Thursday 15 December 2016

Menulis (2.2): Menuliskan Pikiran

Ersis Warmansyah Abbas

SETIAP hari, setiap saat kita menumpuk pengetahuan, menambah pengalaman. Setiap hari, setiap saat kita berpikir. Bahkan, ketika tidur pun otak bekerja. Dalam tidak berkesadaran otak bekerja. Mimpi. Kita bermimpi tanpa dimaui, hadir tanpa diundang. Pasti sudah, bertimbun hal tertanam di otak. Otak yang berkapasitas unlimited.

Inga, inga, ketika melihat got penuh sampah, menyebar bau tak sedap, otak merespon; kenapa sih kok tidak dibersihkan? Gara-gara got penuh sampah dan bau, kita bisa menyalahkan diri, mempersalahkan Dinas Kebersihan, kesadaran lingkungan, dan bla-bla.

Kalau pikiran terlatih keluhan bisa melahirkan ide, bagaimana agar got tidak kotor dan bau. Tiap hari respon kehidupan berbuah ide. Dunia pikiran adalah dunia ide. 

Masukan, proses, dan keluaran (ide) yang tiap hari menyergap dalam kehidupan, bagaimana dikatakan susah menuliskannya? Menuliskan apa yang ada di pikiran, sulit? Walah walah. Sungguh perkeliruan pemahaman.

Ya, iyalah. Yakinlah, kita punya pengetahuan, mampu berpikir. Pasti, mampu mengeluarkan, menuliskan pikiran. Wong pikiran punya kita sendiri. Apa begitu mudah?
Bisa jadi. Yang penting, kita sepakat, mampu menuliskan pikiran. Soal bagaimana caranya, itu masalah teknis, masalah sederhana, hal pembiasaan. Hal sangat mudah. Esensinya, tanamkan dulu, menulis itu mudah. Membangun mindset menulis mudah

Yaps, kita mempunyai pikiran. Kalau merasa tidak mempunyai pikiran, yakin tidak mampu berpikir, atau pikiran sudah soak, tidak mungkin dioperasikan lagi, tidak usah berkehendak menulis. Urungkan niat menulis, apalagi kalau bermaksud menjadi penulis. Akan menjadi kesia-siaan.

Menulis khusus bagi mereka yang mau dan mampu berpikir. Kalau sudah demikian, tinggal bagaimana melakukan, menuliskan pikiran. Banyak orang yang terjebak, memikirkan apa yang akan ditulis. Sebaiknya, apalagi pada tahap awal, menuliskan apa yang ada di pikiran, menuliskan pikiran. Jangan memikirkan apa yang akan ditulis. Nah, lho.

Mengoperasikan pikiran tidak ada batasnya. Sampeyan bisa memikirkan amuba sampai andromeda; hal-hal konkret sampai yang abstrak. Tidak akan habis-habisnya. Bisa apa tidak berpikir sedemikian? Ya, bisalah. Hanya saja, dalam kaitan menulis —sekali lagi terutama bagi pemula— direduksi dalam konteks memudahkan. Kita sudah mempunyai tumpukan pikiran. Itu lebih dari cukup untuk ditulis. Tidak usah menyusah-nyusahkan diri, menyusahkan menulis.

Logikanya, menuliskan pikiran jauh lebih mudah, tidak membuat repot, dibanding memikirkan apa yang akan ditulis. Menulis disertasi untuk meraih predikat Doktor tentu perlu dipikirkan secara radiks. Berbeda dengan menuliskan apa yang ada di pikiran, menuliskan pengalaman. Menulis disertasi ada persyaratan akademis-ilmiah sebagai acuan. Sampeyan tak hendak menulis disertasi kan?

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (2.2): Menuliskan Pikiran"

Post a Comment