Monday 12 December 2016

Menulis (5.3): Sampai Muntah

Ersis Warmansyah Abbas
Kalau semangat menulis lagi menggebu-gebu libido disalurkan dengan menulis sampai pagi. Sangat menyenangkan dan memuaskan. Tulisan selesai dalam semalam, tetapi akibatnya itu Pak. Setelah begadang,  libur menulis seminggu. Bagimana ini Pak EWA?
MASIH ingat nasihat Rasulullah? Makanlah sebelum lapar, berhentilah makan sebelum kenyang. Tubuh, dalam hal ini sistem pencernaan mempunyai mekanisme ajeg dan karena itu sistem kerjanya harus terpelihara. Bila terlambat memberi asupan makanan usus bergesek tanpa ada yang digilasi yang bisa berakibat (penyakit) maag. Sebaliknya, bila berlebihan daya kerjanya melebihi kapasitas yang tentu saja berakibat buruk bagi sitem pencernaan dan maag akibatnya.
 
Begitu sistem pencernaan, begitu sistem otak, dan sistem tubuh. Menulis bukan pekerjaan ringan dalam artian bersantai-santai. Sebab, ketika kita menulis otak mengkoordinasikan sistem pengetahuan, daya ingat, logika, pengkombinasian pengetahuan lama dan baru dipuncaki dengan lahirnya konsep dan otak memerintahkan menuliskan.

Hebatnya, manakala sudah terbiasa atau fasih menjadikan mekanisme menulis otomatis alias menjadi refleks yang tidak membeban. Ketika menulis menjadi refleks, bisa jadi dirasakan otak tidak terbeban. Halnya berbeda ketika memulai menulis.

Pada kasus pada lead tulisan ini, dipastikan penulis memaksakan diri. Mumpung lagi mood, lagi bergairah. Ibarat mahasiswa indekos di perantauan, hari-hari makan nasi bungkus, begitu libur di rumah makanan serba OK. Kalau tidak mampu memenej diri badan akan bengkak, kolesterol bergabung, dan tunggulah kunjungan aneka penyakit.

Pesannya, menulis jangan memaksakan diri. Menulislah rutin, tidak terpaksa, tidak kejar tayang. Mengapa kita terkadang bisa menebak tepat saat masuk waktu salat? Seletih apa pun, manakala rutin salat Subuh, begitu azan bergema, tidak ada kumandangan azan pun, kita terbangun. Mekanisme tubuh terbentuk dan refleks menjadi. Manakala terbiasa menulis atau mengetik, ujung jari tidak memerlukan mata untuk melihat huruf-huruf di keyboard, jari-jari otomatis menekan posisi huruf yang hendak ditekan.

Kembali ke lakuan menulis sampai titik darah penghabisan, dan manakala darahnya habis, ya koit. Sebaiknya sistem menulis yang dibangun adalah istiqamah. Menulis secara ajeg menuju refleks menulis. Menulis dengan memaksa diri membuat letih, bukan otak saja yang menanggung akibatnya, tetapi keseluruhan bagian tubuh, letih secara fisik dan psikologis.
 
Kalau sudah demikian, pantas saja puasa menulis semingguan. Kalau batas toleransi tubuh habis, bisa-bisa puasa selamanya. Menulis jangan sampai muntah, menulislah dengan terkontrol.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.3): Sampai Muntah"

Post a Comment