Monday 19 December 2016

Menulis (3.4): Menulis Sebagai Kebutuhan

Rafdiansyah
Alumnus IAIN Antasari Banjarmasin

BAGI saya, menulis merupakan kebutuhan. Kebutuhan yang menjadikan kita berusaha untuk memenuhinya. Sebagai kebutuhan, menulis untuk menyalurkan energi positif. Tingkatannya berbeda dengan kebutuhan untuk makan, minum, olahraga, refreshing, berwisata, dan sebagainya.
 
Bahwa setiap penulis mempunyai motif atau tujuan tertentu, kiranya begitu adanya. Bagi sebagian orang, terutama para penulis produktif, menulis sudah merupakan life style. Penulis Ari Wulandari (Kinoysan), memanfaatkan pagi hari sebagai awal aktivitasnya dengan menulis. Ari, di sela-sela kesibukannya menyelesaikan disertasi menyempatkan membaca novel.

Penulis Ersis Warmansyah Abbas (EWA) menjadikan menulis bagian kehidupannya. EWA mendendangkan Ersis Writing Theory Writing (EWT). Teori menulis yang ”memudahkan” teori-teori menulis sebelumnya. Praktik EWT oleh EWA mencengangkan. Betapa tidak. Kiranya bagi EWA menerbitkan lima buku seri menulis pada bulan Januari 2015 hal biasa saja. Banyak yang bertanya-tanya, kapan EWA menulis buku tersebut mengingat kesibukannya yang beragam?


EWA biasanya berargumen, menulis kapan saja dimana pada pada kesempatan apa saja. Menulis mengalir saja. Pertanda, menulis sangat mudah (sesuai judul buku pertamanya tentang menulis. Ewa telah menulis 23 buku tentang menulis).
 
Ya, sekalipun saya belum penulis produktif, hal tersebut merupakan signal, bahwa siapa pun dapat menulis. Siapa pun dapat mengasah kepekaan pikiran untuk kemudian menuliskannya.

Begitulah. Dalam praktiknya, manakala boring, uring-uringan, saya menghentikan aktivitas menulis. Menulis, menurut saya, harus ketika pikiran kita lagi baik-baiknya, jika ingin menghasilkan tulisan yang baik. Bila pikiran dan perasaan lagi kacau-balau, sulit kiranya menghasilkan tulisan yang bagus. Entah bagi mereka yang pakar menulis.

Saya pernah membaca buku kiat menulis dan menjadi penulis terkenal. Yang saya ingat, teori penting penulisnya mengibaratkan menulis seperti berbicara; menulislah seperti berbicara. Kebanyakan kita berinteraksi dengan berbicara. Dalam kehidupan kita terbiasa berbicara.

Alhasil, mulailah saya membiasakan menulis seperti bercakap-cakap dengan lawan bicara. Karena tidak memerlukan lawan bicara, apa pun saya tulis, dan menyenangkan. Kita berkreativitas tanpa memerlukan perangkat menulis yang ribet. Ibarat kata, hemat omongan tetapi kata-kata mengalir dalam kalimat demi kalimat. Pembelajar menulis seperti saya, kalau ingat teori menulis, pikiran menjadi buntu. Menulis seperti berbicara membuat saya senang menulis.

Tahun 2014 lalu saya menyelesaikan penelitian tesis di IAIN Antasari Banjarmasin. Ketika itu saya menentukan penelitian ini bergenre penelitian lapangan. Ketika memulai menuliskan laporannya, saya menulis dengan gaya investigasi seperti wartawan yang melaporkan pencarian berita dengan penulisan deep reporting.

Para pembimbing menganjurkan agar ditulis ulang sesuai tata cara penulisan ilmiah. Saya memahani, menulis populer tentu berbeda dengan menulis untuk keperluan akademik. Ya, penulisan popular lebih tepat untuk konsumsi publik sedangkan penulisan ilmiah untuk keperluan akademik.

Menulis populer biasanya tidak ketat dengan teori-teori sehingga mudah diterima berbagai kalangan; sederhana dan ”renyah”. Sebaliknya menulis ilmiah harus taat asas yang berakibat susah dijangkau khalayak. Itulah sebabnya, di suatu perpustakaan kampus, saya menemukan karya ilmiah menumpuk. Menjadi rujukan mahasiswa untuk menulis, tetapi jangkauannya terbatas. Bahkan, penelitian ilmiah mahasiswa ada yang dikilokan.

Apa pun alasannya, setiap karya ilmiah mahasiswa perlu ”diamankan”, terlepas kadar ilmiahnya. Penjualan karya ilmiah mahasiswa harus dihentikan. Alasan apa pun tidak dapat dibenarkan. Bahwa karya mahasiswa bisa jadi belum sebagaimana diharapkan benar adanya, tetapi setidaknya pada hal tersebut adalah kaca proses menjadi insan ilmiah.

Ya, perpustakaan pengaman karya ilmiah. Sesuai dengan perkembangan zaman, hendaknya perpustakaan mengamankan karya intelektual dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Satu diantaranya, memindahkan karya akademik ke dalam bentuk digital. Meski fisiknya hancur, tapi karya tetap abadi pada versi digitalnya.

Sebagai alumnus perguruan tinggi — IAIN Antasari Banjarmasin— dalam memandang karya ilmiah mahasiswa saya berpendapat, mahasiswa tidak saja menulis karya ilmiah seperti skripsi, tesis, atau disertasi, tetapi juga dibiasakan mempublikasikan karya mereka dalam bentuk buku. Membukukan menulis akan menjadi karya sepanjang masa.

Dalam khasanah historis, banyak Urang Banua hebat-hebat yang namanya abadi karena karya-karyanya. Sebut saja Syekh Arsyad Al-Banjari. Syekh Arsyad Al-Banjari dikenal khalayak karena menulis kitab kajian fikih, Sabilal Muhtadin. Kitab tersebut diabadikan menjadi nama masjid Sabilal Muhtadin di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Nama Sidin semakin popular karena menulis (buku). Kalaulah Syekh Arsyad hanya berdakwah dengan bertutur saja, mungkin umat Islam tidak dapat menikmati kajian fikih Beliau. Tuan Guru Besar ini memberi contoh betapa dahsyatnya manfaat menulis. Begitu pula ulama-ulama terdahulu seperti Al Bukhari dan Muslim dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ada pula Abu Dawud dengan Sunan Abu Dawud, ada Turmudzi dengan Sunan Turmudzi. Ulama-ulama produktif lainnya pada zamannya semisal Dr. Yusuf Qaradhawi, Dr. Aidh Al-Qarni, Sayyid Sabiq, Buya Dr. Hamka, TG.Hasbi Asshidieqy dan sebagainya.

Ringkasnya, bunga hikmahnya adalah, menulis seperti berbicara menjadikan enjoy menulis. Suer menulis sungguh tidak membosankan. Tidak salah kiranya kita kampanyekan semesta menulis. Amin.
Mari menulis.

Share this

0 Comment to "Menulis (3.4): Menulis Sebagai Kebutuhan"

Post a Comment