Saturday 17 December 2016

Menulis (1.1): ENJOY MENULIS

Ersis Warmansyah Abbas
Pendiri Gerakan Persahabatan Menulis

KALAU diingat-ingat, satu hal yang membuat saya tertawa saat menulis, adalah nasehat tentang bagaimana menulis. Nasehat tersebut tentu tidak salah, apakah diutarakan atau ditulis. Halnya adalah kalau hal tersebut dilakukan, dipastikan saya tidak menulis, apalagi produktif menghasilkan karya tulis. Sebab dipastikan tidak akan mampu memenuhi halnya.
 
Betapa tidak. Ada nasehat, bila hendak menulis, lengkapi peralatan, cari tempat yang tidak bising, tenang, dan menyenangkan, saat mood, in the mood, sehingga gairah dan semangat menulis menjadi-jadi. Nasehatnya baik, tetapi tidak pas buat saya. Sebab, tidak mungkin saya memenuhinya.
 
Saya menulis sejak kelas V SR (SD). Peralatan? Saya mempunyai alat tulis standar, sabak. Belum ada buku dan pensil. Ketika era mesin tik, lebih sering meminjam. Begitu pula masa awal komputer, ya meminjam.

Beberapa dekade belakangan baru mampu membeli peralatan menulis canggih. Sebelumnya menggunakan alat seadanya. Ternyata tulisan saya tetap “subur”. Saya mematahkan teori, menulis haruslah dilengkapi alat pendukung hebat. Nah, setelah memiliki, wajar to menulis lebih “ganas”.

Tempat nyaman? Ahai, sejak saya kos di Padang, Yogya, dan Bandung bagaimana mendapatkan tempat nyaman kalau menyewa kamar dua kali tiga meter untuk berdua dengan perabotan seadanya. Menulis? Alhamdulillah, tidak terganggu. Nyaman tidak nyaman ya dinyamankan. Berkat menulis bersekolah lebih nyaman. Ada honornya Bro.
Mood?

Saya tidak memperdulikan. Bagi saya, menulis sembari menunggu antrian mandi, mengalihkan perhatian dari pembicara pada seminar yang membosankan, atau lagi menumpang pesawat terbang, merupakan hal biasa. Saya tidak menunggu-nunggu mood, in the mood. Menulis ya menulis saja. Ketika ada yang menanyakan atau mempertanyakan tentang mood, saya malah bingung. Prinsip saya, menulis ya menulis saja.

Begitulah. Ketika bangun tengah malam, atau mata enggan terpejam, ya menulis. Kalau ada rapat di kantor, kalau bos terlambat, orang pada menggerutu, saya membuka laptop, dan menulis. Hasilnya? Tulisan. Bahwa ada orang yang berkepuasan dengan menggerutu itu hak dia, saya lebih enjoy menulis.

Teman-teman atau mahasiswa sudah hapal “gaya” saya. Kalau sedang menulis mereka bertamu, silakan. Saya melayani sembari menulis. Bila tulisan selesai barulah berbincang berhadap-hadapan.

Kalau mahasiswa konsultasi skripsi atau tesis yang telah saya baca dan tandai, kalau datang ketika saya menulis, ya sembari menulis memberikan nasehat. Saya sudah membaca skripsi atau tesis mereka. Kebutuhannya terpenuhi, pekerjaan saya tidak terganggu.

Mengerjakan hal lain bersamaan dengan menulis saya pelajari ketika menulis sembari mendengar musik. Bisa bukan? Lalu, sembari mendengar informasi dari TV. Ternyata panca indra kita bisa bekerja secara bersamaan. Teori koordinasi mendapatkan tempat. Yang penting kan enjoy, dan pekerjaan selesai.

Suatu kali saya didatangi seorang dosen yang baru saja menyelesaikan studi S3. Dengan sabar dan penuh perhatian saya simak tuturannya. Mulai dari kesibukannya, dukungan teman sejawat, sampai salari yang tidak sepadan. Maklum, berpredikat Doktor.

Saya bertanya: “Mas, kira-kira diantara kita mana yang lebih sibuk?” Agak terpojok dia menjawab: “Pian, lebih banyak kegiatan pang.” Tanpa basa-basi saya tandaskan: “Aktivitas saya lebih beragam”, saya “menembak”, sembari menatapnya. “Tetapi, pendapatan Sampeyan lebih banyak”. Dia tersipu.

Diskusi ditutup dengan kesepakatan tidak tertulis, kesibukan bukanlah halangan untuk menulis. Aktivitas yang banyak dan beragam mengajarkan kita menggunakan waktu efisien dan manakala tanpa mengeluh, melakoni aktivitas menulis, dipastikan hasilnya tulisan.

Kami terbahak-bahak mengakhiri diskusi. Setidaknya saya menyadarkan, mereka yang bingung dan tidak menghasilkan apa-apa (sesuai topik tulisan, tidak menghasilkan tulisan) adalah yang tidak memanfaatkan waktu dan kesempatan menulis dengan baik.

Kepada seorang mahasiswa yang mengeluh soal banyaknya tugas kuliah, suatu kali saya bawa dia mulai dari aktivitas pagi, ke kolam, ke sekolah, ke kampus, memberi ceramah yang kesemuanya dilakukan sendiri. Disela-sela aktivitas tersebut saya menulis.

Sejak itu dia tidak mengeluh lagi, dan menyelesaikan tugas kuliah dan skripsi tanpa mengeluh. Ya, saya berpendapat, menulis itu tidak perlu waktu “segudang”, sepuluh menit cukup, kalau belum selesai nanti dilanjutkan. Tidak perlu ke tempat yang sejuk nyaman atau “bertapa”, menulis cukup disela-sela kegiatan sehari-hari. Bagaimana kalau di tempat nyaman, peralatan lengkap, suasana mendukung?

Pasti lebih baik. Bagi saya hal tersebut merupakan “barang mewah”. Seorang teman, Prof. Dr. dan pejabat tinggi kampus, dengan amat meyakinkan berujar: “Bos, saya tidak akan mencalonkan diri menjadi pejabat apa pun. Saya ingin kembali ke habitat, menulis. Ya, tugas kita mengajar, meneliti, dan menulis dalam pengabdian”. Saya salami dia. Dalam hati, Oke Bro, mari kita berpacu menerbitkan buku. Ada lawan tanding tentu lebih baik.
 
Ya, saya sampai pada keyakinan, menulis tidak susah dan bukan menyusahkan. Kenapa bisa sampai kepada keyakinan sedemikian?

Dapat dipastikan, kita telah membaca banyak hal, telah melakukan beragam pekerjaan, mengalami ini-itu, atau belajar bermacam hal. Hal-hal tersebut kita simpan di memori (otak) sebagai pengetahuan. Tepatnya, banyak hal telah kita “rekam” selama kehidupan.

Dalam pada itu, kita dikurniai otak dengan neuron berkapasitas tidak terbatas, yang bukan saja bermanfaat untuk meng-input pengetahuan, tetapi juga mem-process, dan meng-output hingga terkomunikasikan. Setiap orang mempunyai potensi untuk itu. Dengan kata lain, yang diperlukan melatihnya dengan melakukan alias menulis.

Manakala kita menulis apa yang ada di pikiran kita, tentulah bukan hal sulit. Dengan “menuangkan” pikiran (menulis) setidaknya kita melatih menulis. Bila kita melakukan (menulis) tentu kita tidak “menggadaikan diri” kepada teori ini-itu, sebab kita belajar dari melakukan. Teori membantu, mempermudah.

Kalau sudah demikian mindset akan terbentuk menulis dari dalam diri, keinginan diri, dan menjadi kebutuhan. Kalau sesuatu sudah menjadi kebutuhan tentu diri akan berusaha memenuhinya. Halnya akan lebih mudah karena menulis tidak membeban, sebab menulis merupakan katarsis, memberi kebangaan sampai ladang finansial.

Manakala kita menyelesaikan tulisan terasa begitu legaaaaaaaaaa. Wuaw kondisi kejiwaan yang membuat kita senang; pikiran terasa nyaman, kita senang, memandang berbagai hal dengan senang atau positif. Tidak ada ruginya.

Bila fasih menulis kita dikenal orang, tulisan kita dibaca, bisa diterbitkan media cetak dan diberi honor atau manakala menjadi buku diterbitkan penerbit sembari memberi royalti. Bukankah hal-hal sedemikian menyenangkan?

Kalau demikian halnya, sejatinya dari awal sampai akhir aktivitas menulis adalah kesenangan. Dalam bahasa anak muda, enjoy. Ya, menulis menyenangkan, menulis yang mendatangkan kesenangan. Buat apa bermuram durja kalau menulis membuat ceria?

Ya, menulis yang menjadikan kita riang-gembira. Menulis mari menulis, menulis menyenangkan.

Menulis, enjoy-enjoy sajalah.

Enjoy menulis.

Share this

0 Comment to "Menulis (1.1): ENJOY MENULIS"

Post a Comment