Raudatur Ridha
Mahasiswa PLB Unlam
Mahasiswa PLB Unlam
BERAWAL dari akun facebook yang menarik minat saya untuk membaca
sebuah tulisan di foto yang di-upload. Akun facebook tersebut memposting
hal-hal yang menarik tentang menulis. Saya bersyukur pernah dibimbing
pada pelatihan menulis yang diadakan di Unlam saat itu. Disanalah saya
mulai mengagumi sosok pemilik akun tersebut. Apa sebenarnya yang dapat
saya lakukan agar bisa menerbitkan buku? Banyak pertanyaan muncul
dibenak ketika Beliau bercerita tentang produktivitas menulis.
Ya, saya suka menulis, namun terkadang tidak percaya diri. Membaca
tulisan mereka yang hebat menulis, saya minder dan berhenti. Sempat
terpikirkan, tulisan saya hanya pantas untuk dibaca sendiri. Sekalipun
berkeinginan menerbitkan buku sendiri, namun tidak ada kesempatan untuk
itu. Nah, postingan Pak EWA untuk menulis karya bersama, menjadikan
bersemangat menulis.
Bapak EWA dosen di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang
memotivasi mahasiswa untuk menulis. Satunya diantaranya dengan mengajak
menulis bersama. Banyak buku beliau yang telah diterbitkan. Lebih
penting, Beliau menghargai karya mahasiswa, hingga menanamkan ke diri
saya bahwa setiap hal bisa menjadi tulisan.
Pelatihan menulis yang pernah saya ikuti memompa semangat untuk
menulis. Saya mulai membuka mata dan telinga untuk melihat lingkungan
sekitar dan menuliskannya meskipun bagi sebagian orang tidak penting.
Nah kesempatan terbuka. Mengakhiri pelatihan Pak EWA menyarankan
peserta pelatihan mengikuti kompetisi dalam peringatan Dies Natalis ke
57 FKIP Unlam Banjarmasin tahun 2014. Saya praktikkan ”teori menulis”
apa yang dilihat dan didengar. Hanya mencoba dan menulis itulah yang ada
dipikiran saya tanpa sedikit pun terbesit untuk menang. Saya mengirim
tiga artikel: “Batas Bahasa, Aku Muslimah Ceria dan Motivasi Belajar”
dan tiga puisi “Batas Bahasamu, Jejak dan Cahaya Petunjuk-Mu”.
Tulisan itu muncul dari hasil saya mencoba melihat dan mendengar.
Ternyata memang benar, kita hanya perlu melihat dan mendengar hal-hal
disekitar kita, maka kita akan dapat menulisnya dengan mudah.
Karena tidak ditargetkan menang, saya tidak pernah mencek hasilnya.
Namun, seorang teman peserta kompetisi memberi kabar mengejutkan bahwa
saya memenangkan kompetisi kategori artikel. Saya kaget luar biasa: Saya
memenangkan kompetisi?
Rasa bersyukur yang tidak terkira datang menghampiri. Betapa tidak, saya
menjadi juara pertama penulisan artikel. Serta Fahri teman yang
memberiku kabar gembira itu juga mendapat juara pertama puisi. Tidak
ketinggalan temanku Dina Fuji Utami juga mendapat juara kedua untuk
kategori artikel. Benar-benar kabar yang tidak pernah terbayangkan.
Piala pertama yang saya pegang menjadi piala pertama untuk kegiatan
menulis. Saya hampir tidak percaya mendapatkan piala diantara banyaknya
mahasiswa yang mungkin mengikuti kompetisi tersebut. Maklum, pertama
kali mendapat piala menulis he he he.
Ucapan selamat dari teman-teman benar-benar membuat saya makin
mencintai menulis, serta tidak lupa ucapan bangga dari program studi
yang selama ini memberi banyak bahan untuk dapat dituangkan dalam bentuk
tulisan. Iya, prodi Pendidikan Luar Biasa Unlam mendorong keinginan
untuk menulis. Menulis tentang anak-anak yang terabaikan, tentang
anak-anak istimewa yang selalu menjadi inspirasi dalam kehidupan saya.
Saya mungkin memenangkan kompetisi tersebut karena mengirim artikel
tentang Batas Bahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu (orang yang
kehilangan kemampuan pendengarannya).
Adanya pengahargaan itu membuat saya ingin banyak menulis tentang
kehidupan anak-anak spesial tersebut. Karena saya berpikir bahwa
sebenarnya manusia mempunyai sifat peduli, tidak ada manusia yang tidak
peduli kepada sesama, namun ketidaktahuanlah yang membuat manusia itu
menjadi “terlihat” tidak peduli. Untuk itulah, jika saya ingin membuat
mereka peduli, maka saya harus memberitahu mereka, dan satu caranya
lewat buku. Ya, dengan menulis.
Namun, jika boleh berbagi, saya menulis sangat tergantung dengan
mood. Jika dalam suasana kurang baik, bisa jadi laptop tidak terjamah
sama sekali, jangankan untuk menulis. Lalu, apakah benar jika menulis
itu harus dari hati? Apakah mereka yang produktif juga menunggu waktu
dan tempat yang bagus untuk menulis? Entahlah, pertanyaan itu mungkin
hanya bisa dijawab oleh Pak EWA. Bagi saya, pelatihan menulis ala Pak
EWA membuat perubahan mindset bahwa menulis itu dapat dilakukan kapan
saja, dimana saja, dan dalam keadaan apa saja.
Bahkan, menurut Pak EWA sepanjang kehidupan kita selalu dalam menulis. Sepanjang kehidupan? Ya, menulis di otak.
Alhamduliah, syukur dipanjatkan ke haribaan kepada Allah SWT, tentang
kesempatan dan penghargaan yang dititipkanNya untuk saya. Terima kasih
atas pelatihan menulis ala Pak EWA. Tanpa bimbingan Pak EWA bisa jadi
saya masih belum berani menggali impian yang telah terkubur lama itu.
Mungkin saya masih berkutat dengan tulisan yang hanya ada di dalam
pikiran saya, tanpa menuangkannya lewat tulisan.
Penghargaan tersebut menjadikan saya semakin ingin menulis dan mulai
memberanikan diri mewujudkan impian untuk menerbitkan buku. Terlepas,
sampai saat ini saya belum tahu caranya.
Yang pasti, saya menulis. Menulis hal-hal yang ingin saya bagi kepada
dunia. Dunia yang kadang menutup mata untuk hal-hal yang harusnya
menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Ya, hikmah yang dapat saya ambil begitu besar, menggali impian yang
telah terkubur itu sebagai hikmah menulis. Memberanikan diri untuk
menggerakkan jemari, mengetik huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat
demi kalimat hingga terangkai menjadi paragraf dan Insya Allah
bermanfaat bagi sesama. Itulah impian saya, membuka jendela berpikir
orang-orang melalui buku.
Amin.
0 Comment to "Menulis (4.7): Menulis Impian"
Post a Comment