Monday 12 December 2016

Menulis (5.1): Tidak Berkarakter

Ersis Warmansyah Abbas
PAK EWA, kalau dideskripsikan, saya setengah hati dalam menulis dan sering menunda-nunda tulisan. Bisa jadi karena pesimis karena karya saya (sastra) kurang mampu bersaing. Saya penulis amatir, pemula, dan kurang berkarakter. Bagaimana mengatasinya? 
PENULIS pemula yang ”pesimis”, tetapi tetap menulis adalah calon penulis hebat. Penulis hebat? Sebagai pemula dia sudah mampu mendeskripsikan kekurangannya yang diistilahkan kurang berkarakter. Hebat bukan? Seorang pemula sudah mampu menilai karyanya. Sungguh pertanda sangat bagus. Ibarat sinyal, sinyalnya bagus.
 
Bandingkan dengan mereka yang mengaku-ngaku hebat, misalnya menulis sastra. Paham aneka teori, menguasai aturan bahasa, piawai memilih diksi, hebat memintal kalimat dalam logika bagus dengan langgam membuai. Padahal, kalau benar-benar paham, karyanya (sastra) tentulah diburu penikmat sastra. Paham menurut diri berbeda dengan menulis dan tulisan dipahami dan dinikmati pembaca. Kalau tidak menulis dari mana ”bukti” pahamnya?

Kawan kita ini, justru sebaliknya, menyadari tulisannya kurang berkarakter. Introspeksi. Siapa saja yang pernah mempelajari psikologi pasti paham betapa dahsyat introspeksi dalam melejitkan kemampuan diri. Pengakuan diri hebat, tulisan bagus, dan sejenisnya kaca kesombongan, apalagi kalau dilengkapi sifat dan sikap menggurui, sesungguhnya musuh (belajar) menulis. Kawan kita ini mendeskripsikan dirinya dengan kekurangannya yang dengan kesadaran tersebut sangat berpeluang membenahinya.

Akan halnya menulis setengah hati dan menunda-nunda bukanlah penyakit dalam artian karena kurang puas atas karya tulis. Hal tersebut harus dikunci dengan landasan mindset kokoh dengan menjinakkan kebiasaan buruk tersebut. Apa itu?

Menulis sebagai proses belajar, proses pembelajaran suatu proses dimana seseorang membelajarkan diri agar berketerampilan. Tulisan atau karya tulis belum memuaskan? Begitu seharusnya. Bagaimana mungkin begitu lahir seseorang mampu menyetir mobil. Ada persyaratan, baik fisik maupun psikologis, apalagi keterampilan manakala seseorang diberikan surat izin mengemudi (SIM).

Tepatnya, sikap setengah hati dan menunda-nunda itu yang perlu dibunuh. Caranya? Manakala berkehendak menulis lakukan dengan serius. Jangan, sekali-kali jangan, berhenti sebelum tulisan menjadi. Tidak terlalu penting hasilnya memuaskan atau tidak. Kalau tidak memuaskan diedit, diperbaiki.

Lagi pula, apa salahnya tulisan tidak bagus? Apa salahnya tulisan salah? Bukankah dengan mengetahui atau menyadari tulisan kita kurang baik merupakan ladang agar lebih bagus? Penyadaran yang akan menghantarkan menuju menulis bagus. Menulis membunuh pesimistis.

Yaps, baru memulai menulis dan mematok tulisan sempurna pertanda tidak cerdas. Baru belajar kok maunya seperti karya Victor Hugo. Solusinya, menulis, menulis, dan terus menulis. Belajar menulis mamasihkan menulis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.1): Tidak Berkarakter"

Post a Comment