Ersis Warmansyah Abbas
Kalau semangat menulis lagi menggebu-gebu libido disalurkan dengan menulis sampai pagi. Sangat menyenangkan dan memuaskan. Tulisan selesai dalam semalam, tetapi akibatnya itu Pak. Setelah begadang, libur menulis seminggu. Bagimana ini Pak EWA?
MASIH ingat nasihat Rasulullah? Makanlah sebelum lapar, berhentilah
makan sebelum kenyang. Tubuh, dalam hal ini sistem pencernaan mempunyai
mekanisme ajeg dan karena itu sistem kerjanya harus terpelihara. Bila
terlambat memberi asupan makanan usus bergesek tanpa ada yang digilasi
yang bisa berakibat (penyakit) maag. Sebaliknya, bila berlebihan daya
kerjanya melebihi kapasitas yang tentu saja berakibat buruk bagi sitem
pencernaan dan maag akibatnya.
Begitu sistem pencernaan, begitu sistem otak, dan sistem tubuh. Menulis
bukan pekerjaan ringan dalam artian bersantai-santai. Sebab, ketika kita
menulis otak mengkoordinasikan sistem pengetahuan, daya ingat, logika,
pengkombinasian pengetahuan lama dan baru dipuncaki dengan lahirnya
konsep dan otak memerintahkan menuliskan.
Hebatnya, manakala sudah terbiasa atau fasih menjadikan mekanisme
menulis otomatis alias menjadi refleks yang tidak membeban. Ketika
menulis menjadi refleks, bisa jadi dirasakan otak tidak terbeban. Halnya
berbeda ketika memulai menulis.
Pada kasus pada lead tulisan ini, dipastikan penulis memaksakan diri.
Mumpung lagi mood, lagi bergairah. Ibarat mahasiswa indekos di
perantauan, hari-hari makan nasi bungkus, begitu libur di rumah makanan
serba OK. Kalau tidak mampu memenej diri badan akan bengkak, kolesterol
bergabung, dan tunggulah kunjungan aneka penyakit.
Pesannya, menulis jangan memaksakan diri. Menulislah rutin, tidak
terpaksa, tidak kejar tayang. Mengapa kita terkadang bisa menebak tepat
saat masuk waktu salat? Seletih apa pun, manakala rutin salat Subuh,
begitu azan bergema, tidak ada kumandangan azan pun, kita terbangun.
Mekanisme tubuh terbentuk dan refleks menjadi. Manakala terbiasa menulis
atau mengetik, ujung jari tidak memerlukan mata untuk melihat
huruf-huruf di keyboard, jari-jari otomatis menekan posisi huruf yang
hendak ditekan.
Kembali ke lakuan menulis sampai titik darah penghabisan, dan
manakala darahnya habis, ya koit. Sebaiknya sistem menulis yang dibangun
adalah istiqamah. Menulis secara ajeg menuju refleks menulis. Menulis
dengan memaksa diri membuat letih, bukan otak saja yang menanggung
akibatnya, tetapi keseluruhan bagian tubuh, letih secara fisik dan
psikologis.
Kalau sudah demikian, pantas saja puasa menulis semingguan. Kalau batas
toleransi tubuh habis, bisa-bisa puasa selamanya. Menulis jangan sampai
muntah, menulislah dengan terkontrol.
Bagaimana menurut Sampeyan?
0 Comment to "Menulis (5.3): Sampai Muntah"
Post a Comment