Monday 19 December 2016

Menulis (4.7): Menulis Impian

Raudatur Ridha
Mahasiswa PLB Unlam

BERAWAL dari akun facebook yang menarik minat saya untuk membaca sebuah tulisan di foto yang di-upload. Akun facebook tersebut memposting hal-hal yang menarik tentang menulis. Saya bersyukur pernah dibimbing pada pelatihan menulis yang diadakan di Unlam saat itu. Disanalah saya mulai mengagumi sosok pemilik akun tersebut. Apa sebenarnya yang dapat saya lakukan agar bisa menerbitkan buku? Banyak pertanyaan muncul dibenak ketika Beliau bercerita tentang produktivitas menulis.

Ya, saya suka menulis, namun terkadang tidak percaya diri. Membaca tulisan mereka yang hebat menulis, saya minder dan berhenti. Sempat terpikirkan, tulisan saya hanya pantas untuk dibaca sendiri. Sekalipun berkeinginan menerbitkan buku sendiri, namun tidak ada kesempatan untuk itu. Nah, postingan Pak EWA untuk menulis karya bersama, menjadikan bersemangat menulis.

Bapak EWA dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang memotivasi mahasiswa untuk menulis. Satunya diantaranya dengan mengajak menulis bersama. Banyak buku beliau yang telah diterbitkan. Lebih penting, Beliau menghargai karya mahasiswa, hingga menanamkan ke diri saya bahwa setiap hal bisa menjadi tulisan.

Pelatihan menulis yang pernah saya ikuti memompa semangat untuk menulis. Saya mulai membuka mata dan telinga untuk melihat lingkungan sekitar dan menuliskannya meskipun bagi sebagian orang tidak penting.

Nah kesempatan terbuka. Mengakhiri pelatihan Pak EWA menyarankan peserta pelatihan mengikuti kompetisi dalam peringatan Dies Natalis ke 57 FKIP Unlam Banjarmasin tahun 2014. Saya praktikkan ”teori menulis” apa yang dilihat dan didengar. Hanya mencoba dan menulis itulah yang ada dipikiran saya tanpa sedikit pun terbesit untuk menang. Saya mengirim tiga artikel: “Batas Bahasa, Aku Muslimah Ceria dan Motivasi Belajar” dan tiga puisi “Batas Bahasamu, Jejak dan Cahaya Petunjuk-Mu”.

Tulisan itu muncul dari hasil saya mencoba melihat dan mendengar. Ternyata memang benar, kita hanya perlu melihat dan mendengar hal-hal disekitar kita, maka kita akan dapat menulisnya dengan mudah.

Karena tidak ditargetkan menang, saya tidak pernah mencek hasilnya. Namun, seorang teman peserta kompetisi memberi kabar mengejutkan bahwa saya memenangkan kompetisi kategori artikel. Saya kaget luar biasa: Saya memenangkan kompetisi?
 
Rasa bersyukur yang tidak terkira datang menghampiri. Betapa tidak, saya menjadi juara pertama penulisan artikel. Serta Fahri teman yang memberiku kabar gembira itu juga mendapat juara pertama puisi. Tidak ketinggalan temanku Dina Fuji Utami juga mendapat juara kedua untuk kategori artikel. Benar-benar kabar yang tidak pernah terbayangkan.

Piala pertama yang saya pegang menjadi piala pertama untuk kegiatan menulis. Saya hampir tidak percaya mendapatkan piala diantara banyaknya mahasiswa yang mungkin mengikuti kompetisi tersebut. Maklum, pertama kali mendapat piala menulis he he he.

Ucapan selamat dari teman-teman benar-benar membuat saya makin mencintai menulis, serta tidak lupa ucapan bangga dari program studi yang selama ini memberi banyak bahan untuk dapat dituangkan dalam bentuk tulisan. Iya, prodi Pendidikan Luar Biasa Unlam mendorong keinginan untuk menulis. Menulis tentang anak-anak yang terabaikan, tentang anak-anak istimewa yang selalu menjadi inspirasi dalam kehidupan saya. Saya mungkin memenangkan kompetisi tersebut karena mengirim artikel tentang Batas Bahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu (orang yang kehilangan kemampuan pendengarannya).

Adanya pengahargaan itu membuat saya ingin banyak menulis tentang kehidupan anak-anak spesial tersebut. Karena saya berpikir bahwa sebenarnya manusia mempunyai sifat peduli, tidak ada manusia yang tidak peduli kepada sesama, namun ketidaktahuanlah yang membuat manusia itu menjadi “terlihat” tidak peduli. Untuk itulah, jika saya ingin membuat mereka peduli, maka saya harus memberitahu mereka, dan satu caranya lewat buku. Ya, dengan menulis.

Namun, jika boleh berbagi, saya menulis sangat tergantung dengan mood. Jika dalam suasana kurang baik, bisa jadi laptop tidak terjamah sama sekali, jangankan untuk menulis. Lalu, apakah benar jika menulis itu harus dari hati? Apakah mereka yang produktif juga menunggu waktu dan tempat yang bagus untuk menulis? Entahlah, pertanyaan itu mungkin hanya bisa dijawab oleh Pak EWA. Bagi saya, pelatihan menulis ala Pak EWA membuat perubahan mindset bahwa menulis itu dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dan dalam keadaan apa saja.

Bahkan, menurut Pak EWA sepanjang kehidupan kita selalu dalam menulis. Sepanjang kehidupan? Ya, menulis di otak.

Alhamduliah, syukur dipanjatkan ke haribaan kepada Allah SWT, tentang kesempatan dan penghargaan yang dititipkanNya untuk saya. Terima kasih atas pelatihan menulis ala Pak EWA. Tanpa bimbingan Pak EWA bisa jadi saya masih belum berani menggali impian yang telah terkubur lama itu. Mungkin saya masih berkutat dengan tulisan yang hanya ada di dalam pikiran saya, tanpa menuangkannya lewat tulisan.

Penghargaan tersebut menjadikan saya semakin ingin menulis dan mulai memberanikan diri mewujudkan impian untuk menerbitkan buku. Terlepas, sampai saat ini saya belum tahu caranya.

Yang pasti, saya menulis. Menulis hal-hal yang ingin saya bagi kepada dunia. Dunia yang kadang menutup mata untuk hal-hal yang harusnya menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Ya, hikmah yang dapat saya ambil begitu besar, menggali impian yang telah terkubur itu sebagai hikmah menulis. Memberanikan diri untuk menggerakkan jemari, mengetik huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga terangkai menjadi paragraf dan Insya Allah bermanfaat bagi sesama. Itulah impian saya, membuka jendela berpikir orang-orang melalui buku.
Amin.

Share this

0 Comment to "Menulis (4.7): Menulis Impian"

Post a Comment