Ersis Warmansyah Abbas
Menulis merupakan keinginan yang datang dari dalam diri. Sebagai penulis pemula, saya ingin direspon oleh teman-teman dunia maya. Tetapi, tetap saja tidak direspon. Memberanikan diri menayangkan puisi, eit dianggap angin lalu saja. Paling bagus diberi tanda jempol.
SEORANG penulis senior menganjurkan, manakala mau tulisan direspon
orang lain, respon terlebih dulu tulisan teman, komentari tulisan teman.
Kata Beliau, banyak orang yang hanya meminta diperhatikan, tetapi tidak
mau memperhatikan temannya. Sejak itu saya rajin merespon tulisan
teman-teman dan tulisan saya pun mulai direspon. Selanjutnya
memberanikan diri meminta kepada teman-teman dunia maya untuk
mengkritisi tulisan saya. Sebab, saya ingin agar tulisan saya
berkualitas. Apa yang terjadi?
Beberapa orang memang memberi saran dengan beradab, tetapi ada pula yang
dengan entengnya mencaci maki. “Kamu itu kalau mau menulis banyak
membaca terlebih duhulu. Belajar dulu tata bahasa. Apa tidak malu
memposting tulisan seperti tulisan anak SD?” Teng.
Rasa-rasanya, siapa saja yang dicela pastilah merasakan
ketidakenakan. Tidak nyaman. Hanya saja, begitulah risiko meminta
dikritik. Marah atau gemas dicaci, namun bukankah dengan demikian
semangat menaik ingin membuktikan diri mampu menulis. Sakit, namun
menyemangati. Berpikir positif untuk maju.
Seperti nasehat tentor saya, setiap orang bebas berpendapat atas
sesuatu, juga kita tidak bisa mengatur seseorang memuji atau mencela
tulisan kita, namun yang lebh penting, dari pujian atau celaan selalu
terkandung pembelajaran. Pembelajaran dalam arti kita membelajarkan
diri.
Pujian menjadi penyemangat agar lebih meningkatkan kualitas tulisan,
celaan agar memacu kita memperbaiki atau membuat tulisan yang lebih
berkualitas. Sampai-sampai beliau mengatakan, sebenarnya apa pun yang
datang dari luar diri hanya berakibat satu hal manakala kita berpikir
positif, yaitu: demi perbaikan, demi lebih berkualitas. Orang-orang
bodoh adalah mereka yang menjadikan hal dari luar dirinya untuk
menghancurkan dirinya. Mari menguatkan diri sembari menghindar dari
celaan dan mereka yang mencela.
Tentu, tidak mudah memahami atau mengaplikasikan kalaulah prinsip
dibangun. Apa pun yang menjadi adalah hasil dari apa yang kita lakukan.
Penilaian orang bisa menjadikan kita terhanyut atau terkapar.
Sebaliknya, manakala masukan luar diri dimaknai sebagai kepositifan,
tidak menginstal hal-hal destruktif, sebenarnya kita membangun mindset
memenangkan diri.
Marah dikritik? Terkapar dicela? Jangan sampai. Kalau hal tersebut
terjadi pastilah merugikan diri. Pengkritik atau pencela setelah
melontarkan peluru bisa jadi melupakan apa yang dilemparnya.
Jadi, mari perkuat prinsip diri, membangun mindset untuk membangun
kemampuan dan keterampilan menulis. Berpikir positif garansi dalam
pembelajaran menulis.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (4.6): Tidak Direspon, Duh Gemes"
Post a Comment