Thursday 15 December 2016

Menulis (3.4): Menyambut Ide

Ersis Warmansyah Abbas

BAGI Muslim, Idul Fitri dan Idul Adha hari teramat istimewa. Idul Adha, puncak ibadah haji. Rangkaian sahadat, salat, puasa, dan zakat. Karena ibadah, Rasulullah tidak ‘digelari’ Haji Muhammad SAW. Kalau saya dipanggil Haji Ersis, itu mengada-ada. Saya mempunyai ide menyambut Idul Adha kali ini. Tidak membahas esensi idul qurban, melainkan meelaborasinya dengan gambaran Ibu dan Bapak di saat hari bahagia ini.

Amak (Ibu) dan Apak (Bapak) berumur 80-an dan 90-an tahun. Keriput tulang pipi, gambarannya, seperti didendangkan Ebiet nun di Muaralabuh, Solok Selatan, Sumatera Barat. Anakmu rindu Mak, rindu Pak.

Ya. Amak yang bersimbah darah ketika tangis pertama disuarakan pertanda kelahiran. Darahnya, air mata gembira dalam balutan sakit tak terkira. Bukan dirinya yang diperhatikan, tetapi anaknya. Kita. Senyumnya, senyum kehidupan. Senyum kasih sayang tak bertepi, senyum harapan.

Ya. Orang tua kita, asal kehidupan, yang mungkin bagi sebagian orang sudah tiada. Orang tua, Ibu-Bapak tidak dapat ditukar dengan apa pun. Sudahkah kita merenung, pengorbanan hidup mati Ibu menyambung nyawa, sudah terbalas? Itu ketika baru lahir.

Setelah menghirup udara pertama apa yang kita lakukan? Menghirup sari pati tubuh Bundo, menyusu. Belum lagi darahnya tergantikan, kita mengisap ‘tubuhnya’. Lalu, kita ‘kencingi’ tubuhnya sembari menyusu. Dijaganya kita, digantikan popok. Hari-harinya untuk sekadar tidur terampas agar tangis kita reda. Digendongnya, diayun, dibelai, tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Pengabdian, pengorbanan yang tulus.

Bapak mengimbuhi dengan membanting tulang mencari nafkah. Tidak mengenal siang, tanpa menghiraukan malam bekerja agar kehidupan kita tidak terlantar. Demi kita. Tak terkira derita Beliau.

Tiada henti derita ditanggung, kita disekolahkan sampai bekerja. Setelah berumah tangga, kita tinggalkan, dan semoga Beliau tidak didera derita.
Ampun Mak, ampun Pak. Atas alasan pekerjaan, karena istri, tersebab suami, atau anak, dengan enteng kita biarkan dia. Menghiba.

Nak, Ibu sakit. Nak, Bapak sakit. Ibu kangen. Pulanglah. Apa jawaban kita? Sibuk. Tidak mungkin meninggalkan pekerjaan, nanti atasan marah. Duh, itukah balasan, begitukah pengorbanan seorang anak yang dilahirkan, dibesarkan dengan menyabung nyawa? Mari kita renungkan.

Tidak akan selamat anak yang tidak memperhatikan orang tuanya. Mak, Pak, ampun, Maafkanlah anakmu. Peluk cium, mohon maaf. Ampun.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (3.4): Menyambut Ide"

Post a Comment