Dhenik Munfarida
Mahasiswa Jurusan PGMI UIN Malang
Mahasiswa Jurusan PGMI UIN Malang
MENULIS tentu tidak asing bagi kita. Kita sudah mendengarnya bahkan
ketika masih di taman kanak-kanak. Tetapi, mengapa masih ada yang
menganggap menulis adalah hal yang sulit dengan berbagai alasan?
Sesungguhnya ketika kita memandang sesuatu dari sudut pandang
permasalahan, semua akan tampak seperti masalah, namun ketika kita ubah
sudut pandang kita, kita akan tahu bahwa sesungguhnya selalu ada jalan
bagi orang-orang yang memiliki kemauan. Begitu pula dengan menulis.
Bagi sebagian orang menulis merupakan momok yang sulit ditaklukkan,
tetapi sesungguhnya hal tersebut tergantung bagaimana kita memandang
serta menyikapi permasalahan tersebut. Berikut saya paparkan mengenai
kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh para ‘calon penulis hebat’
dalam membuat sebuah tulisan serta bagaimana harus mengatasinya.
Kita sering mendengar dan mendapat pertanyaan: Kapan waktu yang tepat
untuk menulis? Setiap orang mempunyai jawaban masing-masing. Ada yang
mengatakan waktu yang tepat ketika pagi hari, sore hari, malam hari atau
di waktu luang. Ada pula yang berpendapat bahwa waktu yang tepat untuk menulis ketika
suasana hati sedang mendukung, ketika sedang galau, ketika sedang
bahagia, atau jawaban-jawaban lainnya.
Kalau kita perhatikan lagi, kata “tepat” memiliki makna yang sangat
relatif. Setiap orang akan mempunyai jawaban sesuai dengan
karakteristiknya sehingga sangat sulit bagi kita untuk memberikan
definisi yang tepat kapan waktu yang “tepat” untuk menulis. Hal inilah
yang kemudian seringkali menjadi alasan para “calon penulis hebat” untuk
menulis: Tidak ada waktu yang tepat dan kemudian menunda-nunda waktu
yang akhirnya tidak menulis. Nanti saya akan menulis, atau suatu saat
saya pasti akan menulis. Lalu kapan suatu saat yang kita maksud itu?
Besok, lusa, minggu depan atau kapan? Padahal kita tidak pernah tahu
sampai kapan umur kita.
Bisa jadi hari ini adalah hari terakhir kita di dunia yang fana ini.
Saya mendapatkan inspirasi dari film yang saya tonton. Tokoh dalam film
tersebut berkata “setiap hari adalah ‘suatu saat’ bagiku, aku
memperlakukan hariku seolah-olah hari itu adalah hari terakhir dalam
hidupku.” Apa yang dikatakan tokoh dalam film tersebut tentu hanyalah
sebuah tuntutan skenario, namun tentu saja kita dapat bisa mengambil
pelajaran dari kata-kata tersebut. Bahwa pada dasarnya, kitalah yang
menciptakan ‘suatu saat’ tersebut, kita yang menentukan kapan ”suatu
saat” tersebut. Kapan kita akan sampai pada “suatu saat” bergantung
kepada kita sebagai penentunya. Ya, kita sendirilah yang memutuskan apakah waktu tersebut tepat atau tidak.
Sesungguhnya waktu adalah sama saja, satu bulan 30 hari, satu hari
ada 24 jam. Kita menunggu sampai kapanpun, waktu adalah suatu
keniscayaan, hukum alam yang pasti terjadi. Yang bisa kita usahakan
adalah bagaimana memanfaatkan waktu tersebut. Apakah kita hanya akan
menunggu datangnya “waktu yang tepat” atau kita bergerak menciptakan
waktu kita sendiri? Pilihannya ada di tangan kita. Yang jelas adalah
kapan pun, dalam waktu apapun, dalam keadaan bagaimanapun, itu adalah
waktu yang tepat untuk menulis. Singkatnya, setiap saat adalah waktu
yang tepat untuk menulis.
Masalah lain yang kemudian menghampiri “calon penulis hebat” adalah,
kekhawatiran yang muncul dari diri sendiri, apakah tulisan saya akan
bagus, apakah tulisan saya akan layak dibaca? Dan apakah-apakah lainnya.
Untuk menjawab masalah ini yang ingin saya katakan adalah tokoh
utamanya adalah kita. Jadi mau seperti apa itu terserah kita. Jangan
menganggap kita menulis demi orang lain, karena tuntutan, atau bahkan
yang lebih parah demi mencari materi. Itu hanyalah derivat dari
aktivitas menulis kita. Seperti rumput yang pasti akan muncul ketika
kita menanam padi, kita tidak perlu memikirkan rumputnya, karena ia
pasti akan tumbuh. Yang perlu kita pikirkan adalah padinya, kita harus
fokus pada padi yang kita tanam. Jangan sampai gara-gara memikirkan
rumput, kita lupa akan tujuan utama kita, yakni menanam padi.
Begitupun ketika menulis, fokuskan pada diri kita, bukan pada hal-hal
lain yang malah menghambat kita untuk menulis. Sesungguhnya kita
menulis untuk diri kita sendiri, untuk memenuhi hasrat kita. Kita
menulis untuk menuangkan apa yang ada di dalam pikiran kita, melukiskan
ide-ide kita dalam goresan tinta dan pena. Soal apakah tulisan itu nanti
jadi bagus atau tidak, layak atau tidak itu adalah hal lain yang berada
di luar jangkauan kita. Peran kita hanyalah menulis dan menuangkan apa
ide kita, tidak usah peduli dengan hal lainnya. Tidak pernah ada yang
salah dengan ide seseorang, karena itu adalah fitrah dari seorang
manusia.
Andrea Hirata juga tidak memikirkan apakah novel yang ia tulis akan
menjadi sedemikian hebatnya? Ia tidak pernah berpikir tentang hal itu,
ia hanya menulis dengan hatinya apa yang ingin ia tulis. Nyatanya
novel-novelnya menjadi sedemikian hebatnya, bahkan menginspirasi banyak
orang. Kuncinya sesuatu yang disampaikan dari hati akan jatuh ke hati
pula. Jadi, menulislah dengan hati, seburuk apapun tulisan yang kita
buat asalkan kita tulis dengan hati yang tulus, percayalah bahwa maksud
kita juga akan sampai di hati orang-orang yang membaca tulisan kita.
Permasalahan lain yang sering muncul dari seorang “calon penulis hebat”
adalah, darimana kita harus mulai menulis. Sama seperti masalah yang
pertama, jawaban dari masalah ini akan berbeda bagi tiap individu.
Memulai menulis berkaitan dengan hal apa yang dirasakan masing-masing
penulis.
Yang jelas tidak pernah ada yang salah dengan apapun cara kita untuk
memulai menulis. Tulis saja apa yang ingin kita tulis, apapun itu.
Jangan dipikirkan bahwa kita harus memulai dengan sesuatu yang sempurna,
semua selalu diawali dengan mencoba. Tulis saja semua sesuai keinginan
kita, sesuai hasrat kita, ikuti apa yang dikatakan hati, biarkan jari
kita menari bersama pena, dan nikmati saja prosesnya.
Kemudian jangan baca dulu apa yang sudah kita tuliskan sebelum tulisan
itu selesai, karena hal itu akan membuat kita cenderung mengoreksi
tulisan kita, sehingga kita akan mengulang lagi menulis, menghapus
kata-kata yang sudah tersusun. Biarkan saja dulu, barulah ketika kita
sudah selesai menulis, kita lihat kembali, mungkin ada kata-kata yang
penulisannya salah atau ada kata yang bisa diganti dengan kata yang
lainnya agar lebih baik. Yang penting jangan mengoreksi tulisan sebelum
tulisan tersebut selesai.
Apa yang tertulis di atas hanyalah sebagian kecil saja dari
masalah-masalah yang dihadapi seseorang sehingga merasa kesulitan untuk
menulis. Dan itu hanyalah pendapat saya saja, sangat mungkin ada
pendapat lain yang berbeda, dan itu tentu sah-sah saja. Karena masalah
pun juga sangat relatif definisinya bagi setiap orang. Siapapun bisa
mendefinisikan atau memahami perihal masalah. Bisa jadi masalah buat
saya bukan masalah bagi orang lain, begitu pula sebaliknya.
Yang terpenting adalah menulislah dan jangan pernah takut atau ragu
untuk menulis. Menulislah seolah-olah itu adalah tulisan terakhir yang
dapat kita tulis. Menulislah karena diri kita sendiri bukan karena yang
lain. Menulislah dengan hati, sampaikan suara nurani kita. Menulislah
karena dengan menulis kita bisa hidup abadi. Kita hidup dunia mungkin
hanya beberapa tahun saja, tapi tulisan-tulisan kita akan terus ada dan
dibaca oleh umat-umat selanjutnya. Ide-ide kita akan tetap hidup dalam
generasi-generasi selanjutnya. Dan tentu saja ini akan menjadi ladang
amal yang menjanjikan bagi kita.
Terakhir saya ingin mengutip kata-kata dari Imam Ghazali, yang
mengatakan “Bila kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar,
menulislah”
0 Comment to "Menulis (4.3): Menulis Setiap Ketika"
Post a Comment