Monday 19 December 2016

Menulis (4.1): Novel Hadiah Kehamilan

Achoey El-Haris
GPM Bogor

SELEPAS istri saya diwisuda, target kami memiliki momongan. Doa khusyu dipanjatkan dibarengi ikhtiar. Alhamdulillah, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kabar baik datang, istri saya positif hamil. Saya begitu memanjakan istri, seolah melangkah pun didampingi. Terkadang, saya timang sambil bernyanyi-nyanyi karena senang akan dikaruniai buah hati.
 
Tetapi terkadang saya berpikir, jika istri telah memberikan saya kebahagiaan atas kehamilannya, apakah cukup mensyukurinya dengan berterima kasih? Tentu tidak, saya bukan lelaki sesederhana itu. Saya harus memberi hadiah yang indah. Motor? Ah takut jatuh. Mobil? Ah kemahalan. Rumah? Ah belum cukup uang.

Ahai, inilah jawabannya. Novel. Ya, novel yang ditargetkan selesai sebelum syukuran empat bulan kehamilan istri. Artinya, saya hanya mempunyai waktu kurang dari tiga bulan untuk menulis dan menerbitkannya.

Saya pun menulis dengan hati riang di sela-sela kesibukan. Terkadang pagi sebelum berangkat kerja, terkadang malam sebelum mata terpejam. Tidak memakai kerangka tulisan, tetapi memakai formula EWT; menulis novel ya ditulis begitu saja.

Keinginan untuk memberikan hadiah terbaik, untuk membahagiakan istri, menjadi motivasi yang kuat. Menulis bukanlah menjadi beban, justru menulis lebih membahagiakan karena digerakkan rasa cinta. Waktu terus melaju seiring detik yang menggelitik membuat menit yang genit menghantam jam agar berjalan. Lembar demi lembar terselesaikan, dan setelah dibaca ulang saya tersenyum, membaca lagi, tersenyum lagi. Ah begitu mudahnya merangkai kisah dalam alunan cinta.

Bab demi bab terselesaikan, penggalan-penggalan kisah terangkai indah, lalu mau diapakan tokoh utama di novel ini? Ah terserah irama jari. Mengalir begitu saja. Biar saja. Setelah halamannya dirasa cukup, akhiri dengan happy ending. Saya tidak mau sad ending, sebab nanti istri meminta dibuatkan novel yang berkesudahan bahagia.

Di sela-sela menulis, saya menyadari bahwa tidak mungkin ada penerbit mayor yang mau menerbitkan karya yang diselesaikan begitu cepat dan begitu mudah. Sudahlah, diterbitkan penerbit indie saja. Tidak apa, toh saya menulis novel bukan karena mengharapkan royalti. Saya menulis novel untuk hadiah kehamilan istri.

Ketika lagi asyik-asyiknya menulis, saya menemukan penerbit indie yang tepat. Saya semakin bersemangat untuk menuntaskan penulisannya agar novel tersebut diterbitkan tepat waktu sebagai hadiah syukuran empat bulan kehamilan istri.

Ya, saya semakin bersemangat sehingga novel tersebut selesai lebih cepat. Heran. Saya hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk menyelesaikannya. Ini adalah novel tercepat yang pernah saya tulis. Ya iya lah wong saya baru pertama kali menulis novel.
 
Setelah selesai ditulis saya baca ulang, bila dirasa ada yang kurang, diperbaiki dan menyelipkan beberapa kata, bahkan ada penambahan kalimat agar jalan ceritanya semakin nyaman dibaca.

Alhamdulillah, saya puas dan berharap pembaca spesial, istri saya, tidak kecewa. Ya, novel ini ditulis khusus untuk istri tercinta. Satu-satunya istri saya, atau lebih tepatnya baru satu dan mungkin akan tetap satu.

Setelah selesai, naskah novel saya kirim ke penerbit indie dan direspon dengan baik. Tahapan demi tahapan dilakukan dengan baik, dari proses edit aksara, lay out, desain cover, pengurusan ISBN hingga naik cetak. Ternyata, novel tersebut dijual via online oleh penerbit.

Novel yang diberi judul Sahaja Cinta tersebut benar-benar membuat saya bangga. Maklumlah, itu novel pertama saya yang ditulis secara kilat sebagai hadiah untuk istri tercinta, dan tentu saja menjadikannya senang alang kepalang. Hayo perempuan mana yang tidak senang, memiliki suami ganteng yang piawai menulis novel?
 
Kebahagiaan tidak sampai di situ, sebab penerbit berkhabar, novel tersebut dijual via online dicetak ulang oleh penerbit mayor. Subhanallah, saya menulis novel yang sebagai hadiah kehamilan istri kini menjadi novel beroyalti.

Padahal, rencana awalnya hanya sebagai hadiah untuk istri, eh ternyata mendapat royalti dari penjualan secara online. Kemudian berlanjut, novel tersebut dicetak ulang oleh penerbit mayor dan dijual di toko-toko buku di negeri ini. Sudah senang akan mempunyai anak, eit mendapat royalti.

Alhamdulillah, novel Sahaja Cinta dibaca dan diapresiasi banyak orang. Banyak orang terharu, bahkan menangis setelah membacanya. Sungguh keberkahan dan pencapaian yang wajib disyukuri. Akibat lanjutannya, banyak pembaca yang meminta agar saya menulis lagi, bahkan tidak sedikit pula yang menyangka novel tersebut diangkat dari kisah hidup pribadi saya. Novel Sahaja Cinta memang novel cinta berbalut hikmah kehidupan.

Ya, saya berhasil menulis novel pertama, dan bersyukur memiliki guru menulis. Pak EWA, yang gigih menyebarkan virus menulis dari Banjarbaru hingga Bogor, ke Kampus dan kedai Mie Janda milik saya. Saya bersyukur memiliki banyak sahabat penulis, yang memotivasi untuk senantiasa berkarya, hingga puluhan buku hadir sejak tahun 2009.

Jadi, menulis itu sungguh sangat membahagiakan dan bukanlah beban. Saat ini pun saya menulis sambil menggendong bayi dan ternyata bisa. Seperti kata Pak EWA bahwa menulis jangan banyak alasan, menulis saja. Hayu atuh!

Share this

0 Comment to "Menulis (4.1): Novel Hadiah Kehamilan"

Post a Comment