah Abbas
LINGKUP kehidupan saya hanya level lokal di Kalimantan Selatan. Coba ketik kata Ersis Warmansyah Abbas, Paman Google mencatat puluhan ribu. Hebat juga. Saya tidak tahu. Erwin D. Nugroho, Bos JPNN, yang menyuruh mengetik semisal: ‘Teori Menulis’, nah ‘Menulis Tanpa Berguru’ peringkat atas. Dan, banyak lagi. Oh begitu kiranya. Saya tergolong gaptek.
Lagi pula, hal-hal sedemikian, jangankan dibanggakan, paham saja tidak. Tetapi, satu hal, ternyata dengan menulis melempangkan jalan untuk berkawan. Kalau makan di restoran, sudah bukan hal baru: “Pak sudah dibayar. Bapak yang berbaju dinas yang membayarkan.” Aneh saja, kenal saja tidak kok mentraktir. Tetapi, begitulah nasib penulis. Memberi kemudahan banyak hal. Menyenangkan.

Bagi yang berpikir negatif: “Nyata saja, kalau tidak dibayarkan, nanti Anda tulis kejelekkannya.” Ya, Allah SWT menciptakan Malaikat, juga Iblis. Iblis yang memandang sesuatu negatif, berniat jelek, agar semua masuk neraka.

Hmm, bukan sombong, dari walikota sampai Gubernur, bercanda dengan mereka hal biasa saja. Contoh SMS Gubernur: “Sis, Aku lapar. Kita makanan di Cendrawasih. Sudah dimana?” Seaslinya disalin. Erwin pernah menulis: Ersis menulis apa adanya. Pengalaman pribadi dengan orang lain sekalipun. Padahal, belum tentu orang itu suka ditulis.

Thursday 15 December 2016

Menulis (6.3): Menulis Kata Menjamah Rasa

Ersis Warmansyah Abbas

SEMILIR angin malam dingin-dingin sejuk. Penjara ingin membalut harap di Bandung nan mempesona. Roda hari berpacu lebih kencang. Canda anak-istri mendenda batin dalam rindu. Nun, di kaki gunung Kerinci, asal diri, Ibu-Bapak semoga sehat walafiat. Doa dipanjatkan.

Malam makin mendaki, globalization berbungkus international education semakin menggaruk, local genius harus dipancangkan kokoh agar persada jangan ditelan mentah-mentah. Duh, Mak, muatan lokal digadai English. Mau jadi apa bangsa ini. Meruwetkan pikiran menghujam rasa.

Pisau aturan memotang rezeki, mereka mengasahkan kilat pedang, bukan untuk mereka. Mata dipaksa, tangan diminta, pikiran didera, pelatihan demi negara. Mereka tertawa terbahak-bahak membagi kurma, menjulur lidah: “Rasain loe, siapa suruh sekolah.”

Dunia ini misteri, nasib ini, bukan Allah SWT lagi yang menentukan, mereka-mereka menyiksa dengan mesra. Bumbu-bumbu logika ala pembenar mengirim duka. Dasar durjana.Duh Gusti, Ya Allah. Maafkan mereka. Serakah bukanlah fitrah, rantai kuasa memesona, biarkanlah nikmat dikecap, mereka akan tahu: Kekuasaan bukanlah segala.

KasihMu, Asmaul Husna tidak mudah dicerna. Angin masa akan berkhabar, keserakahan mudahan bertukar doa berbuah rasa dalam cinta sesama.

Menulis (6.2): Menulis Membangun Silaturrahim

Ersis Warmansyah Abbas

MEMBANGUN silaturrahim mendatangkan rezeki. Al-Qur’an dan Rasulullah memerinthakan menjalinan silaturrahim. Kalau silaturrahim beres, duh nyamannya. Caranya? Satu hal yang mengagumkan melalui tulisan. Maksudnya?

Jujur saja, menulis di media cetak seperti menulis buku, melempangkan jalan berteman dengan banyak orang. Mendatangkan rezeki sudah pasti. Hitungannya, lebih banyak positifnya dari negatifnya. Hal tersebut terus melebar dalam guliran menyenangkan. Apa pasal?

Sekitar dua tahun lalu, dikagetkan ketika memasuki wilayah blog. Tidak sampai setahun mendapat teman ribuan orang, komunikasi dunia maya marak, menjalin silaturrahim. Rezeki mengiringi. Tidak ada sangkutan darah, atau profesi, bila ‘kopi darat’ duh nyamannya. Tidak bertatap muka, jalinan silaturrahim terkadang lebih kuat dari talian saudara. Begitu dahsyatnya jalinan silaturrahim sebagai kandungan menulis di dunia maya. Setiap saat dapat berkomunikasi tanpa sekat jarak dan waktu. Mengasyikkan memang.

Kemudian mucul Facebook yang lebih lincah. Jangankan melalui pertukaran artikel atau perbincangan serius untuk satu hal, dari komen-komen sambil lalu saja, rasanya begitu akrab. Luar biasa.

Menulis (6.1): Menulis Plong … Alamak

Ersis Warmansyah Abbas

BANYAK hal dibaca. Dari yang remeh-temeh sampai yang serius. Membaca tabloid dengan sajian menggelikan sampai buku tentang Ibnu Rusyid yang begitu serius. Apalagi di ruang kuliah, dari wejangan dosen sampai diskusi saling adu argumen. Hmm, Keinchi Ohmae boleh membahas percaturan dalam The Borderless World dengan peringatannya. Dalam tarikan Indonesia, harus berbenah diri.

Betapa dalam kehidupan ini, banyak yang diinginkan, yang baik-baik semua. Tetapi, kehidupan menyata lain. Hidup sesungguhnya adalah perjuangan. Ada tantangan, ada kekecewaan, ada kesedihan, ada pula kesuksesan atau kegembiraan. Campur aduk. Kita harus tetap hidup.

Tangan beraksi, hidung mencium, mata melihat, telinga mendengar, apa saja yang dapat dijangkau. Semua ini saling berdesak meminta tempat di memori otak. Ada yang disimpan, dibiarkan lewat, atau ditolak. Macam-macam. Terserah kita menempatkannya.

Menulis (5.8): Menulis Mendapatkan

Ersis Warmansyah Abbas

BANDUNG, 5 Desember 2009. Seseorang mengantarkan dua voucher tiket menonton yang dapat digunakan di seluruh bioskop 21 dengan limit 31 Desember 2009. Dari Kompas. Saya langganan Kompas Rp.50.000,00 per bulan. Harga dua tiket Rp.30.000,00. Tulisan saya di Kompas pastilah dihargai ratusan ribu rupiah. Nah, langganan bulanan jadi murah bukan?

Itu contoh kecil. Menulis ya menulis saja, bukan disandarkan pada misalnya untuk mendapatkan voucher atau honor. Semua akibat dari tulisan. Kalau tidak dapat?

Ya, tidak apa-apa. Tulisan saya kan dilansir di Blog atau FB. Ada yang pantas dimediacetakkan, kirimkan. Dimuat, diberi voucher atau honor, Alhamdulillah. Masyak sih tidak ada keinginan mendapatkan? Ya, adalah. Tapi, bukan menjadi gayutan. Cara dan pola berpikirnya yang berbeda.
Saya belum pernah bertemu dengan Andrea Hirata. Kalau bertemu akan menanya satu hal: Apakah ketika menulis tetraloginya dimaksudkan mendapatkan uang?

Menulis (5.7): Menulis Salah, Asyiiik

Ersis Warmansyah Abbas

MEMBACA lawas, terkadang berbuah tawa. Sebenarnya sangat ingin membaca makalah semasa S1 atau S2, tulisan di Kompas, Sinar Harapan, Pelita, Jayakarta, Haluan, Bandung Post, Banjarmasin Post, Kedaulatan Rakyat, atau yang dimuat di berbagai media. Tapi, ya itu tadi, entah dimana.

From Virtu to Excellent, begitu saya menemukan tulisan lawas di media kampus yang dikelola mahasiswa. Bagus. Bangga. Tetapi, ada salah kata, untung bukan salah konsep. Pada satu tulisan di media cetak, menulis ‘kiat’, rupanya ditukar menjadi ‘kita’. Dasar redaktur kreatif.

Tetapi, yang hendak saya paparkan, menulis sesuatu, tidak berambisi tulisan tanpa salah. Apalagi, salah kata. Erwin D. Nugroho memberikan tata ejaan yang berlaku di Grup Jawa Pos. Salah? Ya, apa salahnya salah? Salah kok dijadikan pembunuh kreativitas. Salah, dimaknai dalam artian positif. Kasihan salah disalahkan terus. Memaknai salah dalam praktik dalam arti mengambil manfaatnya. Lho kok?

Menulis (5.6): Menulis Membuang Catatan

Ersis Warmansyah Abbas

SEORANG trainee Bandjarbaroe Post, media cetak milik saya, memperlihatkan catatan ringkasan wawancara dengan bersemangat. Dicuekin saja. Kalau laporan sudah ditulis, baru didiskusikan. Segera terlihat, mana yang pantas dimuat, ya dimuat, pantas di tong sampah, ya ditongsampahkan. Yang perlu ditulis ulang, ditulis ulang. Catatan?

Ahai, simpan sebagai catatan. Ada yang disuruh buang, catatan sekadar pengingat. Catatan memuat mana yang pokok, yang penting. Membaca atau mendengar berarti mengoperasikan otak, mencatat sami mawon. Lalu, disimpan di otak. Bukan pada catatan.

Yap, membaca catatan memudahkan mengingat keseluruhan. Membaca catatan berarti mengkonstruksi totalitas. Hasil bacaan berupa konstruksi tulisan di otak. Menulis, menuangkannya, menjadikan tulisan melalui proses panjang di otak, sekalipun durasinya beberapa menit saja. Fungsi mencatat, meringkas keseluruhan, dan kemudian untuk mengkonstruksi keseluruhan yang baru. 

Menulis (5.5): Menulis Ngapain Fokus

Ersis Warmansyah Abbas

KEBIASAAN ‘buruk’ saya, menulis bukan hanya menulis saja. Kalau ada teman, biasanya sembari bercanda. Sembari menonton bola atau menikmati ‘tarian kaki’ Michel Jackson, duh nikmat. Saya suka Hello Lionel Richie, Dealova Once, senandung Ebiet G. Ade, Be Gees atau hentakan Queen dan Scorpion.

Kebiasaan tersebut dibangun dari kebiasaan suka mendengar musik. Muncul tanya: “Menulis sembari mendengar musik seolah mendapat pelumas. Kalau begitu, bagaimana kalau mata juga dilatih?” Nyatanya bisa aja tu. Saya malahan mempunyai mimpi, teknolog nanti menciptakan alat dimana dengan tatapan mata atau kekuatan pikiran apa yang ada di otak bisa langsung tertulis he he.

Dengan kata lain, kalau fokus diartikan perhatian dan seluruh potensi diri hanya dihadapkan pada satu hal, menulis, kok merugikan begitu. Hal seperti ini, seperti juga menulis harus menunggu mood, kalau lagi mood baru menulis, lucu saja begitu. Ada yang mengatakan sok, ya biar saja.

Menulis (5.4): Menulis Membangun Kompetensi

Ersis Warmansyah Abbas

ISTRI saya me-SMS. “Da, maaflah. Lampu depan mobil pecah, kap mesin peot. Tetapi, sudah diperbaiki.” Besoknya isi SMS lain lagi: “Azta diantar pakai mobil. Visi tidak mau, dia ikut Antra.” Azta, anak bungsu saya, kelas I SD, sore menelepon: “Pak Pak, ulun jadi kalo ke Bandung.” Lalu, berkisah kesana-kesini. Biasalah. Anak perempuan banyak maunya.
Saya terkenal penjawab SMS sangat praktis. “Yap. Ongkos belajar”. Apa hubungannya dengan menulis? Sabar wahai dangsanak.

Saya suka mengibaratkan ‘perjalanan’ menulis dengan menyetir mobil. Saya yakin, semakin hari istri semakin terbiasa menyetir. Dan , ini dia, kalau sudah fasih, tidak memikir bagaimana memutar setir agar kepala mobil tidak mencium garasi, atau menyetir sembari menerima telepon. Berlaku otomatis.

Pada hal-hal tertentu, tidak memikirkan yang akan ditulis.“Mar”, kata saya kepada Syamsuwal Qomar yang asyik mendata buku: “Sebutkan satu kata.” Dijawab: “Seronok.” Tangan menari di keyboard komputer. Arti kata seronok di KBBI, dan seronok sebagaimana ditulis Kamus Dewan (Malaysia) bergabung begitu saja. Ketika ke Malaysia terpingkal-pingkal ketika orang Malaysia memuji penampilan Band Gigi, Dewa, Ungu, dengan ‘seronok’. Orang Indonesia memahami terbalik dari apa yang ditulis di KBBI. “Berapa menit?” Ternyata memecahkan rekor menulis artikel, hanya 9 (sembilan) menit.

Menulis (5.3): Menulis Dialog Diri

Ersis Warmansyah Abbas

DALAM Ersis Writing Theory, sekalipun ada yang mengesankan, anti diskusi, anti dialog, atau anti intervensi hal-hal di luar diri (pikiran), sebenarnya tidak demikian. Mendiskusikan ‘calon’ tulisan dipahami tidak produktif dalam artian merusak laju menulis. Kalau tulisan telah menjadi, kalau perlu galakkan diskusi dalam rangka perbaikan.

Menulis adalah diskusi ‘internal’, berdialog dengan ‘diri’. Ketika pikiran terpantik atau indra terespon sesuatu, pikiran akan ‘mendialogkan’, pantas apa tidak ya? Kalau diloloskan, cukup bahan apa tidak? Lolos lagi, analisisnya rasional apa tidak? Kalau ditulis bermanfaat apa tidak? Dan seterusnya. Dialog terjadi sepanjang proses menulis.Tulisan adalah hasil dialog, hasil diskusi diri setelah melalui filter, pertimbangan ini itu. Tulisan adalah konklusi. Karena itu, mustahil tulisan seseorang sama dengan lainnya. Impossible. Seseorang adalah orang lain dari seseorang yang merupakan individu, individual differences. Khas. Unik. 

Begitulah. Ketika seseorang tidak memahami diri, tidak memahami kemampuan diri (dalam menulis), apalagi diiming-iming ‘nafsu besar’, saking bersemangat, tanpa dialog, langsung menulis, apa yang terjadi? Ejakulasi dini menulis. Menulis menata, mengukur, mengevaluasi diri. Apabila seseorang tidak mengetahui dirinya, akan sulit menulis. Menulis, menuliskan diri.

Menulis (5.2): Menulis Energi Positif

Ersis Warmansyah Abbas

MENULIS melelahkan, hasilnya tidak jelas. Bisanya menulis saja, apa yang ditulis tidak sesuai dengan yang dilakukan. Menulis yang baik seirama dengan perilaku. Dan, seterusnya. Bahkan, pernah dituding: Ersis tidak rasional, kalau semua orang menjadi menulis, siapa yang membaca.

Waduh, soal pandangan, hal logika seseorang tentu orang lain tidak bisa memaksakan. Masing-masing punya latar pemikiran. Kenapa main paksa. Kalau tidak berminat tentang satu hal, tidak sesuai prinsip, ya tidak usah dilihat, dikomentari, atau dipikirkan. Kalau seseorang melakukan apa yang diyakininya, selama tidak melabrak yang lain, dibiarkan saja barangkali lebih positif.

Menulis (5.1): Menulis Kehidupan

Ersis Warmansyah Abbas

BANDUNG. Kuliah. Makalah. Book Report. Book Review. Take Home. Gramedia. Palasari. Fotokopi. Lantai III, V, atau VI Gedung SPS UPI. Antre di depan lift. Diskusi. Google. Laundry. Mandi tergesa-gesa. Begitu tiap hari. Bosan dan membosankan. Seorang teman mengeluh.

Seorang teman terenyuh. Beasiswa belum ‘cair’. SPP dan tetek bengek perkuliahan dibayar sendiri. Gaji untuk keluarga. Pendapatan sampingan nol. Teman dari teman menelepon: Situ kuliah nyaman. Universitas membantu Rp.20 juta. Si teman tertawa masam, pahit. Istrinya sakit. Duuuh. Sedih.

Menulis (4.12) Menulis,Mengenang Pengalaman

Ersis Warmansyah Abbas

REKAN-rekan Bandjarbaroe Post dan Lembaga Pengkajian Kebudayaan dan Pembangunan Kalimantan (LPKPK) bergiliran ke Bandung. Beberapa pekerjaan harus diselesaikan dan setelah selesai membawa mereka ke pusat kota Bandung. Tempat yang tidak pernah dilewatkan, Cikapundung. Mereka tidak paham.

Semasa kuliah S2 di Bandung, dengan teman membuka fotokopi, ERAS FC di Panorama. Saya mendirikan Materpamur Agency sembari bekerja di HU Pelita Perwakilan Jawa Barat dan memasok koran ke IKIP dan kawasan Bandung Utara. Bermarkas di asrama Surau Awak, jalan Sersan Badjuri Dalam, nomor 8 Bandung.

Sebagai wartawan, sering minum teh di ruangan Rektor IKIP Bandung. Pak Fakry, PR I mempercayakan publikasi Lustrum VII IKIP Bandung. Kantor Golkar, Kodam Siliwangi, Telkom, Gedung Sate, NHI, menjadi area kerja. Hmm gratis masuk Studio East, berteman dengan bos TV Bandung, Pak Gunawan, dan mengikuti Paramitha Rusady dan Kang Ibing shooting Anemar Bangkong.

Menulis (4.11): Menulis, Langsung Saja

Ersis Warmansyah Abbas

SETIAP hari, dari bangun pagi sampai tidur, pada galau aktivitas, dipastikan banyak hal yang kita pindai atau alami, banyak diantaranya berbuah menjadi pantikan ide. Sekian diantaranya menjadi ide, yang sekian diantaranya, melalui seleksi di alam pikir, pantas ditulis. Diantara yang pantas ditulis, menjadi tulisan.

Saya meringkas prosesnya. Pada aktivitas keseharian, meraup, menyeleksi sampai menulis tidak berpanjang-panjang. Ada kalanya seleksi dilakukan ekstrem: Oh ini menarik ditulis, tulis, jadilah tulisan. Langsung.

Ide sebagai konstruk di pikiran kalau ditayangkan slow motion bukanlah proses yang pendek. Hanya saja, karena otak memproses sangat cepat. Puncaknya menjadi refleks. Misalnya, ketika sesuatu benda mendekati mata, mata langsung terpejam, perlindungan otomatis. Itu dinamakan refleks. Mungkinkah menulis secara refleks? Banyak bagian berkehidupan kita menjadi buktinya dimana —seolah tanpa dipikir— tetapi berlaku.

Menulis (4.10): Menulis Berterima Kasih

Ersis Warmansyah Abbas

KULIAH Globalisasi: International Education berakhir menjelang Magrib. Kami membahas buku, A Future Perfect The Challenge and Hidden Promise of Globalization, John Miclethwait dan Adrian Wooldridge setelah sebelumnya Culture Matters, L.E. Harrison dan S.P. Huntington. Buku yang kesekian belas.Kebetulan mendapat dua voucher dari Kompas menonton di studi XXI. Saya mau menonton dengan istri. Untung masa berlakunya sampai 31 Desember 2009.

Menjelang salat Isya pintu diketuk. Paket antaran JNE, buku The Big Ide (Donny Deutsh dan Catherine Whitney), Blink (Malcolm Gladwell), The Black Swan (Nassim Nicholas Taleb) — sudah dibaca— Your Best Life Now (Joel Osteen), The Diary of Dajjal (Noriagaa dan Accenar), Kesadaran Jiwa (Irmansyah Effendi), Jurus Anti-Gagal Dalam Menjual (Frank Bettger), Politik Sastra (Saut Situmorang), 1001 Kesalahan Berbahasa (E. Zainal Arifin dan Farid Hadi, Mencerdaskan Hati Melapangkan Dada (H. M. Syamlan), dan Gobang Semarang (Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana).

Pengirimnya sahabat dunia maya dari Jakarta. Tidak eloklah disebut namanya. Bisa-bisa buku kirimannya sudah yang ke seratus. Untuk membantu aktivitas kepenulisan, dia pun telah membantu puluhan juta. Terima kasih.

Menulis (4.9): Menulis Menunaikan Tugas

Ersis Warmasyah Abbas

BULAN Desember tahun ini bulan ‘kepuasan’ menulis. Minggu lalu Hakim dan Qomar ke Bandung membawa bahan untuk buku Rudy Resnawan, Walikota Banjarbaru. Tiga hari menulis maraton. Kemarin sore, Qomar datang membawa bahan buku PDAM Bandarmasih. Buku ini ditarget dua hari sebab menyusul kemudian menulis Sejarah Kotabaru.

Padahal, minggu ini punya target menyelesaikan beberapa tentang menulis. Beberapa buku antre untuk ditulis, dan 7 (tujuh) makalah perkuliahan. Dua makalah untuk dipresentasikan, lima untuk tugas kuliah. Harus menulis ekstra cepat. Dan, itu menyenangkan.

Sebenarnya, tumpukan tugas karena ‘kecelakaan’. Saya dan Bambang Subiyakto, sebenarnya tidak berniat menempuh pendidikan Doktoral (S3) tahun ini. Tapi, karena ‘dipaksa’ ikut tes, dan lulus, dapat beasiswa BPPS, ya kuliah jadinya. Prosesnya cepat, hingga tidak sempat memikirkan segala tetek-bengek persiapannya. Hidup sudah digariskan.

Menulis (4.8): Menulis di Saat lapar

Ersis Warmansyah Abbas

HARI ini termasuk hari menyenangkan. Lima hari lalu ketika menimbang badan, bobot menaik, dari 66 kg menjadi 70 kg. Bertinggi 168 tentu tidak ideal. Makan kalau teman-teman ke kos. Saat ini semua orang sibuk. Alhamdulillah, bobot anjlok. Badan terasa lebih nyaman.

Saya ingin menulis, Bagaimana Saya Menulis. Eksperimen pertama, bagaimana sembari kuliah menulis. Lolos. Sembari berbincang-bincang, lolos. Persis seperti menulis saat mengikuti seminar. Menulis dalam berbagai kesempatan.

Mengurangi makan, memang membuat badan lemas, tetapi aktivitas menulis ternyata tidak terlalu terdenda. Setelah dihitung-hitung, produktivitas menulis menaik tajam. Dalam sehari menulis 5 sampai 7 tulisan ‘ringan-ringan’. Mengedit penelitian, sejarah perusahaan daerah dan sejarah daerah, melaju kencang. Eksperimen dapat dikategorikan berhasil. Ketika Gubernur Kalsel berkhabar di Bandung bersorak dalam hati, ingin mengujicobakan menulis disaat mengikuti acara. Berhasil.

Menulis (4.7): Menulis di Pertemuan

Ersis Warmansyah Abbas

AKTIVITAS kehidupan beragam. Kalau lagi kuliah bisa jadi kita kurang peduli dengan aktivitas yang tidak berkaitan dengan perkuliahan. Sekalipun demikian, dengan mensiasati waktu aktivitas sosial bisa berjalan bersamaan. Kehidupan memang berwarna-warni.

Nah, Pak Gubernur Kalimantan Selatan berkhabar di Bandung. Bersama seorang teman kami ke kawasan BPP Jalan Kartini Bandung. Berbincang di ruang makan, acara segera dimulai. Memasuki ruang pertemuan, saya mencari stopcontack listrik. Soalnya ketika kuliah tidak sempat mencas laptop. Kenapa?

Mengikuti acara sembari menulis. Begitulah. Acara seremonial dibuka. Membuka dan menjawab komen di FB dan Blog. Lalu, mulai menulis. Pak Gubernur saat ini sedang bercerita; tentang dia, keluarganya, dan pembangunan Kalimantan Selatan.

Misi tulisan ini: mengikuti suatu acara, bukan berarti tidak bisa menulis. Mendengar penjelasan dan aktivitas menulis berlangsung.

Menulis (4.6): Menulis Suka-Suka

Ersis Warmansyah Abbas

SEORANG teman terkagum-kagum, temannya sangat fanatik memakai mesin tik untuk menulis. Kini zaman komputer Bung. Setiap orang mempunyai kesukaan atau prinsip sendiri. Ada lho yang haregene menulis dengan pulpen doang. Intinya menulis dan hasilnya, tulisan. Komputer, desktop atau laptop sekadar alat.

Bahkan, ada yang berpendapat lebih ‘maju’, bahasa sekadar alat, tools, bagi penuangan pikiran, berkomunikasi. Intinya, penyampaian pikiran atau komunikasi. Hebat berteori bahasa kalau praktik penuangan pikiran, semisal menulis dan berkomunikasi tidak bagus, ya sama saja boong. Mbuh, saya tidak tertarik memperdebatkan hal sedemikian, lebih tertarik praktik menulis.

Sekalipun demikian, membaca dan memahami hal-hal teoritik sangat bagus. Saya membaca teknik membaca yang baik, begini-begitu. Sedari kecil melihat Bapak membaca sembari tidur-tiduran atau di atas bis. Saya pun membaca dimana ada kesempatan tidak memandang tempat.

Menulis (4.5): Menulis Menjepit Waktu

Ersis Warmansyah Abbas

MENULIS yang baik menulis di tempat yang bersih, tertata, aman, berkondisi kondusif. Mana pula peralatan serba hebat, ketika dompet lagi tebal-tebalnya, pikiran terang, dan seabreg hal ideal lainnya. Kalau membaca hal sedemikian, kalau tidak tertawa mesem, saya curiga: Enak saja loe membuat aturan demikian? Bagaimana dengan saya yang tidak mungkin memenuhi segala kehebatan tersebut?

Bacalah buku tuntunan menulis, isinya ya begitu-begitu. Apalagi, kalau soal mood. Menulis harus tergantung mood, harus disaat in the mood. Aneh-aneh saja. Kenapa kok tidak mood yang dikondisikan. Hal ideal tentu saja diharapkan, tetapi kita hidup dan berkehidupan dalam realitas. Tembus tembok aturan tersebut. Hancurleburkan.

Karena sadar tidak mungkin menulis di suasana ideal, saya membiasakan menulis bila ada kesempatan. Keinginan menulis tidak mau digadaikan pada aneka teori tersebut. Kalau diikuti berarti tidak membiarkan saya menulis. Ah, perduli amat dengan teori. Sebodo.

Ada satu hal, saya menulis lebih ganas kalau mepet. Saya belajar jangan dijepit waktu, tetapi melatih menjepitkan waktu. Misalnya, ketika menulis tulisan ini tengah berlangsung diskusi kelas. Saya sudah membaca makalah, tidak perlu lagi mendengar penyaji. Toh sambil menulis bisa mendengar.

Menulis (4.4): Menulis Memanfaatkan Teknologi

Ersis Warmansyah Abbas

SARANA dan prasarana menulis, tepatnya kemudahan dalam menulis jauh lebih maju dari 10 atau 20 tahun lalu. Apalagi, dibandingkan dengan zaman Buya Hamka. Dibanding masa Muhammad Arsyad Al-Banjary yang menulis belasan buku Abad ke XVIII, era Al-Gazali atau Iqbal, duh sangat jauh lebih hebat.

Ketika awal menulis, sebenarnya mengetik, duh asyiknya. Anak-anak muda sekarang mungkin tidak akan merasakan suka duka menulis dengan mesik ketik. Apakah zaman tersebut menjadikan produktif menulis? Jawabannya, ya. Kecuali, bagi yang sejak kecil telah membangun alasan. Ada saja alasan untuk tidak menulis. Alasan melulu.

Saya merasakan betapa rumitnya menulis memakai mesin ketik. Karena itu, berusaha memanfaatkan komputer. Ketika di Banjarbaru, menyiapkan dua desktop dan dua laptop. Sekarang, laptop untuk menulis tulisan populer, desktop untuk keperluan kuliah dengan spesifikasi yahud dan terbaru.

Pertimbangan utamanya kemudahannya. Kalau alat menulis kurang jelas, rusak melulu misalnya, bisa bikin kesal, dan mempengaruhi kreativitas. Tujuannya jelas, agar kreativitas menulis terdukung. Bukan soal sok-sokan.

Menulis (4.3): Menulis Sekelabat

Ersis Warmansyah Abbas

MENULIS di otak sangat positif bagi kreativitas menulis produktif. Saya memang bukan orang kaya, tokoh terkenal, atau orang penting. Pekerjaan sebagai PNS biasa yang mempunyai kewajiban sesuai beban tugas. Siapa pun paham di republik ini, gaji PNS belum memadai. karena itu, harus lebih giat bekerja. Walaupun pegawai ‘kelas tinggi’, Golongan IV, ya harus mencari tambahan pendapatan.

Untuk itu menerbitkan media, mengelola kolam, sampai menyiapkan aneka tulisan untuk beragam seminar sampai Diklat. Penunjangnya, tentu saja membaca. Kalau tidak membaca apa yang akan ditulis? Saya bukan penulis fiksi. Tulisan fiksi baru beberapa puluh cerpen, puisi, dan novel ASAP. 

Lagi pula, menempuh kuliah S3 itu, wiuw menguras energi. Salut kepada mereka yang beberapa kali ke kampus mampu meraih predikat Doktor dengan amat sangat baik. Lebih salut, yang tidak pernah kuliah. Seorang kawan mengistilahkan, kuliah di S3 berdarah-darah. Kecerdasan orang berbeda-beda memang.

Menulis (4.2): GO: Menulis di Otak

Ersis Warmasyah Abbas

MENULIS di otak adalah cara menulis paling praktis. Kita bisa mengutak atik sesuka. Dapat dilakukan, dimana saja, kapan saja. Selama otak bisa dioperasikan, jadilah. Ibarat komputer, penyimpanannya sangat nyaman. Diistilahkan konstruksi pemikiran, ide, atau konsep terserah. Memori tidak terbatas. Kenapa menulis di otak?

Menyadarinya tidak sengaja. Dulu, ketika komputer belum populer, saya menulis memakai mesin tik. Kalau salah, harus di-tip-ex. Pitanya harus sering diganti. Sampai-sampai minyak goreng plus minyak tanah selalu tersedia. Kalau pita baru terus-menerus, mana tahan.

Pertama, kalau mengetik, salah alur dipaksakan dibetul-betulkan. Tidak ada istilah ti-pex. Saya agak curiga, Emha Ainun Najib, mungkin memakai teknik demikian. Saya melatih diri secara keras. Susah. Tetapi, akhirnya bisa juga pada taraf tertentu. Kedua, setelah menulis tanpa ti-pex dirasakan OK punya, beralih ke teknik lebih menantang. Apa yang akan ditulis ‘dimatangkan’ di otak. Menuliskan yang sudah matang (emang telor).

Menulis (4.1): Menulis di Otak

Ersis Warmansyah Abbas

JUJUR saja, entah karena membaca dimulai sedari kecil, atau suka mengamati sesuatu, pikiran suka berkelana kemana-mana. Semasa remaja, terkagum-kagum dengan Brooke Shield dan berangan-angan menjadikannya pacar. Dapat? Ya, dapatlah. Kami ‘jadian’. Asyik. Kalau cewek Indon yang diidolai, Yessi Gusman. Itu dulu lho. Maklum masa remaja.

Saya belum pernah mendaki Mount Everest atau Kilimanjaro, tetapi karena membaca, duh pikiran berkelana ke puncak dunia tersebut. Berlayar mengharungi sungai Amazone, sembari mencandai ikan Piranha, hal biasa-biasa saja.

Ketika Cina diberitakan sangat ganas menangani kerusuhan di Urumqi, Xinqiang, duh gemas. Saya ‘menempatkan’ diri ke pusat kota etnik Uiygur tersebut lalu melintasi berbagai negara menapak tilas Silk Road. Ketika SD, berkelana ke lembah-gunung Amerika Serikat, lalu raun-raun ke pegunungan Kaukasus bersama Karl May. Mengasyikkan. Hanya saja, begitu pipi ditepuk malu sendiri he he.

Pengelanaan, atau pengembangan angan-angan, imajinasi, atau fantasi, bisa jadi mengasyikkan. Tetapi, kita hidup dalam kenyataan. Kebiasaan tersebut, tidak pernah dipupuk, datang begitu saja. Suatu kali, entah kapan, terpikir, kenapa hal tersebut tidak dijinakkan dalam tatapan realitas? Ahai, setelah belajar filsafat dan penelitian dengan tetek-bengeknya, lebih jeli melihat ‘sesuatu’. Tetapi, ‘sesuatu’ itu sering tidak berhenti pada ‘sesuatu’ itu. Maksudnya?

Menulis (3.9): Mewariskan Ide

Ersis Warmansyah Abbas

ISHAK Mussa Al-Husaini dalam buku Ikhwanul Muslimin menulis: “Mungkin yang paling menonjol ialah kenyataan, baik al-Afgani maupun Abduh tidak mewariskan gerakan yang konkrit. Mereka tidak meninggalkan program tertulis yang jelas, yang bisa ditaati para pengikutnya yang setia.” Begitu pengantarnya pada bab Hasan Al-Bana, Sebuah Kepribadian (Grafiti Press, 1982:35).

Ishak menganalisis kinerja Al-Bana dalam bandingan dengan gurunya, dalam pesan kuat: Al-Bana dengan program tertulis yang jelas. Dari tulisan-tulisan Al-Bana pikiran (dan gerakannya) ‘diwarisi’ generasi berikut. Pernah membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang?

Kartini, bersurat-suratan dengan teman-teman Eropanya yang dibukukan J.H. Abendanon. Kalau tidak ditulis bagaimana kita dapat mengetahui pemikirannya? Tulisan warisan yang tidak akan hilang. Sampai-sampai ada penulis yang menulis: kalau ingin berumur panjang menulislah, sebab tulisan itu bisa berumur ribuan tahun. Nah, lho.

Menulis (3.8): Membangun Ide

Ersis Warmansyah Abbas

MEMBACA beraktivitas, atau merelasikan diri dengan luar diri, apalagi mengembangkan komunikasi dalam diri, dalam artian berpikir, merenung atau berimajinasi, merupakan lahan subur ide. Ide adalah diri seseorang. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dirasakan melahirkan ide. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Perhatikan apa yang ditulis teman FB atau blog Sampeyan. Apabila dia ‘memulai’ komentar dengan sinis, lama-lama semakin sinis, dan akan menjadi komentator super sinis. Dapat dipastikan kesinisannya memapan. Sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan menjadikan diri, dan itulah yang direalisasikan. Mustahil meminta komentar kedamaian padanya. Dia membangun ide dan kesinisan.

Begitulah. Akan susah memotivasi seseorang menulis apabila seseorang sudah memapan, sudah terbiasa berpikir memikir pikiran orang lain. Aktivitas otaknya terwakafkan memikirkan pikiran orang, apalagi yang dikaguminya. Pikirannya telah digadaikan pada pikiran orang lain.

Menulis (3.7) Menyimpan Ide

Ersis Warmansyah Abbas

SETIAP hari otak kita digempur Ide. Ada ide yang bisa langsung ditulis, ada ide yang perlu pengendapan, ada yang perlu disimpan, dan ada yang begitu menyapa dibuang. Dunia manusia, kehidupan manusia, adalah dunia ide. Kalau tidak ada ide, barangkali ras manusia tidak lebih bagus nasibnya dari ras binatang.

Begitu artis porno Jepang, Miyabi, ditangkal masuk Indonesia. Ada ‘pengharaman’, ada keinginan mengetahui, dan menuliskannya. Demi Allah, sampai hari ini belum pernah melihat gambar Miyabi. Sebenarnya semacam sikap anti ‘kampanye larangan’. Saya malahan berangan-angan, ada pihak yang melarang buku-buku saya. Pelarangan ide, karya kreatif, sebenarnya bantuan kampanye gratis.

Tetapi, karena memang tidak tertarik, harap maklum pekerjaan saya cukup banyak, terlalu sia-sia kesempatan kalau hanya untuk melihat ‘paha’ atau ‘susu’ Miyabi. Lupakan. Soal Miyabi biarlah urusan yang berkecanduan. Ide mempelajari dan menulis tentang Miyabi, lupakan. Banyak yang lain.

Menulis (3.6): Merealisasikan Ide

Ersis Warmansyah Abbas

IDE, dalam pengertian umum, dalam menulis, pantikan pikiran yang dikonstruk di otak untuk diketik menjadi tulisan. Tulisan secara ringkas dipahami sebagai penuangan pikiran. Ide, sehebat apa pun, kalau tidak ditulis tetaplah menjadi ide. Dalam kalimat lain, menjadi lamunan atau imajinasi belaka. Ide ranah abstrak tulisan ranah konkret.

Ide bisa datang dari pikiran, respon atas tangkapan indra, dapat pula datang dari orang lain, atau kolaborasi interaksi. Tidak penting ide dalam memenuhi kemauan individual, bersama, pesanan, atau gabungan semuanya.

Menulis (3.5): Mengembangkan Ide

Ersis Warmasyah Abbas

TIAP hari ide menyapa. Apabila pikiran masih mampu beroperasi, alat indra masih berfungsi, perasaan masih normal, tentunya. Kekurangan ide sesuatu yang tidak mungkin. Banyak orang disapa ide yang adakalanya minta ‘dilayani’, dipaksa ide. Desakan ide, dalam kerangka menulis, bisa bikin pusing. Apalagi, kalau tidak mampu me-manage-nya. Puizzzing.

Pada bagian terdahulu didiskusikan bagaimana memilih ide, yaitu yang paling mungkin dikembangkan, mengenai apa-apa yang paling ‘dekat’, yang dikuasai. Pantikan ide menulis novel lebih hebat dari Habiburrahman El Shirazy tentu bagus, hanya saja, ukurlah bayang-bayang diri. Tidak semua ide pantas dilayani, dikembangkan.

Menulis (3.4): Menyambut Ide

Ersis Warmansyah Abbas

BAGI Muslim, Idul Fitri dan Idul Adha hari teramat istimewa. Idul Adha, puncak ibadah haji. Rangkaian sahadat, salat, puasa, dan zakat. Karena ibadah, Rasulullah tidak ‘digelari’ Haji Muhammad SAW. Kalau saya dipanggil Haji Ersis, itu mengada-ada. Saya mempunyai ide menyambut Idul Adha kali ini. Tidak membahas esensi idul qurban, melainkan meelaborasinya dengan gambaran Ibu dan Bapak di saat hari bahagia ini.

Amak (Ibu) dan Apak (Bapak) berumur 80-an dan 90-an tahun. Keriput tulang pipi, gambarannya, seperti didendangkan Ebiet nun di Muaralabuh, Solok Selatan, Sumatera Barat. Anakmu rindu Mak, rindu Pak.

Ya. Amak yang bersimbah darah ketika tangis pertama disuarakan pertanda kelahiran. Darahnya, air mata gembira dalam balutan sakit tak terkira. Bukan dirinya yang diperhatikan, tetapi anaknya. Kita. Senyumnya, senyum kehidupan. Senyum kasih sayang tak bertepi, senyum harapan.

Menulis (3.3): Menakar Ide

Ersis Warmansyah Abbas

SETIAP hari ide menyinggahi batok kepala. Selama pikiran mampu bekerja, selama alat indra masih berfungsi, ide akan menyapa. Para pembohonglah yang bersikukuh tidak punya ide apa pun. Ide adalah apa yang dikonstruksikan di pikiran.

Melihat air got mampet, air tumpah ruah merendam jalan, pikiran terpantik, perasaan tergugah, hmm kalau sampah-sampah penyumpat dibuang, selamat tinggal genangan banjir. Membersihkan got? Tunggu dulu. Jangankan membersihkan got, membersihkan kuping atau lubang hidung saja enggan. Jarang orang yang mau mengerjakan hal sedemikian. Paling-paling mengeluh. Ide membersihkan got berdasarkan pertimbangan ini-itu diabaikan.

Seseorang begitu terkesan menonton film 2012. Apalagi, ada ‘promosi gratis’ MUI yang menjadikan semangat semakin menggebu. Padahal, tidak lebih tidak kurang, tipuan olahan studio, utak-atik komputer belaka. Sepanjang perjalanan pulang terkonstruksi di otak. Istilah saya, menulis di otak.

Menulis (3.2): Memilih Ide

Ersis Warmansyah Abbas

SIANG ini begitu selesai menulis ‘’Disapa Ide”, dua orang teman nongol di kos. Mereka menyulut diskusi bantuan pemerintah daerah, universitas, dan fakultas. Saya tidak tertarik. Sampai hari ini tidak menerima satu sen pun. Mau membantu atau tidak, sebodo. Titik.

Kedua kandidat Doktor tersebut sedang menulis disertasi. Mencari referensi tentang motivasi berbasik masyarakat. Buku Max Weber saya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism dicopot begitu saja. Saya tambahkan dengan Achieving Society, Modernization of Man dan Individual in Siociety.

Sebelum pulang mereka saya titipan sangu pikiran: Kenapa olah raga kita tidak maju-maju? Biasalah, sebagaimana banyak intelektual, kalau ditanya perihal bidangnya, menjawab muter-muter. Sekalipun kesannya, rasional. Sebagai penggemar sepakbola, pikiran saya ‘bergerak’ cepat. Nah, coba beri saya alasan kenapa sepakbola Indonesia tidak maju-maju? Intinya, tidak terjawab. Muter-muter lagi.

Saya memilih pembinaan sepakbola dari beberapa sapaan ide untuk ditulis sebagai respon atas silaturrahim teman. Tidak perlu membaca buku berpuluh-puluh, survey berbulan-bulan atau menyediakan waktu khusus. Apalagi bermenung di WC (Ih jorok) atau bertapa di Gunung Kawi. Saya memilih ide sederhana, dalam jangkauan pikir, dan tidak membeban. Waktu saya terbatas.

Menulis (3.1): Disapa Ide

Ersis Warmansyah Abbas

LANTAI V ruang kuliah SPS UPI Bandung. “Nah, Pak Ersis kok tidak bertanya. Apa kurang menarik?” Saya senyum simpul. Kelas geeer. Prof. Rochiati, pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu mencandai sembari tertawa. Prof. Rochiati, bisa jadi sudah bosan dengan kecerewetan saya mempersoalkan pemikiran para filsuf. Yap, saya termangu, dia begitu menggoda mendiskusikan apungan teman-teman tentang Jurgen Hubermas.

Saya baru ’mengunyah-nguyah’ The Theory of Communicative Action (Volum One): Reason and The Rationalization of Society dan Moral Consciousness Communicatie Action. Materi itu didiskusikan, perhatian saya tesedot. Ada ide untuk menuliskannya. Teringat Effendy Gazali, pakar komunikasi politik yang tulisannya sering menggoda. Lalu, membuka file di laptop, perihal pemikiran. Walah, seorang kawan menembak dengan topik baru, tentang local genius berantai ke lokal-lokal lainnya. Sampai ke Mahabharata dan Ramayana.

Ide tentang menulis komunikasi diganggu priosioner of the doctrine, kemudian beralih ke hal, kenapa Telkom Flash dan Spedynet letoy amat. Kedua jaringan internet tersebut membuat kesal. Begitulah kalau orang Indonesia mengelola perusahaan, iklannya selangit, hasilnya mengecewakan, tetapi konsumen tidak bisa berbuat apa-apa. Fasilitas hebat hanya milik mereka.

Menulis (2.8) Refleks Menulis

Ersis Warmansyah Abbas

PAGI di Banjarbaru cerah. Tiga bulan kuliah di Bandung terbiasa bangun subuh, walau jam tidur semakin berkurang. Kemarin (17 November 2009) hujan mengguyur deras. Selesai kegiatan pagi, mengantar Azta (anak terkecil) ke SD favorite di kota kami dan Visi ke Pustaka Kota Banjarbaru mengikuti kegiatan. Kok ditulis?

Bagi orang lain tidak penting. Bagi saya penting. Antra yang kini Ketua OSIS SMA I Banjarbaru sejak TK, SD, SMP dan SMA tidak pernah saya antar. Apalagi, mengantar istri ke pasar. Nah, pagi kemarin dan pagi tadi mengantar mereka ke sekolah. Wualah, ternyata teman-temannya banyak yang diantar.

Saya tidak mau mengantar karena berkeyakinan, anak-anak dari kecil harus belajar melakukan tanggung jawab kehidupannya. Itu soalnya. Saya tidak suka anak-anak memakai barang-barang saya, apa pun jenisnya. Dia harus memakai handuk, gelas, atau TV sendiri.

Menulis (2.7) Menulis Melatih Diri

Ersis Warmansyah Abbas

KOMPARASI paling saya sukai dalam menulis mudah dengan belajar menyetir. Guru menyetir memberi pengarahan: ”Buka pintu mobil, masuk, duduk yang mantap, pandangan lurus ke depan,pegang stir kuat-kuat, injak kopling, stater, injak pedal gas, kurangi tekannya pelan-pelan … dan wuuuuuuung. Mesin mati.

Äkibatnya, nyali ciut, berpeluh dingin. Kalau tekad tidak kuat berakibat ketakutan. Bisa menghidupkan dan menjalankan mobil, tahap berikutnya urusan masuk got atau bagian depan mobil ‘mencium’ tembok hal biasa saja. Kalau perempuan, belajar dengan suami bisa membuat marah suami, dan urusan bisa panjang. Belajar melalui kursus menyetir, bisa-bisa yang didapat SIM, bukan keterampilan.

Banyak orang memerlukan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk belajar menyetir. Sementara anak-anak yang mangkal di terminal atau penambangan pasir, bermodal keberanian memindahkan mobil saat sopir istirahat. Kelak menjadi sopir handal. Tanpa belajar formal, tanpa kursus.

Sebaliknya, setelah fasih menyetir, tidak ada lagi urusan urutan seperti diajarkan guru menyetir. Berlari-lari kecil, buka pintu, duduk, kaki dan tangan beraksi, mobil mengaung wuss wuss … melaju sempurna. Musik mengalun nyaman, HP menempel telinga, terkadang sembari SMS-an. Menjadi hal reflektif.

Menulis (2.6) Menulis Melawan Bodoh

Ersis Warmansyah Abbas

SUSAH menuliskan pengalaman? Kalau susah menuliskan apa yang ada di pikiran (pemikiran) atau apa yang dialami, lucu saja begitu. Pengalaman itu kan kita yang mengalami, ada di pikiran kita, di memori kita. Kalau menuliskan pikiran atau pengalaman orang lain susah baru masuk akal. Tetapi, kenapa ya?

Kalau dipikir secara radiks pasti sampai pada simpulan, mereka yang gagal, menuliskan pikiran atau pengalaman, tersebab diri sendiri. Lho kog iso? Lah iyalah. Yang mempunyai pikiran itu siapa? Yang mempunyai pengalaman itu siapa? Yang berkehendak menulis itu siapa? Kita. Sampeyan kan?

Kalau demikian adanya, kalau tidak mampu, ya jangan beralasan ini-itu dong. Psikolog punya nasehat, jangan melempar bola, locus external. Diri yang tidak berkemampuan, hal di luar diri yang dijadikan korban. Dengan kata lain, akui kekurangan diri. Itu kunci pokoknya. Kalau sudah menyerah, tahu diri, mari perbaiki.

Menulis (2.5) Menuliskan Hal-Hal Sederhana

Ersis Warmansyah Abbas

SUATU kali dalam perjalanan penelitian ke Kotabaru, sekitar 300 km dari Banjarbaru, terheran-heran dengan seorang enumerator. Mobil carteran terpaksa berhenti cukup lama menunggu dia buang air kecil. Ada apa? Penasaran saya bertanya, apakah didera penyakit kantung kemih?

Bukannya dijawab, malah dia ngakak. “Ulun masih muda Pak ai.” Ok, tetapi kenapa begitu lama? Lalu saya tanya, pakai celana dalam apa ngak? Tentu saja dijawab, ya. Lalu saya modelkan penampakkan CD yang bak kelelawar. Pada bagian depan ada ‘jalur khusus’ agar ‘burung’ langsung menjulur ke luar dan buang air lancar, nyus maknyus.

Ternyata, dia tidak paham fungsi ‘jalur khusus’ tersebut. Sudah puluhan tahun memakai CD tidak paham secara detail. Pada contoh lain, suka iseng menggoda cewek-cewek hal remeh-temeh: Apa tu kepanjangan BH? Nah, banyak yang tidak mampu menjawab. Kepanjangan saja tidak mengerti, apalagi fungsinya.

Padahal dipakai hari-hari. Kalau begitu tidak usah pakai BH. Mereka terbelalak. ”Pakai kutang saja. Dimengerti seketika, dan ini lebih penting, nasionalistik”, kata saya cuek bebek. Banyak hal sederhana yang dinikmati setiap hari, tetapi tidak dipahami. Kacian deh lo.

Menulis (2.4): Menuliskan Kemauan

Ersis Warmansyah Abbas

DALAM memotivasi menulis, saya suka mencontohkan mereka yang berkemauan kuat. Satu diantaranya Hanna Fransiska. Pertama sharing dia mengirim tulisan tangan yang sangat nyeni. Saya meminta tolong Syamsuwal Qomar dan Rahayu Suciati, anggota KP EWAM’Co., untuk mengetiknya agar mudah dibaca.

Hanna, pengusaha showroom mobil sukses berkemauan menulis. Qomar dan Suciati mahasiswa bahasa Inggris yang sedang menulis skripsi. Mereka sama-sama termotivasi setelah membaca buku Menulis Sangat Mudah (2007). Bila kemauan kuat menulis, pasti bisa.

Ketiganya ‘dikerjain’. Qomar dan Suci menulis apa yang dipikirkan, selain tugas perkuliahan. Setiap hari wajib menulis satu tulisan. Kalau tidak menulis, berarti sharing bubar. Tentu saja, tanpa mengganggu, menulis skripsi. Buku tersebut dicetak penerbit GAMA MEDIA Yogya. Bangga alang kepalang ketika buku mereka dipajang di TB Gramedia. Mereka akan tercatat sebagai orang yang berstatus mahasiswa (S1) telah menulis buku.

Menulis (2.3) Menuliskan Pengalaman

Ersis Warmansyah Abbas

MENULIS sangat mudah manakala berdasarkan pengetahuan, dan atau, pengalaman dengan sentuhan imajinasi. Meminjam istilah iklan satu produk, menulis enjoy aja. Nikmati tulisan berikut.

Siang tadi di kantin sekolah, aku melihat seorang cewek berambut panjang. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Aku tidak tahu siapa dia; namanya, kelasnya, atau bapaknya. Yang kutahu: jantungku berdetak lebih kencang. Mendebar-debarkan dada ketika pandangku ditangkapnya.

Ah, sial. Si Anang yang kutanya siapa gerangan anak tersebut, pun tak tahu. Aku bingung. Konsentrasi mengikuti pelajaran Pak Bambang, buyar. Pada pelajaran terakhir, yang diasuh Bu Sri, aku ditegur: “Hai Bekantan. Kalau kamu mengantuk, basuh muka dulu sana.” Duh, malunya ditatap teman-teman dengan senyum sindiran. Sial. Mereka tidak tahu aku mendapat pengalaman ”aneh” melihat gadis berambut panjang di kantin sekolah.

Menulis (2.2): Menuliskan Pikiran

Ersis Warmansyah Abbas

SETIAP hari, setiap saat kita menumpuk pengetahuan, menambah pengalaman. Setiap hari, setiap saat kita berpikir. Bahkan, ketika tidur pun otak bekerja. Dalam tidak berkesadaran otak bekerja. Mimpi. Kita bermimpi tanpa dimaui, hadir tanpa diundang. Pasti sudah, bertimbun hal tertanam di otak. Otak yang berkapasitas unlimited.

Inga, inga, ketika melihat got penuh sampah, menyebar bau tak sedap, otak merespon; kenapa sih kok tidak dibersihkan? Gara-gara got penuh sampah dan bau, kita bisa menyalahkan diri, mempersalahkan Dinas Kebersihan, kesadaran lingkungan, dan bla-bla.

Kalau pikiran terlatih keluhan bisa melahirkan ide, bagaimana agar got tidak kotor dan bau. Tiap hari respon kehidupan berbuah ide. Dunia pikiran adalah dunia ide. 

Menulis (2.1): Genius dan Menulis

Ersis Warmasyah Abbas

DAPAT dipastikan, setiap orang mempunyai pengetahuan, setiap orang mempunyai pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman disimpan atau tersimpan di memori (otak).

Apa-apa yang ada di otak, terserah pemilik otak, mau didiamkan atau dikeluarkan.
Pikiran kalau tidak dikeluarkan, tidak dikomunikasikan, bersemayam di otak. Kalau berkehendak mengeluarkan pikiran, dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, melalui alat bicara, atau mulut. Kedua, melalui gerakan tubuh (body language). Ketiga, menuliskannya.

Kita mendiskusikan pilahan ketiga, menuangkan pikiran. Pikiran kita bersemayam di otak. Pikiran berproses manakala saraf-saraf otak (neuron) diaktifkan. Ada masukan (input), diolah (process) keluarannya berupa tulisan (output). Allah SWT ‘menitipkan’ kepada siapa pun semiliar neuron yang terdiri dari 100 miliar sel saraf aktif dan 900 miliar sel pendukung dimana kalau diaktifkan setiap sel saraf mampu berkoneksi 20.000.

Menulis (1.1): Menyenangkan Mengasyikkan

Ersis Warmansyah Abbas
MENULIS susah? Sungguh, menulis itu susah dan menyusahkan. Tidak sedikit orang bersikukuh, bahwa menulis susah dan menyusahkan. Secara empiris, kiranya mendapat pembenaran. Kalau menulis itu tidak susah dan menyusahkan, mereka yang berkeinginan menulis tentu tulisannya menjadi. Padahal, yang terjadi sebaliknya, letoy, lemot tanpa karya (tulisan)
Sebaliknya, pengalaman saya terbalik dengan statemen tersebut. Saya berkesimpulan, menulis itu mudah, sungguh sangat mudah. Buktinya, saya menulis ribuan tulisan: artikel, makalah, puisi, cerita pendek, novel, sampai syair lagu, dan menerbitkan puluhan buku.
 
Buku-buku saya tentang menulis lebih dari 20 buku. Saya berkeinginan menulis 40 buku tentang menulis. Mudah-mudahan menjadi mengingat saya juga menulis berbagai buku dengan berbagai tema. Kenapa bisa?

Tentu saja, pada awalnya berkesusahan menulis. Setiap orang dilahirkan tanpa busana, bahkan tanpa pengetahuan. Karena susah, tidak wajib mematenkan susah dan kesusahan bukan? Susahnya dibalik, Maksudnya?

Menulis (0.2): Daftar Isi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………… v
DAFTAR ISI ………………………………………………. vii

BAGIAN PERTAMA:
MENULIS MENGASYIKKAN ……………….. 1
Menulis Menyenangkan Mengasyikkan . 3

BAGIAN KEDUA:
MINDSET MENULIS ………………………….. 9
2.1 Genius dan Menulis ……………………. 11
2.2 Menuliskan Pikiran ……………………. 14
2.3 Menuliskan Pengalaman …………….. 17
2.4 Menuliskan Kemauan ………………… 20
2.5 Menuliskan Hal-Hal Sederhana ……. 23
2.6 Menulis Melawan Bodoh ……………. 26
2.7 Menulis Melatih Diri ………………….. 29
2.8 Refleks Menulis ………………………… 32