Thursday 15 December 2016

Menulis (5.5): Menulis Ngapain Fokus

Ersis Warmansyah Abbas

KEBIASAAN ‘buruk’ saya, menulis bukan hanya menulis saja. Kalau ada teman, biasanya sembari bercanda. Sembari menonton bola atau menikmati ‘tarian kaki’ Michel Jackson, duh nikmat. Saya suka Hello Lionel Richie, Dealova Once, senandung Ebiet G. Ade, Be Gees atau hentakan Queen dan Scorpion.

Kebiasaan tersebut dibangun dari kebiasaan suka mendengar musik. Muncul tanya: “Menulis sembari mendengar musik seolah mendapat pelumas. Kalau begitu, bagaimana kalau mata juga dilatih?” Nyatanya bisa aja tu. Saya malahan mempunyai mimpi, teknolog nanti menciptakan alat dimana dengan tatapan mata atau kekuatan pikiran apa yang ada di otak bisa langsung tertulis he he.

Dengan kata lain, kalau fokus diartikan perhatian dan seluruh potensi diri hanya dihadapkan pada satu hal, menulis, kok merugikan begitu. Hal seperti ini, seperti juga menulis harus menunggu mood, kalau lagi mood baru menulis, lucu saja begitu. Ada yang mengatakan sok, ya biar saja.

Bagi saya, apa yang ditulis apa yang dipahami. Paham menulis harus fokus, menulis harus menunggu mood sudah begitu merasuk. Sampai-sampai ada yang menyiapkan waktu khusus, tempat khusus, suasana khusus, dan khusus-khusus lainnya. Waduh, kalau demikian ‘harusnya’ saya tidak mungkin menulis.

Sebaliknya, melatih diri, menulis dimana sempat, kalau ada kesempatan. Hingga, terhindar dari bertapa di WC, atau mengusir teman yang bertamu. Resepnya sederhana, kalau menulis ada tamu, Ok saja. Saya tidak berhenti menulis. Ngobrol sembari menulis.
Tulisan saya buktinya. Mereka yang bergaul dengan saya akan paham. Begitu pula, kalau suasana kebathinan tidak hendak menulis, tidak menulis. Intinya, tidak memaksa-maksakan diri. Kontinu menulis lebih kepada kebiasaan. Tapi, jarang didenda malas menulis.

Kata kuncinya kebiasaan, habit. Ketika kita membaca ‘sesuatu’ atau alat indra direspon ‘sesuatu’, ‘sesuatu’ memicu ‘sesuatu’ di pikiran? Nah, ‘sesuatu’ diformulasikan lalu ditulis. Bisa jadi, menulis susah itu kalau menulis apa yang tidak di pikiran kita.

Kalau yang ada di pikiran, apa yang di pikiran, tinggal melatihkan untuk dituangkan. Sering saya ditulis: Jangan memikirkan apa yang akan ditulis, tulis apa yang ada di pikiran. Kalau bermaksud menulis hal-hal akademis-ilmiah, silakan mengikuti kuliah saya sebagai pengampu mata kuliah penelitian he he.

Karena itu, kepada yang nekad sharing serius menulis, memberi waktu sebulan. Tiap hari wajib menulis, tidak boleh beralasan. Nah, banyak yang sudah menikmati metode yang dilabeli Ersis Writing Theory. Paling-paling, apa yang telah dipelajari, telah ditanamkan di pikiran, simpan sementara. Kata guru, tentor, simpan dulu. Ternyata, Alhamdulillah banyak yang berhasil. Gratis lagi he he he.

Ya, setiap orang mengembangkan potensi dirinya, orang lain hanya memotivasi. Latih diri sendiri. Jadilah, guru menulis sekaligus murid menulis. Dengan, berkali-kali ingat, dengan melakukan menulis. Menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis Tanpa Berguru. Tanpa membayar. Gratis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (5.5): Menulis Ngapain Fokus"

Post a Comment