Ersis Warmansyah Abbas
Pendiri Gerakan Persahabatan Menulis
Pendiri Gerakan Persahabatan Menulis
KALAU diingat-ingat, satu hal yang membuat saya tertawa saat menulis,
adalah nasehat tentang bagaimana menulis. Nasehat tersebut tentu tidak
salah, apakah diutarakan atau ditulis. Halnya adalah kalau hal tersebut
dilakukan, dipastikan saya tidak menulis, apalagi produktif menghasilkan
karya tulis. Sebab dipastikan tidak akan mampu memenuhi halnya.
Betapa tidak. Ada nasehat, bila hendak menulis, lengkapi peralatan, cari
tempat yang tidak bising, tenang, dan menyenangkan, saat mood, in the
mood, sehingga gairah dan semangat menulis menjadi-jadi. Nasehatnya
baik, tetapi tidak pas buat saya. Sebab, tidak mungkin saya memenuhinya.
Saya menulis sejak kelas V SR (SD). Peralatan? Saya mempunyai alat tulis
standar, sabak. Belum ada buku dan pensil. Ketika era mesin tik, lebih
sering meminjam. Begitu pula masa awal komputer, ya meminjam.
Beberapa dekade belakangan baru mampu membeli peralatan menulis
canggih. Sebelumnya menggunakan alat seadanya. Ternyata tulisan saya
tetap “subur”. Saya mematahkan teori, menulis haruslah dilengkapi alat
pendukung hebat. Nah, setelah memiliki, wajar to menulis lebih “ganas”.
Tempat nyaman? Ahai, sejak saya kos di Padang, Yogya, dan Bandung
bagaimana mendapatkan tempat nyaman kalau menyewa kamar dua kali tiga
meter untuk berdua dengan perabotan seadanya. Menulis? Alhamdulillah,
tidak terganggu. Nyaman tidak nyaman ya dinyamankan. Berkat menulis
bersekolah lebih nyaman. Ada honornya Bro.
Mood?
Mood?
Saya tidak memperdulikan. Bagi saya, menulis sembari menunggu antrian
mandi, mengalihkan perhatian dari pembicara pada seminar yang
membosankan, atau lagi menumpang pesawat terbang, merupakan hal biasa.
Saya tidak menunggu-nunggu mood, in the mood. Menulis ya menulis saja.
Ketika ada yang menanyakan atau mempertanyakan tentang mood, saya malah
bingung. Prinsip saya, menulis ya menulis saja.
Begitulah. Ketika bangun tengah malam, atau mata enggan terpejam, ya
menulis. Kalau ada rapat di kantor, kalau bos terlambat, orang pada
menggerutu, saya membuka laptop, dan menulis. Hasilnya? Tulisan. Bahwa
ada orang yang berkepuasan dengan menggerutu itu hak dia, saya lebih
enjoy menulis.
Teman-teman atau mahasiswa sudah hapal “gaya” saya. Kalau sedang
menulis mereka bertamu, silakan. Saya melayani sembari menulis. Bila
tulisan selesai barulah berbincang berhadap-hadapan.
Kalau mahasiswa konsultasi skripsi atau tesis yang telah saya baca
dan tandai, kalau datang ketika saya menulis, ya sembari menulis
memberikan nasehat. Saya sudah membaca skripsi atau tesis mereka.
Kebutuhannya terpenuhi, pekerjaan saya tidak terganggu.
Mengerjakan hal lain bersamaan dengan menulis saya pelajari ketika
menulis sembari mendengar musik. Bisa bukan? Lalu, sembari mendengar
informasi dari TV. Ternyata panca indra kita bisa bekerja secara
bersamaan. Teori koordinasi mendapatkan tempat. Yang penting kan enjoy,
dan pekerjaan selesai.
Suatu kali saya didatangi seorang dosen yang baru saja menyelesaikan
studi S3. Dengan sabar dan penuh perhatian saya simak tuturannya. Mulai
dari kesibukannya, dukungan teman sejawat, sampai salari yang tidak
sepadan. Maklum, berpredikat Doktor.
Saya bertanya: “Mas, kira-kira diantara kita mana yang lebih sibuk?”
Agak terpojok dia menjawab: “Pian, lebih banyak kegiatan pang.” Tanpa
basa-basi saya tandaskan: “Aktivitas saya lebih beragam”, saya
“menembak”, sembari menatapnya. “Tetapi, pendapatan Sampeyan lebih
banyak”. Dia tersipu.
Diskusi ditutup dengan kesepakatan tidak tertulis, kesibukan bukanlah
halangan untuk menulis. Aktivitas yang banyak dan beragam mengajarkan
kita menggunakan waktu efisien dan manakala tanpa mengeluh, melakoni
aktivitas menulis, dipastikan hasilnya tulisan.
Kami terbahak-bahak mengakhiri diskusi. Setidaknya saya menyadarkan,
mereka yang bingung dan tidak menghasilkan apa-apa (sesuai topik
tulisan, tidak menghasilkan tulisan) adalah yang tidak memanfaatkan
waktu dan kesempatan menulis dengan baik.
Kepada seorang mahasiswa yang mengeluh soal banyaknya tugas kuliah,
suatu kali saya bawa dia mulai dari aktivitas pagi, ke kolam, ke
sekolah, ke kampus, memberi ceramah yang kesemuanya dilakukan sendiri.
Disela-sela aktivitas tersebut saya menulis.
Sejak itu dia tidak mengeluh lagi, dan menyelesaikan tugas kuliah dan
skripsi tanpa mengeluh. Ya, saya berpendapat, menulis itu tidak perlu
waktu “segudang”, sepuluh menit cukup, kalau belum selesai nanti
dilanjutkan. Tidak perlu ke tempat yang sejuk nyaman atau “bertapa”,
menulis cukup disela-sela kegiatan sehari-hari. Bagaimana kalau di
tempat nyaman, peralatan lengkap, suasana mendukung?
Pasti lebih baik. Bagi saya hal tersebut merupakan “barang mewah”.
Seorang teman, Prof. Dr. dan pejabat tinggi kampus, dengan amat
meyakinkan berujar: “Bos, saya tidak akan mencalonkan diri menjadi
pejabat apa pun. Saya ingin kembali ke habitat, menulis. Ya, tugas kita
mengajar, meneliti, dan menulis dalam pengabdian”. Saya salami dia.
Dalam hati, Oke Bro, mari kita berpacu menerbitkan buku. Ada lawan
tanding tentu lebih baik.
Ya, saya sampai pada keyakinan, menulis tidak susah dan bukan menyusahkan. Kenapa bisa sampai kepada keyakinan sedemikian?
Dapat dipastikan, kita telah membaca banyak hal, telah melakukan
beragam pekerjaan, mengalami ini-itu, atau belajar bermacam hal. Hal-hal
tersebut kita simpan di memori (otak) sebagai pengetahuan. Tepatnya,
banyak hal telah kita “rekam” selama kehidupan.
Dalam pada itu, kita dikurniai otak dengan neuron berkapasitas tidak
terbatas, yang bukan saja bermanfaat untuk meng-input pengetahuan,
tetapi juga mem-process, dan meng-output hingga terkomunikasikan. Setiap
orang mempunyai potensi untuk itu. Dengan kata lain, yang diperlukan
melatihnya dengan melakukan alias menulis.
Manakala kita menulis apa yang ada di pikiran kita, tentulah bukan
hal sulit. Dengan “menuangkan” pikiran (menulis) setidaknya kita melatih
menulis. Bila kita melakukan (menulis) tentu kita tidak “menggadaikan
diri” kepada teori ini-itu, sebab kita belajar dari melakukan. Teori
membantu, mempermudah.
Kalau sudah demikian mindset akan terbentuk menulis dari dalam diri,
keinginan diri, dan menjadi kebutuhan. Kalau sesuatu sudah menjadi
kebutuhan tentu diri akan berusaha memenuhinya. Halnya akan lebih mudah
karena menulis tidak membeban, sebab menulis merupakan katarsis, memberi
kebangaan sampai ladang finansial.
Manakala kita menyelesaikan tulisan terasa begitu legaaaaaaaaaa. Wuaw
kondisi kejiwaan yang membuat kita senang; pikiran terasa nyaman, kita
senang, memandang berbagai hal dengan senang atau positif. Tidak ada
ruginya.
Bila fasih menulis kita dikenal orang, tulisan kita dibaca, bisa
diterbitkan media cetak dan diberi honor atau manakala menjadi buku
diterbitkan penerbit sembari memberi royalti. Bukankah hal-hal
sedemikian menyenangkan?
Kalau demikian halnya, sejatinya dari awal sampai akhir aktivitas
menulis adalah kesenangan. Dalam bahasa anak muda, enjoy. Ya, menulis
menyenangkan, menulis yang mendatangkan kesenangan. Buat apa bermuram
durja kalau menulis membuat ceria?
Ya, menulis yang menjadikan kita riang-gembira. Menulis mari menulis, menulis menyenangkan.
Menulis, enjoy-enjoy sajalah.
Enjoy menulis.
0 Comment to "Menulis (1.1): ENJOY MENULIS"
Post a Comment