Achoey El-Haris
GPM Bogor
GPM Bogor
SELEPAS istri saya diwisuda, target kami memiliki momongan. Doa
khusyu dipanjatkan dibarengi ikhtiar. Alhamdulillah, dalam waktu yang
tidak terlalu lama, kabar baik datang, istri saya positif hamil. Saya
begitu memanjakan istri, seolah melangkah pun didampingi. Terkadang,
saya timang sambil bernyanyi-nyanyi karena senang akan dikaruniai buah
hati.
Tetapi terkadang saya berpikir, jika istri telah memberikan saya
kebahagiaan atas kehamilannya, apakah cukup mensyukurinya dengan
berterima kasih? Tentu tidak, saya bukan lelaki sesederhana itu. Saya
harus memberi hadiah yang indah. Motor? Ah takut jatuh. Mobil? Ah
kemahalan. Rumah? Ah belum cukup uang.
Ahai, inilah jawabannya. Novel. Ya, novel yang ditargetkan selesai
sebelum syukuran empat bulan kehamilan istri. Artinya, saya hanya
mempunyai waktu kurang dari tiga bulan untuk menulis dan menerbitkannya.
Saya pun menulis dengan hati riang di sela-sela kesibukan. Terkadang
pagi sebelum berangkat kerja, terkadang malam sebelum mata terpejam.
Tidak memakai kerangka tulisan, tetapi memakai formula EWT; menulis
novel ya ditulis begitu saja.
Keinginan untuk memberikan hadiah terbaik, untuk membahagiakan istri,
menjadi motivasi yang kuat. Menulis bukanlah menjadi beban, justru
menulis lebih membahagiakan karena digerakkan rasa cinta. Waktu terus
melaju seiring detik yang menggelitik membuat menit yang genit
menghantam jam agar berjalan. Lembar demi lembar terselesaikan, dan
setelah dibaca ulang saya tersenyum, membaca lagi, tersenyum lagi. Ah
begitu mudahnya merangkai kisah dalam alunan cinta.
Bab demi bab terselesaikan, penggalan-penggalan kisah terangkai
indah, lalu mau diapakan tokoh utama di novel ini? Ah terserah irama
jari. Mengalir begitu saja. Biar saja. Setelah halamannya dirasa cukup,
akhiri dengan happy ending. Saya tidak mau sad ending, sebab nanti istri
meminta dibuatkan novel yang berkesudahan bahagia.
Di sela-sela menulis, saya menyadari bahwa tidak mungkin ada penerbit
mayor yang mau menerbitkan karya yang diselesaikan begitu cepat dan
begitu mudah. Sudahlah, diterbitkan penerbit indie saja. Tidak apa, toh
saya menulis novel bukan karena mengharapkan royalti. Saya menulis novel
untuk hadiah kehamilan istri.
Ketika lagi asyik-asyiknya menulis, saya menemukan penerbit indie
yang tepat. Saya semakin bersemangat untuk menuntaskan penulisannya agar
novel tersebut diterbitkan tepat waktu sebagai hadiah syukuran empat
bulan kehamilan istri.
Ya, saya semakin bersemangat sehingga novel tersebut selesai lebih
cepat. Heran. Saya hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk
menyelesaikannya. Ini adalah novel tercepat yang pernah saya tulis. Ya
iya lah wong saya baru pertama kali menulis novel.
Setelah selesai ditulis saya baca ulang, bila dirasa ada yang kurang,
diperbaiki dan menyelipkan beberapa kata, bahkan ada penambahan kalimat
agar jalan ceritanya semakin nyaman dibaca.
Alhamdulillah, saya puas dan berharap pembaca spesial, istri saya,
tidak kecewa. Ya, novel ini ditulis khusus untuk istri tercinta.
Satu-satunya istri saya, atau lebih tepatnya baru satu dan mungkin akan
tetap satu.
Setelah selesai, naskah novel saya kirim ke penerbit indie dan
direspon dengan baik. Tahapan demi tahapan dilakukan dengan baik, dari
proses edit aksara, lay out, desain cover, pengurusan ISBN hingga naik
cetak. Ternyata, novel tersebut dijual via online oleh penerbit.
Novel yang diberi judul Sahaja Cinta tersebut benar-benar membuat
saya bangga. Maklumlah, itu novel pertama saya yang ditulis secara kilat
sebagai hadiah untuk istri tercinta, dan tentu saja menjadikannya
senang alang kepalang. Hayo perempuan mana yang tidak senang, memiliki
suami ganteng yang piawai menulis novel?
Kebahagiaan tidak sampai di situ, sebab penerbit berkhabar, novel
tersebut dijual via online dicetak ulang oleh penerbit mayor.
Subhanallah, saya menulis novel yang sebagai hadiah kehamilan istri kini
menjadi novel beroyalti.
Padahal, rencana awalnya hanya sebagai hadiah untuk istri, eh
ternyata mendapat royalti dari penjualan secara online. Kemudian
berlanjut, novel tersebut dicetak ulang oleh penerbit mayor dan dijual
di toko-toko buku di negeri ini. Sudah senang akan mempunyai anak, eit
mendapat royalti.
Alhamdulillah, novel Sahaja Cinta dibaca dan diapresiasi banyak
orang. Banyak orang terharu, bahkan menangis setelah membacanya. Sungguh
keberkahan dan pencapaian yang wajib disyukuri. Akibat lanjutannya,
banyak pembaca yang meminta agar saya menulis lagi, bahkan tidak sedikit
pula yang menyangka novel tersebut diangkat dari kisah hidup pribadi
saya. Novel Sahaja Cinta memang novel cinta berbalut hikmah kehidupan.
Ya, saya berhasil menulis novel pertama, dan bersyukur memiliki guru
menulis. Pak EWA, yang gigih menyebarkan virus menulis dari Banjarbaru
hingga Bogor, ke Kampus dan kedai Mie Janda milik saya. Saya bersyukur
memiliki banyak sahabat penulis, yang memotivasi untuk senantiasa
berkarya, hingga puluhan buku hadir sejak tahun 2009.
Jadi, menulis itu sungguh sangat membahagiakan dan bukanlah beban.
Saat ini pun saya menulis sambil menggendong bayi dan ternyata bisa.
Seperti kata Pak EWA bahwa menulis jangan banyak alasan, menulis saja.
Hayu atuh!
0 Comment to "Menulis (4.1): Novel Hadiah Kehamilan"
Post a Comment