Monday 12 December 2016

Menulis (4.6): Tidak Direspon, Duh Gemes

Ersis Warmansyah Abbas
Menulis merupakan keinginan yang datang dari dalam diri. Sebagai penulis pemula, saya ingin direspon oleh teman-teman dunia maya. Tetapi, tetap saja tidak direspon. Memberanikan diri menayangkan puisi, eit dianggap angin lalu saja. Paling bagus diberi tanda jempol. 
SEORANG penulis senior menganjurkan, manakala mau tulisan direspon orang lain, respon terlebih dulu tulisan teman, komentari tulisan teman. Kata Beliau, banyak orang yang hanya meminta diperhatikan, tetapi tidak mau memperhatikan temannya. Sejak itu saya rajin merespon tulisan teman-teman dan tulisan saya pun mulai direspon. Selanjutnya memberanikan diri meminta kepada teman-teman dunia maya untuk mengkritisi tulisan saya. Sebab, saya ingin agar tulisan saya berkualitas. Apa yang terjadi?
 
Beberapa orang memang memberi saran dengan beradab, tetapi ada pula yang dengan entengnya mencaci maki. “Kamu itu kalau mau menulis banyak membaca terlebih duhulu. Belajar dulu tata bahasa. Apa tidak malu memposting tulisan seperti tulisan anak SD?” Teng.

Rasa-rasanya, siapa saja yang dicela pastilah merasakan ketidakenakan. Tidak nyaman. Hanya saja, begitulah risiko meminta dikritik. Marah atau gemas dicaci, namun bukankah dengan demikian semangat menaik ingin membuktikan diri mampu menulis. Sakit, namun menyemangati. Berpikir positif untuk maju.

Seperti nasehat tentor saya, setiap orang bebas berpendapat atas sesuatu, juga kita tidak bisa mengatur seseorang memuji atau mencela tulisan kita, namun yang lebh penting, dari pujian atau celaan selalu terkandung pembelajaran. Pembelajaran dalam arti kita membelajarkan diri.

Pujian menjadi penyemangat agar lebih meningkatkan kualitas tulisan, celaan agar memacu kita memperbaiki atau membuat tulisan yang lebih berkualitas. Sampai-sampai beliau mengatakan, sebenarnya apa pun yang datang dari luar diri hanya berakibat satu hal manakala kita berpikir positif, yaitu: demi perbaikan, demi lebih berkualitas. Orang-orang bodoh adalah mereka yang menjadikan hal dari luar dirinya untuk menghancurkan dirinya. Mari menguatkan diri sembari menghindar dari celaan dan mereka yang mencela.

Tentu, tidak mudah memahami atau mengaplikasikan kalaulah prinsip dibangun. Apa pun yang menjadi adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Penilaian orang bisa menjadikan kita terhanyut atau terkapar. Sebaliknya, manakala masukan luar diri dimaknai sebagai kepositifan, tidak menginstal hal-hal destruktif, sebenarnya kita membangun mindset memenangkan diri.

Marah dikritik? Terkapar dicela? Jangan sampai. Kalau hal tersebut terjadi pastilah merugikan diri. Pengkritik atau pencela setelah melontarkan peluru bisa jadi melupakan apa yang dilemparnya.

Jadi, mari perkuat prinsip diri, membangun mindset untuk membangun kemampuan dan keterampilan menulis. Berpikir positif garansi dalam pembelajaran menulis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.6): Tidak Direspon, Duh Gemes"

Post a Comment