Rafdiansyah
Alumnus IAIN Antasari Banjarmasin
Alumnus IAIN Antasari Banjarmasin
BAGI saya, menulis merupakan kebutuhan. Kebutuhan yang menjadikan
kita berusaha untuk memenuhinya. Sebagai kebutuhan, menulis untuk
menyalurkan energi positif. Tingkatannya berbeda dengan kebutuhan untuk
makan, minum, olahraga, refreshing, berwisata, dan sebagainya.
Bahwa setiap penulis mempunyai motif atau tujuan tertentu, kiranya
begitu adanya. Bagi sebagian orang, terutama para penulis produktif,
menulis sudah merupakan life style. Penulis Ari Wulandari (Kinoysan),
memanfaatkan pagi hari sebagai awal aktivitasnya dengan menulis. Ari, di
sela-sela kesibukannya menyelesaikan disertasi menyempatkan membaca
novel.
Penulis Ersis Warmansyah Abbas (EWA) menjadikan menulis bagian
kehidupannya. EWA mendendangkan Ersis Writing Theory Writing (EWT).
Teori menulis yang ”memudahkan” teori-teori menulis sebelumnya. Praktik EWT oleh EWA mencengangkan. Betapa tidak. Kiranya bagi EWA
menerbitkan lima buku seri menulis pada bulan Januari 2015 hal biasa
saja. Banyak yang bertanya-tanya, kapan EWA menulis buku tersebut
mengingat kesibukannya yang beragam?
EWA biasanya berargumen, menulis kapan saja dimana pada pada
kesempatan apa saja. Menulis mengalir saja. Pertanda, menulis sangat
mudah (sesuai judul buku pertamanya tentang menulis. Ewa telah menulis
23 buku tentang menulis).
Ya, sekalipun saya belum penulis produktif, hal tersebut merupakan
signal, bahwa siapa pun dapat menulis. Siapa pun dapat mengasah kepekaan
pikiran untuk kemudian menuliskannya.
Begitulah. Dalam praktiknya, manakala boring, uring-uringan, saya
menghentikan aktivitas menulis. Menulis, menurut saya, harus ketika
pikiran kita lagi baik-baiknya, jika ingin menghasilkan tulisan yang
baik. Bila pikiran dan perasaan lagi kacau-balau, sulit kiranya
menghasilkan tulisan yang bagus. Entah bagi mereka yang pakar menulis.
Saya pernah membaca buku kiat menulis dan menjadi penulis terkenal.
Yang saya ingat, teori penting penulisnya mengibaratkan menulis seperti
berbicara; menulislah seperti berbicara. Kebanyakan kita berinteraksi
dengan berbicara. Dalam kehidupan kita terbiasa berbicara.
Alhasil, mulailah saya membiasakan menulis seperti bercakap-cakap
dengan lawan bicara. Karena tidak memerlukan lawan bicara, apa pun saya
tulis, dan menyenangkan. Kita berkreativitas tanpa memerlukan perangkat
menulis yang ribet. Ibarat kata, hemat omongan tetapi kata-kata mengalir
dalam kalimat demi kalimat. Pembelajar menulis seperti saya, kalau
ingat teori menulis, pikiran menjadi buntu. Menulis seperti berbicara
membuat saya senang menulis.
Tahun 2014 lalu saya menyelesaikan penelitian tesis di IAIN Antasari
Banjarmasin. Ketika itu saya menentukan penelitian ini bergenre
penelitian lapangan. Ketika memulai menuliskan laporannya, saya menulis
dengan gaya investigasi seperti wartawan yang melaporkan pencarian
berita dengan penulisan deep reporting.
Para pembimbing menganjurkan agar ditulis ulang sesuai tata cara
penulisan ilmiah. Saya memahani, menulis populer tentu berbeda dengan
menulis untuk keperluan akademik. Ya, penulisan popular lebih tepat
untuk konsumsi publik sedangkan penulisan ilmiah untuk keperluan
akademik.
Menulis populer biasanya tidak ketat dengan teori-teori sehingga
mudah diterima berbagai kalangan; sederhana dan ”renyah”. Sebaliknya
menulis ilmiah harus taat asas yang berakibat susah dijangkau khalayak.
Itulah sebabnya, di suatu perpustakaan kampus, saya menemukan karya
ilmiah menumpuk. Menjadi rujukan mahasiswa untuk menulis, tetapi
jangkauannya terbatas. Bahkan, penelitian ilmiah mahasiswa ada yang
dikilokan.
Apa pun alasannya, setiap karya ilmiah mahasiswa perlu ”diamankan”,
terlepas kadar ilmiahnya. Penjualan karya ilmiah mahasiswa harus
dihentikan. Alasan apa pun tidak dapat dibenarkan. Bahwa karya mahasiswa
bisa jadi belum sebagaimana diharapkan benar adanya, tetapi setidaknya
pada hal tersebut adalah kaca proses menjadi insan ilmiah.
Ya, perpustakaan pengaman karya ilmiah. Sesuai dengan perkembangan
zaman, hendaknya perpustakaan mengamankan karya intelektual dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Satu diantaranya, memindahkan
karya akademik ke dalam bentuk digital. Meski fisiknya hancur, tapi
karya tetap abadi pada versi digitalnya.
Sebagai alumnus perguruan tinggi — IAIN Antasari Banjarmasin— dalam
memandang karya ilmiah mahasiswa saya berpendapat, mahasiswa tidak saja
menulis karya ilmiah seperti skripsi, tesis, atau disertasi, tetapi juga
dibiasakan mempublikasikan karya mereka dalam bentuk buku. Membukukan
menulis akan menjadi karya sepanjang masa.
Dalam khasanah historis, banyak Urang Banua hebat-hebat yang namanya
abadi karena karya-karyanya. Sebut saja Syekh Arsyad Al-Banjari. Syekh
Arsyad Al-Banjari dikenal khalayak karena menulis kitab kajian fikih,
Sabilal Muhtadin. Kitab tersebut diabadikan menjadi nama masjid Sabilal
Muhtadin di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Nama Sidin semakin popular
karena menulis (buku). Kalaulah Syekh Arsyad hanya berdakwah dengan
bertutur saja, mungkin umat Islam tidak dapat menikmati kajian fikih
Beliau. Tuan Guru Besar ini memberi contoh betapa dahsyatnya manfaat
menulis. Begitu pula ulama-ulama terdahulu seperti Al Bukhari dan Muslim
dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Ada pula Abu Dawud dengan Sunan
Abu Dawud, ada Turmudzi dengan Sunan Turmudzi. Ulama-ulama produktif
lainnya pada zamannya semisal Dr. Yusuf Qaradhawi, Dr. Aidh Al-Qarni,
Sayyid Sabiq, Buya Dr. Hamka, TG.Hasbi Asshidieqy dan sebagainya.
Ringkasnya, bunga hikmahnya adalah, menulis seperti berbicara
menjadikan enjoy menulis. Suer menulis sungguh tidak membosankan. Tidak
salah kiranya kita kampanyekan semesta menulis. Amin.
Mari menulis.
0 Comment to "Menulis (3.4): Menulis Sebagai Kebutuhan"
Post a Comment