Thursday 15 December 2016

Menulis (4.3): Menulis Sekelabat

Ersis Warmansyah Abbas

MENULIS di otak sangat positif bagi kreativitas menulis produktif. Saya memang bukan orang kaya, tokoh terkenal, atau orang penting. Pekerjaan sebagai PNS biasa yang mempunyai kewajiban sesuai beban tugas. Siapa pun paham di republik ini, gaji PNS belum memadai. karena itu, harus lebih giat bekerja. Walaupun pegawai ‘kelas tinggi’, Golongan IV, ya harus mencari tambahan pendapatan.

Untuk itu menerbitkan media, mengelola kolam, sampai menyiapkan aneka tulisan untuk beragam seminar sampai Diklat. Penunjangnya, tentu saja membaca. Kalau tidak membaca apa yang akan ditulis? Saya bukan penulis fiksi. Tulisan fiksi baru beberapa puluh cerpen, puisi, dan novel ASAP. 

Lagi pula, menempuh kuliah S3 itu, wiuw menguras energi. Salut kepada mereka yang beberapa kali ke kampus mampu meraih predikat Doktor dengan amat sangat baik. Lebih salut, yang tidak pernah kuliah. Seorang kawan mengistilahkan, kuliah di S3 berdarah-darah. Kecerdasan orang berbeda-beda memang.

Dalam pada itu, saya terlanjur bertekad menulis dalam kerangka memotivasi anak-anak muda, penulis pemula. Budgeting of time menjadi lebih rumit. Menulis kewajiban kuliah merupakan hal pokok, ekstra jangan dilupakan.

Lebih menantang, kini mulai menulis untuk media semisal Kompas (Jabar). Beberapa tulisan untuk tahun 2010 sudah siap ‘tayang’. Perlu uang untuk membeli buku. Lalu bagaimana solusinya? Susah menjabarkannya. Ringkasnya begini. Ketika kuliah memahami penjelasan dosen, teng begitu saja ide terpantik. Dalam sekejap, pengetahuan terkait di otak seolah berkumpul membuat formulasi. Online pilihan saat kuliah. Kalau dosen membicarakan anu-anu langsung dicek di internet. Pengetahuan dieksekusi pada waktu itu.

Entah kenapa, berkait saja dengan tulis-menulis. Selalu begitu. Saya tidak paham juga. Ya, layar laptop dibuka dengan program PageMaker. Kapling beragam buku sudah tersedia. Ajaib, tidak pernah memikirkan kalimatnya, pilihan diksi, namun menjadi kalimat bermuara tulisan. Heran.

Hal tersebut dilatih menstrasfernya pada situasi dan kondisi lain. Mudahan, dalam sebulan ini memasihkan kiat tersebut. Daya otak tengah berjuang mengonsep formulasinya. Atau, itukah yang dinamakan menulis refleks? Entahlah.

Ya, bisa jadi diistilahkan menulis tanpa berpikir. Menulis dengan berpikir sesingkat mungkin. Menulis melipat waktu. Tanpa disangka, seorang teman dari Jakarta mengirim buku Malcom Gladwell: Blink. Gladwell merujuk Gerd Gigarenzer perihal fast and frugal. Ditandem konsep adaptive unconciuos betul-betul mengena. Mengambil keputusan dalam hitungan detik. Ya, menulis sekelabat. Siiip.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.3): Menulis Sekelabat"

Post a Comment