Thursday 15 December 2016

Menulis (5.1): Menulis Kehidupan

Ersis Warmansyah Abbas

BANDUNG. Kuliah. Makalah. Book Report. Book Review. Take Home. Gramedia. Palasari. Fotokopi. Lantai III, V, atau VI Gedung SPS UPI. Antre di depan lift. Diskusi. Google. Laundry. Mandi tergesa-gesa. Begitu tiap hari. Bosan dan membosankan. Seorang teman mengeluh.

Seorang teman terenyuh. Beasiswa belum ‘cair’. SPP dan tetek bengek perkuliahan dibayar sendiri. Gaji untuk keluarga. Pendapatan sampingan nol. Teman dari teman menelepon: Situ kuliah nyaman. Universitas membantu Rp.20 juta. Si teman tertawa masam, pahit. Istrinya sakit. Duuuh. Sedih.

Hmm, ada yang meminjam koperasi, menggadaikan SK PNS. Ada teman dilanda ‘kecemasan’ luar biasa, stres berat. Seorang lagi tidak kuliah, sakit. Kecapekan. Yaps, satu hal: Kuliah adalah perjuangan. Begitulah kehidupan. Usaha, perjuangan, bahkan pengorbanan. Banyak orang yang lebih parah. Wajib bersyukur. Hadapi kehidupan dengan semangat. Apa hubungannya dengan menulis?

Alhamdulillah, sampai hari ini sehat, enjoy-enjoy saja. Ada waktu luang menulis, legaaaaaaa. Disela-sela kuliah, menulis. Kalau ada dosen terlambat sepuluh menit saja, menulis. Kangen istri, rindu anak, menulis. Terutama puisi. Duh, bukan geer, dirasakan begitu indah dan ‘dalam’. Saya jarang menangis namun air mata meleleh. Kenapa?
Menulis dari kenyataan kehidupan, dari yang dialami. Menulis makalah tentang peradaban, perbandingan riset, atau Hasan Al-Bana, perihal tata ruang, spacial, bertumpu di ranah otak, di pikiran saja.

Dulu, menulis untuk mendapatkan uang. Kini, kenapa tidak? Mulailah mengirim tulisan ke media cetak. Alhamdulillah, dimuat dan dapat honor. Sharing menulis di beberapa tempat dilakoni. Hidup perjuangan.

Lebih mendasar, menulis dimaknai, dan dipraktikkan bukanlah beban kehidupan. Menulis ‘koridor’ bagi banyak hal meringankan pikiran, melegakan rasa, menyamankan bathin, dan seterusnya. Menulis menyenangkan. Menulis menjadikan hidup lebih hidup, lebih bermakna.

Tidak beralasan, menulis mengganggu kuliah. Justru, dengan menulis belajar. Tidak merengek-rengek, menulis perlu waktu khusus, begitu ada waktu luang menulis. Bagaimana akan menulis, kehidupan sedang diuji? Menulis menghanguskan kesedihan, menjadikan kegembiraan pada tempatnya.

Menulis membangunkan potensi diri, membentang harapan, menerangkan pikiran mencerahkan batin. Sebab, menulis belajar dan membelajarkan diri. Menulis bukan angan-angan. Sekali lagi, membelajarkan diri. Menjadi manusia pembelajar. Believe it or not.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.1): Menulis Kehidupan"

Post a Comment