Thursday 15 December 2016

Menulis (4.1): Menulis di Otak

Ersis Warmansyah Abbas

JUJUR saja, entah karena membaca dimulai sedari kecil, atau suka mengamati sesuatu, pikiran suka berkelana kemana-mana. Semasa remaja, terkagum-kagum dengan Brooke Shield dan berangan-angan menjadikannya pacar. Dapat? Ya, dapatlah. Kami ‘jadian’. Asyik. Kalau cewek Indon yang diidolai, Yessi Gusman. Itu dulu lho. Maklum masa remaja.

Saya belum pernah mendaki Mount Everest atau Kilimanjaro, tetapi karena membaca, duh pikiran berkelana ke puncak dunia tersebut. Berlayar mengharungi sungai Amazone, sembari mencandai ikan Piranha, hal biasa-biasa saja.

Ketika Cina diberitakan sangat ganas menangani kerusuhan di Urumqi, Xinqiang, duh gemas. Saya ‘menempatkan’ diri ke pusat kota etnik Uiygur tersebut lalu melintasi berbagai negara menapak tilas Silk Road. Ketika SD, berkelana ke lembah-gunung Amerika Serikat, lalu raun-raun ke pegunungan Kaukasus bersama Karl May. Mengasyikkan. Hanya saja, begitu pipi ditepuk malu sendiri he he.

Pengelanaan, atau pengembangan angan-angan, imajinasi, atau fantasi, bisa jadi mengasyikkan. Tetapi, kita hidup dalam kenyataan. Kebiasaan tersebut, tidak pernah dipupuk, datang begitu saja. Suatu kali, entah kapan, terpikir, kenapa hal tersebut tidak dijinakkan dalam tatapan realitas? Ahai, setelah belajar filsafat dan penelitian dengan tetek-bengeknya, lebih jeli melihat ‘sesuatu’. Tetapi, ‘sesuatu’ itu sering tidak berhenti pada ‘sesuatu’ itu. Maksudnya?

Ketika hujan deras, lalu banjir, pikiran bukan berhenti pada banjir. Kalau drainase lebar, kalau got dibersihkan, kalau, kalau, dan kalau, tidak akan terjadi banjir. Untunglah, teori-teori penelitian ‘menghentikan’ kalau-kalau tersebut. Dengan kata lain, pikiran diarahkan pada realitas, tidak berkalau-kalau.

Ya, filsafat, terutama metode penelitian, menuntun cara berpikir. Hasilnya dahsyat. Minimal, menurut saya. Apa yang ada di pikiran, atau pikiran lebih mudah di-manage. Pola pikiran terbentuk dalam arti menuntun ke arah kewajaran, berbasik realitas. Lalu, ditulis. Semudah itu?

Pada awalnya tidak. Saya hanya berani menulis di otak. Ketika, misalnya ada tanya, Hamka kok bisa menulis begitu menggugah? Mata berkaca-kaca membaca Di Bawah Lindungan Ka’bah. Kok bisa ya? terpantik keinginan menulis novel. Begitu dilakukan, mandek. Semangat lebih dahsyat dari kemampuan. Ejakulasi Dini menulis deh. Jangan sering-sering ah.

Selanjutnya, setelah menatap diri lebih tajam, menulis yang dekat diri, yang dialami, di pikiran dalam katup logis. Tulis, kirim ke media cetak. Dimuat. Bangga. Dapat honor. Tegasnya, memulai menulis dengan menulis di otak. Tulisan di otak tersebut yang disalin, dijadikan tulisan.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Share this

0 Comment to "Menulis (4.1): Menulis di Otak"

Post a Comment