Thursday 15 December 2016

Menulis (3.5): Mengembangkan Ide

Ersis Warmasyah Abbas

TIAP hari ide menyapa. Apabila pikiran masih mampu beroperasi, alat indra masih berfungsi, perasaan masih normal, tentunya. Kekurangan ide sesuatu yang tidak mungkin. Banyak orang disapa ide yang adakalanya minta ‘dilayani’, dipaksa ide. Desakan ide, dalam kerangka menulis, bisa bikin pusing. Apalagi, kalau tidak mampu me-manage-nya. Puizzzing.

Pada bagian terdahulu didiskusikan bagaimana memilih ide, yaitu yang paling mungkin dikembangkan, mengenai apa-apa yang paling ‘dekat’, yang dikuasai. Pantikan ide menulis novel lebih hebat dari Habiburrahman El Shirazy tentu bagus, hanya saja, ukurlah bayang-bayang diri. Tidak semua ide pantas dilayani, dikembangkan.

Begini. Saya bukanlah pengangguran dalam arti mempunyai banyak waktu luang. Apalagi, saat ini sedang mengikuti program Doktoral. Saya ingin, berkemauan, punya ide menulis buku. Tapi, tidak mungkin meluangkan waktu khusus menulis buku.

Sebelum kuliah, mengampu beberapa mata kuliah di kampus. Kalau pengeluh, apalagi ditambah tugas kampus lainnya, membuat pusing. Mana pula, memelihara 20 kolam ikan, menerbitkan Bandjarbaoe Post, kontrak kerja sama penelitian, dan pekerjaan rutin lainnya. Memiliki keluarga yang menjadi tanggung jawab. Melayani tugas sampingan menghadiri undangan sebagai pemakalah, pelatihan menulis, dan sebagainya, kiranya tidak punya waktu. Lalu?

Belajar mendisain buku, program PageMaker dan InDesign. Menulis pada pola buku, lalu diposting atau dikirim ke media cetak. Tulisan siap menjadi bagian buku.

Begitulah. Menjelang mandi, di sela-sela kuliah, sembari mengikuti seminar, atau di pesawat, menulis. Menulis dengan patokan, harus selesai. Tidak ada istilah, separoh selesai. Kalau tidak selesai, lupakan. Delete. Bagi saya, menulis harus waktu khusus, menunggu mood, in the mood, tidak cocok, pembodohan. Makanya, tulisan Ersis ngak mutu. Ah, biar saja. Wong mutu saya, ya segitu itu. Emang masalah buat loe?

Ide menulis buku dikembangkan berdasar pemahaman kondisi real, tidak diandai-andaikan, tidak diangan-angankan, hingga tidak ada istilah seandainya. Yang pasti-pasti saja. Dan, tidak berkonsultasi dengan siapa pun. Tugas pokok kewajiban, menulis tambahan.

Sehari minimal satu tulisan. Realisasinya bisa beberapa tulisan. Begitu sampai 30 tulisan buat daftar isi, kata pengantar, kirim ke penerbit. Ide menyata, menjadi buku. Kalau diikuti Teori Kuno, harus membaca sekian referensi, ‘menyogok’ mood, berkonsultasi agar isi buku hebat, dan bla-bala, ya tidak mungkin. Tidak mungkin ide menulis buku terealisasikan.

Soal ada yang berlaku sebagaimana hal-hal ideal, tentu bagus. Dia sanggup sementara saya tidak. Dengan kata lain, setiap orang adalah dirinya masing-masing. Kembangkan ide sesuai kemampuan. Terkagum-kagum dengan Kahlil Gibran, Leonardo Da Vinci, atau Ahmad Thohari, wajarlah. Tapi, mereka hanya satu sebagaimana mereka masing-masing, the one and the only. Be Yourself. Kembangkan idemu.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.5): Mengembangkan Ide"

Post a Comment