Wednesday 7 December 2016

Menulis (4.3): Menulis Setiap Ketika

Dhenik Munfarida
Mahasiswa Jurusan PGMI UIN Malang

MENULIS tentu tidak asing bagi kita. Kita sudah mendengarnya bahkan ketika masih di taman kanak-kanak. Tetapi, mengapa masih ada yang menganggap menulis adalah hal yang sulit dengan berbagai alasan? Sesungguhnya ketika kita memandang sesuatu dari sudut pandang permasalahan, semua akan tampak seperti masalah, namun ketika kita ubah sudut pandang kita, kita akan tahu bahwa sesungguhnya selalu ada jalan bagi orang-orang yang memiliki kemauan. Begitu pula dengan menulis.
 
Bagi sebagian orang menulis merupakan momok yang sulit ditaklukkan, tetapi sesungguhnya hal tersebut tergantung bagaimana kita memandang serta menyikapi permasalahan tersebut. Berikut saya paparkan mengenai kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh para ‘calon penulis hebat’ dalam membuat sebuah tulisan serta bagaimana harus mengatasinya.

Kita sering mendengar dan mendapat pertanyaan: Kapan waktu yang tepat untuk menulis? Setiap orang mempunyai jawaban masing-masing. Ada yang mengatakan waktu yang tepat ketika pagi hari, sore hari, malam hari atau di waktu luang. Ada pula yang berpendapat bahwa waktu yang tepat untuk menulis ketika suasana hati sedang mendukung, ketika sedang galau, ketika sedang bahagia, atau jawaban-jawaban lainnya.

Kalau kita perhatikan lagi, kata “tepat” memiliki makna yang sangat relatif. Setiap orang akan mempunyai jawaban sesuai dengan karakteristiknya sehingga sangat sulit bagi kita untuk memberikan definisi yang tepat kapan waktu yang “tepat” untuk menulis. Hal inilah yang kemudian seringkali menjadi alasan para “calon penulis hebat” untuk menulis: Tidak ada waktu yang tepat dan kemudian menunda-nunda waktu yang akhirnya tidak menulis. Nanti saya akan menulis, atau suatu saat saya pasti akan menulis. Lalu kapan suatu saat yang kita maksud itu? Besok, lusa, minggu depan atau kapan? Padahal kita tidak pernah tahu sampai kapan umur kita.

Bisa jadi hari ini adalah hari terakhir kita di dunia yang fana ini. Saya mendapatkan inspirasi dari film yang saya tonton. Tokoh dalam film tersebut berkata “setiap hari adalah ‘suatu saat’ bagiku, aku memperlakukan hariku seolah-olah hari itu adalah hari terakhir dalam hidupku.” Apa yang dikatakan tokoh dalam film tersebut tentu hanyalah sebuah tuntutan skenario, namun tentu saja kita dapat bisa mengambil pelajaran dari kata-kata tersebut. Bahwa pada dasarnya, kitalah yang menciptakan ‘suatu saat’ tersebut, kita yang menentukan kapan ”suatu saat” tersebut. Kapan kita akan sampai pada “suatu saat” bergantung kepada kita sebagai penentunya. Ya, kita sendirilah yang memutuskan apakah waktu tersebut tepat atau tidak.

Sesungguhnya waktu adalah sama saja, satu bulan 30 hari, satu hari ada 24 jam. Kita menunggu sampai kapanpun, waktu adalah suatu keniscayaan, hukum alam yang pasti terjadi. Yang bisa kita usahakan adalah bagaimana memanfaatkan waktu tersebut. Apakah kita hanya akan menunggu datangnya “waktu yang tepat” atau kita bergerak menciptakan waktu kita sendiri? Pilihannya ada di tangan kita. Yang jelas adalah kapan pun, dalam waktu apapun, dalam keadaan bagaimanapun, itu adalah waktu yang tepat untuk menulis. Singkatnya, setiap saat adalah waktu yang tepat untuk menulis.

Masalah lain yang kemudian menghampiri “calon penulis hebat” adalah, kekhawatiran yang muncul dari diri sendiri, apakah tulisan saya akan bagus, apakah tulisan saya akan layak dibaca? Dan apakah-apakah lainnya. Untuk menjawab masalah ini yang ingin saya katakan adalah tokoh utamanya adalah kita. Jadi mau seperti apa itu terserah kita. Jangan menganggap kita menulis demi orang lain, karena tuntutan, atau bahkan yang lebih parah demi mencari materi. Itu hanyalah derivat dari aktivitas menulis kita. Seperti rumput yang pasti akan muncul ketika kita menanam padi, kita tidak perlu memikirkan rumputnya, karena ia pasti akan tumbuh. Yang perlu kita pikirkan adalah padinya, kita harus fokus pada padi yang kita tanam. Jangan sampai gara-gara memikirkan rumput, kita lupa akan tujuan utama kita, yakni menanam padi.

Begitupun ketika menulis, fokuskan pada diri kita, bukan pada hal-hal lain yang malah menghambat kita untuk menulis. Sesungguhnya kita menulis untuk diri kita sendiri, untuk memenuhi hasrat kita. Kita menulis untuk menuangkan apa yang ada di dalam pikiran kita, melukiskan ide-ide kita dalam goresan tinta dan pena. Soal apakah tulisan itu nanti jadi bagus atau tidak, layak atau tidak itu adalah hal lain yang berada di luar jangkauan kita. Peran kita hanyalah menulis dan menuangkan apa ide kita, tidak usah peduli dengan hal lainnya. Tidak pernah ada yang salah dengan ide seseorang, karena itu adalah fitrah dari seorang manusia.

Andrea Hirata juga tidak memikirkan apakah novel yang ia tulis akan menjadi sedemikian hebatnya? Ia tidak pernah berpikir tentang hal itu, ia hanya menulis dengan hatinya apa yang ingin ia tulis. Nyatanya novel-novelnya menjadi sedemikian hebatnya, bahkan menginspirasi banyak orang. Kuncinya sesuatu yang disampaikan dari hati akan jatuh ke hati pula. Jadi, menulislah dengan hati, seburuk apapun tulisan yang kita buat asalkan kita tulis dengan hati yang tulus, percayalah bahwa maksud kita juga akan sampai di hati orang-orang yang membaca tulisan kita.
 
Permasalahan lain yang sering muncul dari seorang “calon penulis hebat” adalah, darimana kita harus mulai menulis. Sama seperti masalah yang pertama, jawaban dari masalah ini akan berbeda bagi tiap individu. Memulai menulis berkaitan dengan hal apa yang dirasakan masing-masing penulis.

Yang jelas tidak pernah ada yang salah dengan apapun cara kita untuk memulai menulis. Tulis saja apa yang ingin kita tulis, apapun itu. Jangan dipikirkan bahwa kita harus memulai dengan sesuatu yang sempurna, semua selalu diawali dengan mencoba. Tulis saja semua sesuai keinginan kita, sesuai hasrat kita, ikuti apa yang dikatakan hati, biarkan jari kita menari bersama pena, dan nikmati saja prosesnya.
 
Kemudian jangan baca dulu apa yang sudah kita tuliskan sebelum tulisan itu selesai, karena hal itu akan membuat kita cenderung mengoreksi tulisan kita, sehingga kita akan mengulang lagi menulis, menghapus kata-kata yang sudah tersusun. Biarkan saja dulu, barulah ketika kita sudah selesai menulis, kita lihat kembali, mungkin ada kata-kata yang penulisannya salah atau ada kata yang bisa diganti dengan kata yang lainnya agar lebih baik. Yang penting jangan mengoreksi tulisan sebelum tulisan tersebut selesai.

Apa yang tertulis di atas hanyalah sebagian kecil saja dari masalah-masalah yang dihadapi seseorang sehingga merasa kesulitan untuk menulis. Dan itu hanyalah pendapat saya saja, sangat mungkin ada pendapat lain yang berbeda, dan itu tentu sah-sah saja. Karena masalah pun juga sangat relatif definisinya bagi setiap orang. Siapapun bisa mendefinisikan atau memahami perihal masalah. Bisa jadi masalah buat saya bukan masalah bagi orang lain, begitu pula sebaliknya.

Yang terpenting adalah menulislah dan jangan pernah takut atau ragu untuk menulis. Menulislah seolah-olah itu adalah tulisan terakhir yang dapat kita tulis. Menulislah karena diri kita sendiri bukan karena yang lain. Menulislah dengan hati, sampaikan suara nurani kita. Menulislah karena dengan menulis kita bisa hidup abadi. Kita hidup dunia mungkin hanya beberapa tahun saja, tapi tulisan-tulisan kita akan terus ada dan dibaca oleh umat-umat selanjutnya. Ide-ide kita akan tetap hidup dalam generasi-generasi selanjutnya. Dan tentu saja ini akan menjadi ladang amal yang menjanjikan bagi kita.
 
Terakhir saya ingin mengutip kata-kata dari Imam Ghazali, yang mengatakan “Bila kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, menulislah”

Share this

0 Comment to "Menulis (4.3): Menulis Setiap Ketika"

Post a Comment