Saturday 17 December 2016

Menulis (6.8): Menulis Membangun Senang

Ersis Warmansyah Abbas
SETIAP orang mempunyai kesenangan. Ada yang senang mengintip, ada yang suka bicara sepanjang hari, ada yang hobi main tenis, ada yang terpuaskan menonton bola, atau berdiam diri di kamar. Suka-suka, senang, menyenangi dan tersenangi, tidak bisa dipaksa-paksa. Jangan pula memaksakan pada orang lain. Adakalanya tidak logis. Namanya juga senang.
Kalau saya menyenangi banyak hal. Kalau dianggap baik dan mampu menyenangi, kenapa tidak? Senang dan menyenangi mendobrak banyak kendala, sebab kita akan berusaha meraihnya, dan menikmati.

Saya senang membaca. Karena itu berlangganan koran, membeli majalah, atau buku. Karena bukan orang kaya, memperbanyak membeli buku, jarang membeli baju. Senang membaca menumbuhkan senang menulis. Untuk memupuknya, semakin menyenangi membaca. Menyenangi berjalan-jalan, wisata, atau bepergian. Sebab, tanpa disadari menjadi pupuk bagi menulis. Menyenangi mengamati sesuatu, merasakan, dan seterusnya.

Kesemua itu mendukung kesenangan menulis. Sebab, ‘melihat sesuatu’ lebih cepat berkoneksi dengan entry behavior, otak sigap menganalisis, feeling mendeteksi, oh ini bagus, itu perlu dipertimbangkan. Dengan kata lain, melempangkan jalan untuk menulis, mempermudah menulis.

Lebih hebatnya, melatih senang atas senang menulis, menjadikan rangkaiannya menyenangkan. Dan, otomatis menyingkirkan hal-hal kurang mendukung. Misal, bertemu dengan seseorang yang kalau dia berbicara bisa membuat kita terperangah karena retorikanya. Ada tu sinyal: Loe lebih baik menulis, ini ada ide, tulis tentang ”Orgasme Menulis.” Adakalanya, dengar omongan itu orang, tulis.

Apabila bersengaja menumpuk senang menulis, begitu ada hal-hal yang mendukung, langsung nyambung. Sebaliknya, hal-hal yang meruntuhkan kehendak menulis tertolak, tersingkirkan. Banyak orang mengatakan, menulis, atau memberi ceramah, menulis itu harus begini, begitu, begana. Bagus saja. Tetapi, saya maunya menulis, bukan belajar atau berniat menjadi ahli teori menulis.

Bagaimana kalau tidak senang menulis? Jangan dipaksakan. Orang dungu saja yang mau-maunya memaksa dirinya. Tapi, kalau ada kehendak menulis walau sebesar biji zahra, pupuklah, bangun senang menulis.

Pantangannya, berkehendak menulis yang dibangun kebalikannya. Berkemauan mengembangkan kemampuan menulis, senang diarahkan mencaci tulisan orang, tidak korelatif. Bangun senang menulis dengan melakukan.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (6.8): Menulis Membangun Senang"

Post a Comment