Thursday 15 December 2016

Menulis (3.1): Disapa Ide

Ersis Warmansyah Abbas

LANTAI V ruang kuliah SPS UPI Bandung. “Nah, Pak Ersis kok tidak bertanya. Apa kurang menarik?” Saya senyum simpul. Kelas geeer. Prof. Rochiati, pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu mencandai sembari tertawa. Prof. Rochiati, bisa jadi sudah bosan dengan kecerewetan saya mempersoalkan pemikiran para filsuf. Yap, saya termangu, dia begitu menggoda mendiskusikan apungan teman-teman tentang Jurgen Hubermas.

Saya baru ’mengunyah-nguyah’ The Theory of Communicative Action (Volum One): Reason and The Rationalization of Society dan Moral Consciousness Communicatie Action. Materi itu didiskusikan, perhatian saya tesedot. Ada ide untuk menuliskannya. Teringat Effendy Gazali, pakar komunikasi politik yang tulisannya sering menggoda. Lalu, membuka file di laptop, perihal pemikiran. Walah, seorang kawan menembak dengan topik baru, tentang local genius berantai ke lokal-lokal lainnya. Sampai ke Mahabharata dan Ramayana.

Ide tentang menulis komunikasi diganggu priosioner of the doctrine, kemudian beralih ke hal, kenapa Telkom Flash dan Spedynet letoy amat. Kedua jaringan internet tersebut membuat kesal. Begitulah kalau orang Indonesia mengelola perusahaan, iklannya selangit, hasilnya mengecewakan, tetapi konsumen tidak bisa berbuat apa-apa. Fasilitas hebat hanya milik mereka.

Begitu kuliah usai, memandang kota Bandung. Indah. Pohon dimana-mana. Mana udaranya dingin. Pikiran melayang ke Banua, Kalimantan Selatan. Kalau bertemu Menteri LH, akan disampaikan: “Bos, pohon harus ditanam dimana-mana di Kalimantan. ‘Orang-orang’ cerdas telah membiarkan hutan rusak, musim panas berselimut asap, musim hujan bermandikan banjir. Musim mendenda. Mumpung pian menjadi menteri, mari dipelihara yang serius.”

Bersama dua teman, kami beranjak ke penjual bubur. Sembari menikmati bubur ayam, saya memperhatikan tiga orang mahasiswa Fakultas Teknik UPI menyandang tas kertas bulat panjang.

Berbasa basi saya katakan: “Duh, tas bagus, saya suka. Tetapi, kalian jangan meniru orang-orang yang mengagung-agungkan produk luar negeri, tasnya impor. Tanamkan sejak sekarang, berproduksi.” Sesama mahasiswa pemakan bubur, kami tertawa-tawa. Topik hal-hal sederhana tersebut sudah rutin dalam diskusi makan bubur.

Ide menulis kampus pelopor produksi kebutuhan menjajah otak. Duh, Bandung yang mengganggu. Dua orang anak menabuh ecek-ecek, dan seorang ibu membawa kompor, katanya suaminya sakit, meminta sumbangan. Di Bandung, pengamen, bagi sebagian orang, menjadi Raja Pengganggu Makan, bagi yang lain sebagai penghibur. Saya ingat betapa di Esplanade Singapura ‘pemakan’ begitu dihormati, tanpa diganggu.
Eit, sudah berapa ide yang menyapa pagi ini? Ide menyapa siapa saja. Saya dah tulis tu.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.1): Disapa Ide"

Post a Comment