Ersis Warmansyah Abbas
PAK EWA, kalau dideskripsikan, saya setengah hati dalam menulis dan sering menunda-nunda tulisan. Bisa jadi karena pesimis karena karya saya (sastra) kurang mampu bersaing. Saya penulis amatir, pemula, dan kurang berkarakter. Bagaimana mengatasinya?
PENULIS pemula yang ”pesimis”, tetapi tetap menulis adalah calon
penulis hebat. Penulis hebat? Sebagai pemula dia sudah mampu
mendeskripsikan kekurangannya yang diistilahkan kurang berkarakter.
Hebat bukan? Seorang pemula sudah mampu menilai karyanya. Sungguh
pertanda sangat bagus. Ibarat sinyal, sinyalnya bagus.
Bandingkan dengan mereka yang mengaku-ngaku hebat, misalnya menulis
sastra. Paham aneka teori, menguasai aturan bahasa, piawai memilih
diksi, hebat memintal kalimat dalam logika bagus dengan langgam membuai.
Padahal, kalau benar-benar paham, karyanya (sastra) tentulah diburu
penikmat sastra. Paham menurut diri berbeda dengan menulis dan tulisan
dipahami dan dinikmati pembaca. Kalau tidak menulis dari mana ”bukti”
pahamnya?
Kawan kita ini, justru sebaliknya, menyadari tulisannya kurang
berkarakter. Introspeksi. Siapa saja yang pernah mempelajari psikologi
pasti paham betapa dahsyat introspeksi dalam melejitkan kemampuan diri.
Pengakuan diri hebat, tulisan bagus, dan sejenisnya kaca kesombongan,
apalagi kalau dilengkapi sifat dan sikap menggurui, sesungguhnya musuh
(belajar) menulis. Kawan kita ini mendeskripsikan dirinya dengan
kekurangannya yang dengan kesadaran tersebut sangat berpeluang
membenahinya.
Akan halnya menulis setengah hati dan menunda-nunda bukanlah penyakit
dalam artian karena kurang puas atas karya tulis. Hal tersebut harus
dikunci dengan landasan mindset kokoh dengan menjinakkan kebiasaan buruk
tersebut. Apa itu?
Menulis sebagai proses belajar, proses pembelajaran suatu proses
dimana seseorang membelajarkan diri agar berketerampilan. Tulisan atau
karya tulis belum memuaskan? Begitu seharusnya. Bagaimana mungkin begitu
lahir seseorang mampu menyetir mobil. Ada persyaratan, baik fisik
maupun psikologis, apalagi keterampilan manakala seseorang diberikan
surat izin mengemudi (SIM).
Tepatnya, sikap setengah hati dan menunda-nunda itu yang perlu
dibunuh. Caranya? Manakala berkehendak menulis lakukan dengan serius.
Jangan, sekali-kali jangan, berhenti sebelum tulisan menjadi. Tidak
terlalu penting hasilnya memuaskan atau tidak. Kalau tidak memuaskan
diedit, diperbaiki.
Lagi pula, apa salahnya tulisan tidak bagus? Apa salahnya tulisan
salah? Bukankah dengan mengetahui atau menyadari tulisan kita kurang
baik merupakan ladang agar lebih bagus? Penyadaran yang akan
menghantarkan menuju menulis bagus. Menulis membunuh pesimistis.
Yaps, baru memulai menulis dan mematok tulisan sempurna pertanda
tidak cerdas. Baru belajar kok maunya seperti karya Victor Hugo.
Solusinya, menulis, menulis, dan terus menulis. Belajar menulis
mamasihkan menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (5.1): Tidak Berkarakter"
Post a Comment