Diah Atika Pramono
Mahasiswa Jurusan Manajemen UIN Malang
Mahasiswa Jurusan Manajemen UIN Malang
“Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”
(Pramoedya Ananta Toer)
BANYAK orang yang mengaku tidak bisa menulis. Mereka berdalih bahwa
menulis itu sangat sulit, menulis itu sebuah bakat dan tidak sembarang
orang bisa melakukannya dengan mudah. Banyak alasan yang mereka
lontarkan, diantaranya, menulis membutuhkan keterampilan khusus, menyita
waktu, dan tidak mempunyai banyak waktu untuk menulis. Mereka terlalu
sibuk dengan urusan-urusan yang menurutnya lebih bermanfaat daripada
menulis.
Menulis itu bukan bakat, melainkan minat. Itu yang pernah saya baca
dari status teman Facebook yang sangat gemar membaca dan menulis. Saya
mengiyakan pendapatnya dan menanamkannya dalam prinsip hidup. Iya,
menulis itu minat, bukan masalah bakat. Saya sudah membuktikannya.
Dengan kesungguhan dan kesabaran dalam melalui setiap prosesnya, Insya
Allah, kita akan berjodoh dengan apa yang telah kita cita-citakan.
Kuncinya istiqomah.
Begitu juga dengan awal perjalanan saya sebagai pemula dalam dunia
literasi. Sebagai pemula, saya masih sering mengalami kesulitan dalam
menulis. Saya memutuskan untuk mulai menulis saat di bangku SMA, pada
masa akhir pendidikan SMA. Saya mengenal dunia literasi pada usia yang
tidak lagi muda. Dengan istiqomah dan pantang menyerah, alhamdulillah,
tulisan-tulisan saya pun menemui jodohnya masing-masing. Di bulan Juni
yang lalu, tulisan saya terpilih dan terbit menjadi sebuah antologi
kisah inspiratif. Kali ini tulisan saya pun sudah diterbitkan oleh
penerbit mayor, jadi kalian bisa menemukannya di Gramedia seluruh
Indonesia. Hehe, numpang promosi.
Kembali ke topik pembahasan. Bagaimana dengan mengatasi kesulitan
menulis? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang kerap kali diajukan
oleh para peserta diskusi atau pun seminar kepenulisan. Saya sudah
pernah menyaksikannya di banyak acara. Pertanyaan lumrah yang jawabannya
pun tidak pernah jauh berbeda. Tergantung dari pengalaman pemateri
sebagai nara sumber.
Jawaban yang sering saya dengar untuk model pertanyaan di atas adalah
kita harus membiasakan menulis. Diwaktu senggang, disela-sela
kesibukan, di tempat yang nyaman atau pun tidak nyaman, dan intinya,
kata Pak EWA tempo hari, kita harus terbiasa menulis dimana saja dan
dalam kondisi apapun. Berlatih dan terus berlatih. Jangan pernah
menyerah dengan keadaan.
Sebanyak apapun diskusi atau seminar kepenulisan yang kita ikuti,
tanpa disertai dengan action dari diri kita sendiri, maka semuanya akan
sia-sia belaka. Teori-teori yang kita dapatkan selama mengikuti acara
tersebut akan menguap begitu saja. Tentu, dan hal semacam ini pasti
sering terjadi pada penulis pemula seperti saya. Mereka begitu
bersemangat untuk mengikuti berbagai diskusi dan seminar, namun setelah
acara berakhir, semangat mereka pun pudar kembali.
Ada berbagai sebab yang membuat kita kesulitan saat menulis. Pertama,
kita kekurangan banyak informasi untuk mengembangkan sebuah ide yang
sedang kita garap. Ketika sudah mulai menulis, sering kali kita berhenti
di tengah jalan karena kehabisan informasi untuk pengembangan ide.
Jalan keluarnya adalah dengan rajin membaca dan mengumpulkan informasi.
Misalnya, kita ingin membuat sebuah cerita dengan setting di Eropa.
Padahal kita tidak pernah pergi ke Eropa dan banyak yang belum kita
ketahui. Penyelesaiannya, kita bisa membaca berbagai buku yang
menceritakan tentang seluk-beluk Eropa, mulai dari negara yang akan kita
jadikan latar, suasananya bagaimana, kondisi sekitarnya seperti apa,
dan bagaimana pula sosial budaya di sana. Kita bisa mencari informasi
dengan membaca atau pun browsing, tidak harus terjun ke lokasi jika
memang dirasa tidak memungkinkan.
Satu lagi yang bisa kita lakukan adalah dengan meminjam mata dan
telinga seseorang yang pernah berhijrah ke sana untuk dijadikan sebagai
sumber. Gampang, kan!
Kedua, kita sering kehabisan kosakata dalam menulis. Ya, kita
cenderung menginginkan bahasa yang terkesan indah, padahal kemampuan
kita belum mencapai taraf tersebut. Sering juga kita merasa kesulitan
dalam merangkai kata. Merangkai satu kalimat saja sudah sangat susah.
Apalagi membuat satu paragraf. Itu kendala yang sering juga dialami saat
ingin menuntaskan sebuah tulisan. Jadi, seperti masalah yang pertama,
kesulitan ini pun bisa diatasi dengan membaca. Ya, kita harus
rajin-rajin membaca. Membaca, membaca dan membaca. Pelajari
kosakata-kosakata yang berkaitan dengan topik atau ide tulisan kalian.
So, action now!
Ketiga, alasan yang selalu diulang-ulang di setiap sesi tanya-jawab
pada saat seminar atau diskusi adalah kehabisan ide. Sesungguhnya,
alasan itu benar-benar tidak bisa diterima. Ide bisa didapatkan dimana
saja dan kapan saja. Duduknya kalian pun bisa menjadi sebuah ide. Itu
kata ustazah saya sewaktu kami berbincang masalah kepenulisan. Ya,
semuanya bisa diolah menjadi ide. Peka terhadap fenomena sekitar adalah
salah satu cara untuk merangsang ide.
Keempat, masalah mood yang sering kali tidak bersahabat. Sebagian
dari kita selalu menyalahkan mood yang menyebabkan kita tidak
menyelesaikan tulisan. Tulisan jadi sering kali terbengkalai. Kalau mood
sedang tidak baik, kita selalu mengilah dengan berkata, “Duh, mood gue
lagi jelek nih. Jadi nggak bisa nulis. Ntar tulisan gue jadi jelek
juga.” Sekali kali, kata Pak EWA, kita harus terbiasa menulis dalam
keadaan apapun. Ya, dalam tekanan apapun.
Kalian pernah menyaksikan bagaimana seorang jurnalis menuliskan
laporan beritanya? Ya, mereka selalu bekerja dibawah tekanan. Harus
dikejar deadline, sekarang liputan dan nanti siang laporannya sudah
harus jadi, diserahkan ke redaksi, diedit, dan akhirnya menjadi berita.
Pernah membayangkan bagaimana sibuknya seperti mereka? Mereka tidak
boleh membawa mood dalam pekerjaan mereka.
Dunia jurnalistik membutuhkan mereka yang benar-benar siap siaga dalam
kondisi apapun. Jika mereka mengandalkan mood dan menurutinya, sudah
barang pasti laporan yang menjadi tuntutan pekerjaan tidak akan
terselesaikan. Jadi, masihkah kita bergantung dengan mood?
Sebagai pemula, cara paling ampuh untuk mengatasi kesulitan saat
menulis adalah dengan tetap menulis. “Jangan pernah tidak menyelesaikan
tulisanmu!” Sebagian besar dari kita selalu menggampangkan hal ini. Kita
bisa membuat reward and punishment untuk segala pencapaian kita dalam
menulis.
Tetap pacu semangat! Dengan membaca, kita bisa menjelajahi dunia.
Dengan menulis, kita bisa membangun peradaban. Witing Tresna Jalaran
Saka Kulina. Kita suka karena terbiasa. Begitu juga dengan menulis.
Dengan terbiasa menulis, kita akan jatuh cinta padanya. Mari menulis!
Jangan sia-siakan masa mudamu!
Menulis itu mudah.
0 Comment to "Menulis (4.4): Witing Tresna Jalaran Saka Kulina"
Post a Comment